STD.9

692 28 0
                                    

🥀🥀🥀

Di dalam kamar, kini Delia tengah meringkuk di sudut ruangan sambil menangis. Ia sedih dan juga merasa sakit dengan apa yang dikatakan oleh Amel.

Kenapa kembarannya itu juga membencinya? Apa salahnya? Padahal ia sangat sayang dengan Amel. Apapun yang disuruh olehnya, pasti dilakukannya jika itu masih di batas wajar.

'Pertama Mama, dan sekarang Amel. Kenapa kalian begitu membenciku? Aku sayang sama kalian. Jangan benci aku.' batin Delia yang menangis dan merintih sedih.

Lalu, sebuah ketukan pintu pun terdengar olehnya. Akan tetapi, karena perasaannya yang saat ini sedang bersedih. Ia pun enggan membukakan pintu tersebut, meskipun ketukan itu terus berbunyi.

"Del, ini Kakak. Tolong bukakan pintunya," pinta Arnold dari balik pintu sembari membawa napan berisi makanan.

Tidak adanya reaksi, Arnold pun menjadi sedikit khawatir. Ia pun memutar knop pintu, dan ternyata itu tidak terkunci. Segera ia pun masuk kedalam kamar Delia. Dapat ia lihat, saat ini adiknya tersebut tengah meringkuk dengan kepala yang ia benamkan di kedua lututnya.

Diletakkannya napan yang ia bawa tadi di atas nakas, lalu menghampiri Delia.

"Del ...," panggil Arnold yang berjongkok di hadapannya. Akan tetapi, Delia masih enggan untuk melihat kearahnya.

Di pegangnya pundak Delia, dapat ia rasakan tubuh adiknya tersebut bergetar dan sesekali gerakan pundak karena sesugukan.

Arnold pun menengadahkan kepalanya ke atas, menahan agar air matanya tidak ikut turun juga. Ia pun mengatur nafas untuk menenangkan dirinya sendiri.

Baru saja ia melihat sebuah senyum indah yang terukir di wajah adiknya tersebut, namun kini senyum itu hilang dan lenyap dengan sangat cepat. Hanya sebuah tangisan yang kini ia dapat kembali. Kapan senyuman itu bisa terus terukir, tanpa adanya tangisan?

Ditariknya nafas panjang, lalu ia buang secara perlahan melalui mulut. "Del ...," panggil Arnold kembali yang sembari mengangkat wajah Delia agar menatapnya.

Dan betapa sakitnya Arnold saat melihat raut wajah Delia yang penuh kesedihan. Mata indah itu terus saja memancarkan rasa sakit, kesedihan dan kesepian yang mendalam.

Dengan segera ia pun memeluk adiknya tersebut. Hingga tanpa terasa, apa yang ia tahan tadi akhirnya jatuh juga. Sedangkan Delia, ia memeluk Arnold dengan sangat erat. Menangis sepuasnya dipelukan sang kakak.

Beberapa saat kemudian, Arnold pun melepaskan pelukannya lalu menatap Delia yang masih sesugukan. Dielapnya sisa air mata yang tertinggal di pipi adiknya itu, sembari terseyum.

"Del. Apa yang dikatakan oleh Amel ataupun Mama, jangan dibawa dan dimasukkan kedalam hati ya? Mereka mengatakan itu semua karena mereka iri denganmu. Karena Aku, Papa dan yang lain lebih sayang denganmu," terang Arnold dengan senyumnya.

Delia pun menatap Arnold dengan nanar, lalu ia pun meraih kedua tangan kakaknya yang menangkup wajahnya. Ia pun menggelengkan kepalanya pelan dengan senyum palsunya.

"Jangan seperti ini, Kak. Aku tidak mau, baik Kakak, Papa atau yang lain memilih kasih. Aku ingin semua mendapatkan rasa sayang yang sama. Cukup aku saja yang tidak mendapatkannya," terang Delia dengan senyumnya yang merekah,  serentak dengan air matanya yang juga ikut terjatuh.

Melihat pengakuan Delia yang sembari tersenyum palsu itu pun membuat Arnold tidak kuasa menahan air matanya, hingga buliran air tersebut jatuh mengalir di pipinya. Sesegera mungkin ia pun menghapusnya, dan juga ikut tersenyum.

"Ya sudah, kalau itu mau 'mu. Tapi, sekarang kamu makan dulu ya. Dari tadi pagi kau kan belum makan," ujar Arnold, dan delia pun mengangguk.

Segera ia pun mengambil napan berisi makanan tadi. "Kakak suapi, ya?" pinta Arnold yang sudah duduk lesehan di lantai bersama Delia. Dan seperti biasa, Delia pun mengangguk.

Dengan penuh kasih sayang, Arnold pun menyuapi Delia. Sesekali ia mengajak adiknya itu untuk bergurau, dengan berbagai bahan cerita yang sangat lucu. Meskipun tidak tertawa dengan lepas seperti sebelumnya saat bersama dengan Johan, setidaknya ia mampu membuat Delia tersenyum bahagia. Senyum yang ingin ia lihat, bukan tangisan seperti tadi.

"Amel, sayang. Lihat, Mama beli apa buat kamu?" ujar Arin yang masuk kedalam kamar Amel yang tidak terkunci.

"Mama," lirih Amel yang habis menangis.

"Loh. Sayang, kamu kenapa?" tanya Arin.

"Huaaa ... Mama," pekik Amel yang kembali menangis.

Arin pun menarik Amel untuk duduk di kasur bersamanya. "Ada apa? Cerita sama Mama. Siapa yang sudah buat kamu sampai nangis begini?"

"Ini semua gara-gara Delia! Huaaa ...."

"Delia? Apa yang dia lakukan padamu? Beritahu Mama!"

"Delia sudah berani ngerebut Kak Arnold dari aku, Ma. Bahkan dia juga tadi bilang, kalau aku gak pantas untuk disayang sama kak Arnold. Dan dia juga akan rebut Papa dari aku juga. Aku gak mau, Ma," ujar Amel yang memfitnah Delia.

Ini lah salah satu alasan, kenapa Arin sangat begitu membenci Delia. Amel yang terus membuat fitnah pada Delia di hadapan Arin. Seolah-olah dia yang menjadi korban, dan Delia menjadi pelakunya.

Sungguh akal yang sangat busuk dan sangat jahat untuk anak seusianya. Padahal apa yang dirasakannya tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang Delia rasakan.

"Berani sekali dia seperti itu pada kamu?" dengus Arin. "Kamu tenang saja, Mama akan urus dia. Nanti Mama akan beri dia pelajaran, biar dia gak bisa buat anak Mama nangis lagi," ujar Arin. Dan tentu saja Amel tersenyum senang. Karena inilah yang ia inginkan, membuat Delia semakin menderita.

"Sudah, kamu jangan nangis lagi, ya? Lihat, Mama bawa apa untuk kamu?"

"Wah! Baju baru, Ma. Makasih ya, Ma," ucap Amel yang sangat senang, dan kemudian memeluk Arin.

"Iya, sama-sama," jawab Arin yang membalas pelukan Amel.

Di dalam pelukan Arin, Amel pun tersenyum miring. "Tunggu dan lihat saja. Aku akan membalas apa yang sudah kau buat hari ini. Kau mungkin bisa mendapatkan kak Arnold, tapi tidak dengan Mama. Akan ku buat Mama semakin membencimu," batin Amel yang penuh dengan tipu muslihat.

Beberapa menit pun berlalu, akhirnya Delia pun selesai makan makanannya yang di temani oleh Arnold.

"Kalau makannya kayak begini kan, Kakak gak perlu khawatir lagi," ujar Arnold yang tersenyum kepada Delia.

"Karena sudah selesai, Kakak keluar dulu ya. Mau kembalikan piringnya ke dapur. Sekalian mau mandi dulu, sudah bau soalnya." kekehnya yang membuat Delia juga ikut tertawa kecil.

Gemas melihat Delia yang tertawa, ia pun mengacak surai adiknya tersebut. "Kamu juga mandi, ya. Biar tambah cantik," ucap Arnold yang di iyakan oleh Delia.

Arnold pun tersenyum, dan kemudian beranjak pergi dari kamarnya Delia. Tidak lupa ia untuk menutup pintunya kembali.

Tidak lama Arnold keluar, Arin pun masuk kedalam kamar Delia. Di iringi dengan Amel di belakangnya yang tersenyum miring.

🥀🥀🥀

Double up nih .... Jdi segini dulu ya ...

Ngegantung ya? Kek hubungan si doi yang tidak pasti ... 😅

Kira-kira apa ya yang akan dilakukan Arin pada Delia?

Kalau ingin tahu, ikuti terus kisah STD ya ... Biar gak ketinggalan ceritanya ...😊

Surat Terakhir Delia ( on going )Where stories live. Discover now