Part 49

98 15 1
                                    

"Kalau seperti ini, apa itu artinya jumlah musuh lebih banyak?" tanyaku pada Dimas. Dia mungkin memakiku goblok gara-gara pertanyaan itu. Namun, itu tidak penting. Aku hanya ingin tahu apakah dia dan pasukannya mampu menyelesaikan ini.

"Iya. Tapi jumlah nggak selalu penting. kita punya para elit."

"Kalau mereka juga mengirim elit gimana?" tanyaku lagi.

"Kita punya senjata yang lebih canggih. Mafia itu nggak akan bisa kalahin kita," jawab Dimas dengan nada dongkol.

"Kalau skill orangnya melampaui itu?" Aku masih mendesak.

Dimas yang tadinya menjawab lancar, langsung menatap tajam. Sepertinya dia tidak punya jawaban terakhir. Dia pun mendengkus jengkel. "Kalau ada orang kayak gitu, lo segera pergi dari sini. Turun ke basement dan naikin kereta ke gedung utama."

"Kalau gitu, kamu gimana?"

"Lo peduli?" Dimas tersenyum meremehkan. "Tanggung jawab gue di sini. Lo selamatkan diri aja daripada jadi beban."

Ah, aku hanya beban.

Ya, kalau menurut standar Dimas, aku mungkin cuma beban yang harus diurusi karena Ryan memintanya. Aku pun diam, membiarkan teman suamiku itu bekerja. Setelah berhenti ditanyai, Dimas langsung berbicara di hadapan layar komputer. Dia memberi banyak komando dan juga menerima laporan. Meski aku tidak mendengar laporan luar, layar hologram menunjukkan hampir semua informasi.

Violet Leaves, nama itu terpampang di bagian teratas gambar hologram. Jika dulu melihat ini, aku mungkin beranggapan kalau Dimas sedang berakting sok keren. Namun, setelah menerima beberapa bocoran tentang Red Perilla dari Ryan, aku jadi tahu makna nama itu. Keluarga Dimas adalah salah satu Leaves dari Arianata. Keluarga mereka ternyata memang terikat dekat.

Sambil merenungi kerumitan Red Perilla, aku memperhatikan pertemuan titik-titik biru dan titik-titik merah di layar. Sebuah dugaan muncul di kepalaku. Jangan-jangan pertemuan itu menghasilkan pembantaian. Apa ada orang yang mati pada pertikaian ini? Bagaimana caranya mereka berkelahi dengan semena-mena tanpa menarik perhatian polisi?

Jangan-jangan polisi tidak mau ikut campur atas urusan dua pihak ini. Yang satu mafia besar, yang satu pengusaha berpengaruh. Hal terbijak yang dilakukan adalah menutup mata. Selain itu, ini terjadi di area rumah Arianata, tidak ada orang sembarangan yang masuk.

Perkelahian kelihatannya akan memakan waktu lama. Karena itu, aku memeriksa ulang persenjataan yang aku simpan. Ryan memberiku sebuah belati laser, pistol ringan, rompi anti peluru, dan sebuah helm yang katanya anti peluru juga. Menurutnya, untuk orang tidak terlatih sepertiku, senjata-senjata ringan itu akan lebih membantu.

"Apa kamu menyesal menikahiku? Aku sendiri nggak tahu kalau keluargaku serumit ini," ujar Ryan ketika menyerahkan benda-benda itu kemarin.

Tentu saja aku menjawab tidak. Aku cuma perlu menyesuaikan diri. Apa boleh buat ketika perasaan membawaku ke jalan ini.

"Squad dua mundur, digantikan Squad lima. Squad tiga lanjut terus, bawa mereka ke tengah, formasi C." Dimas masih sibuk mengatur strateginya. Dia bicara semakin cepat dan tangannya menggerakkan mouse.

Aku harus mengakui kalau manusia menyebalkan ini cukup lihai. Jumlah musuh yang datang ternyata tidak bisa menekan pasukan miliknya. Apa ini yang menyebabkan komik yang ditulis Dimas populer? Kalau tidak salah tema komiknya tentang manusia yang bertahan dari serangan zombie. Mungkin dia menuangkan keahliannya ke dalam komiknya itu.

Setelah satu jam, sebagian besar titik merah menghilang. Namun, saat itu juga, aku melihat sebuah titik merah yang berkedip kemudian berubah jadi biru? Apa ada kesalahan pada sistem?

Titik itu terlihat mencurigakan. Aku ingin memberi tahu apa yang aku lihat pada Dimas, tetapi dia masih sibuk bicara. Aku pun terpaksa menunggu hingga dia sempat menarik napas karena titik-titik merah yang ada sudah kurang dari lima dan jumlah titik biru jauh melampauinya.

"Oi, apa artinya kalau sebuah titik merah berubah jadi biru lalu menghilang?" tanyaku.

"Apa lo lihat itu? Kapan?" Dima melebarkan mata.

"Sekitar setengah jam yang lalu?"

"Shit!" Dimas langsung meletakkan headphonenya, bangkit mendekatiku, lalu menarik lenganku agar mengikutinya. "Lo harus segera pergi dari sini."

"Eh? Kenapa?" tanyaku. Pertanyaan itu tercetus begitu saja tanpa menyadari kalau aku akan dihakimi lagi kalau menanyakannya pada Dimas.

"Tanda biru itu kalau seseorang memakai helm khusus. Kalau ada titik merah berubah jadi biru, artinya ada musuh yang tahu sistem kerja kita. Dia tahu kalau dia tinggal make helm itu agar dideteksi sebagai teman. Orang itu pasti elit. Dia mungkin udah mengendap-endap ke dalam rumah tanpa terdeteksi. Elo harus pergi karena gue nggak tahu kapan orang itu bisa ditemukan. Bisa jadi dia udah di dekat sini." Dimas menjelaskan sambil menarikku ke pintu rahasia di dekat lemari pajangan.

Dia membuka kotak rahasia yang tertanam di dalam tembok lalu men-scan iris matanya. Dia sepertinya lupa kalau aku bisa melakukannya sendiri. Sayangnya, ketika sistem sedang memproses data, suara ledakan terdengar dan pintu ruang tamu dibuka paksa. Seorang laki-laki tinggi dan berotot memasuki ruangan dan langsung mengarahkan laras senapannya ke kotak security yang sedang memproses pembukaan pintu rahasia.

Dimas segera menarikku menunduk lalu bersembunyi di belakang lemari.

Dor! Dor! Dor! Tiga tembakan mengenai kotak security dan meledakkannya. Pintu rahasia tidak lagi bisa terbuka karena sistem yang digunakan rusak. Kami terjebak.

"B*ngk*!" Dimas memaki lagi. Dia segera mengambil pistol di sakunya dan menembak ke arah laki-laki berkepala plontos yang datang memburu kami. Orang itu menghindar dengan cepat meski Dimas menembak beruntun.

Diam-diam aku mengambil pistol yang kubawa. Menurut Ryan, akan lebih bagus kalau aku tidak menunjukkan kekuatan. Aku tidak perlu terlihat bisa menggunakan senjata dan hanya menyerang ketika musuh sudah lengah.

Setelah Dimas menembak berkali-kali, pistol Dimas kehabisan peluru. Dia lalu memasukkan amunisi dengan cepat dan mendorongku ke belakang. Saat itulah aku baru menyadari kalau ada darah yang mengucur turun dari tangan kiri Dimas. Dia mungkin tertembak ketika penjahat tadi menyerang kami pertama kali.

"Lukamu ...," bisikku memperingati.

"Diem! Jangan bikin gue rusak konsentrasi," celetuk Dimas jengkel. Dia kembali menembakkan peluru. Kali ini kaki penjahat itu berhasil ditembus, tetapi peluru sang penjahat juga menggores leher Dimas. Bergeser sedikit saja, Dimas mungkin mati di tempat.

Tanganku langsung dingin melihat kejadian itu. Suara-suara tembakan yang tadinya hanya mengejutkan, kini menakutiku. Ditambah lagi, penjahat plontos tadi semakin mendekat. Kami terpojok dan tidak bisa kabur sedangkan penjahat itu pelan-pelan menyudutkan kami.

Dimas pun terlihat mengerutkan kening. Namun, dia masih punya solusi. "Tenang, sebentar lagi akan ada yang datang. Mereka pasti udah denger ledakan. Kita cuma perlu bertahan sampe bantuan tiba."

Benar saja, sayup-sayup suara derap langkah mulai terdengar. Dimas tersenyum tipis, berlawanan dengan ekspresi si penjahat yang mengeras. Mungkin karena merasa tidak punya banyak waktu, penjahat itu bergerak ke arah kami secepat kilat tanpa peduli tembakan Dimas. Dia mengeluarkan satu pistol tambahan dan menembakkan dua peluru secara bersamaan ke arahku. Aku dan Dimas juga spontan menembak ke arah orang itu. Empat suara tembakan meletus bersamaan.

Satu peluru mengenai dadaku sedangkan satu lagi mengenai pahaku. Untungnya dadaku dilindungi rompi anti peluru sehingga hanya pahaku yang menjadi korban. Rasa sakitnya seperti menyetrum seluruh tubuhku dan membuat pandanganku kabur.

Sialnya, penjahat tadi juga mengenakan rompi anti peluru. Tembakanku yang mengenai perut menjadi tak berarti. Hanya tembakan Dimas yang berhasil mengenai sendi putar lengan kiri penjahat itu.

Dengan berlumuran darah, si penjahat tetap berusaha mendekat. Dia membuang kedua pistolnya dan  mengambil pedang panjang. Jaraknya dengan kami hanya satu meter. Bersamaan dengan Dimas yang menarik pelatuk pistol, si penjahat mengayunkan pedangnya untuk memotong leher kami berdua.

***

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now