Part 45

156 11 1
                                    

Tiga hari berlalu dengan berbagai berita mengisi surat kabar. Ada akusisi perusahaan, kasus korupsi, pergantian manajemen beberapa perusahaan lainnya, kebangkrutan, kebakaran, penangkapan sindikat mafia dan bahkan penemuan korban pembunuhan. Sekilas semua itu terlihat seperti kejadian acak. Namun, jika disandingkan dengan laporan yang aku terima dari jaringanku, berita-berita itu terkait satu sama lain.

Dunia hitam sedang mengalami kekacauan. Dalam waktu singkat, Zephir kehilangan banyak bisnis karena diambil alih pesaing. Beberapa pendukungnya membelot dan lebih memihak Ryan. Aku tidak tahu seberapa jauh Red Perilla terlibat dalam urusan ini, tetapi aku lihat Emily marah atas cara Ryan menyelesaikan bisnisnya.

"Sweetie, Ryan tidak bisa begini. Dia harus belajar sabar dan menyelesaikan tugasnya dengan cara yang lebih cerdas. Kalau punya banyak pion, dia nggak perlu maju dan menyelesaikannya dengan tangannya sendiri. Kalau dia menarik perhatian, dia akan berada dalam bahaya." Emily mengomel untuk kesekian kalinya ketika membuat panggilan video.

Aku bisa memahami sudut pandang Emily. Namun, aku juga bisa melihat sudut pandang Ryan. Karenanya aku terpaksa menjadi penyambung pendapat. "Ma, Ryan bukan orang yang suka bersembunyi. Dia selalu mencapai apapun dengan cara terbuka." Ryan selalu mencintai dengan terbuka, membenci dengan terbuka, dan mengejar kemauannya dengan terbuka juga. Suamiku itu tidak bisa menjadi terselubung. Itu mungkin gaya Emily, tetapi bukan gayanya Ryan.

"Ah! Inilah kenapa aku nggak setuju Ryan dididik oleh Elias. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Keputusan para tetua sialan itu tidak bisa diganggu," keluh Emily.

Bukannya kamu ketahuan berselingkuh makanya papa yang akhirnya mendapat hak asuh? Tentu saja mereka memutuskan untuk memberikan Ryan pada orang tua yang lebih bertanggung jawab. Aku hanya bisa mengucapkan itu dalam hati. Diam-diam, aku bersedih untuk Ryan karena harus menghadapi orang tua yang sayang, tetapi tidak pengertian. Keduanya orang tua Ryan sangat cerdas tetapi kalau urusan empati mereka tidak peka.

"Ma, gimana kalau kita percaya pada Ryan?" pintaku sekaligus menenangkan Emily.

"Lan, kalau suamimu ceroboh, kamu harusnya mengingatkan, bukan membelanya!"

"Tapi kita bisa memberi dia kesempatan dulu."

"Oh, sweetie, kamu terlalu naif. Ryan nggak bisa coba-coba."

Tidak ada gunanya berdebat dengan Emily. Pada akhirnya aku hanya mendengarkan. Walau menyimak, aku tetap merasa bahwa tidak ada masalah kalau Ryan menggunakan metodenya. Kalau dia mau menghadapi Zephir sebagai seorang pemimpin, bukan konspirator, kenapa tidak? Kalaupun Ryan turun tangan dan mendatangi markas Zephir, aku tidak akan heran. Dia memang seperti itu, mencapai apa pun dengan tangannya sendiri.

Keberaniannya itu membuatku iri sekaligus kagum.

Kami menghentikan panggilan video setelah Emily puas mengeluh. Syukurnya mama mertuaku tidak meminta tanggapan lagi sehingga aku tidak perlu berpikir. Usai menutup layar komputerku, aku turun ke ruang tamu untuk menunggu Ryan sambil membaca.

Awalnya semuanya terasa biasa sampai Ryan pulang. Ketika pintu terbuka dan Ryan muncul, mataku langsung terfokus pada lengan kirinya yang terbalut perban. Warna putih perban terlihat kontras dengan T-Shirt hitam yang dia kenakan. Wajahnya juga terlihat agak pucat. Spontan aku berdiri dan berjalan cepat ke arahnya.

"Gimana caranya kamu bisa terluka?" tanyaku dengan suara gemetar. Banyak pemikiran buruk memasuki kepalaku. Aku takut dia nekat. Karenanya hatiku tidak bisa menerima penampilan Ryan saat ini.

"Cuma luka kecil. Nggak apa-apa." Ryan menjawabku dengan suara lelah.

"Kalau luka kecil, kenapa sampai diperban? Kenapa mukamu pucat gini? Apa itu luka tembak?"

"Nggak, ini cuma goresan pisau."

Aku menarik tangan kiri Ryan dan memperhatikan balutan perbannya dengan teliti. Tidak ada rembesan darah tetapi aku juga tidak bisa melihat seberapa parah luka yang di sembunyikan di bawah lapisan perban itu. Ryan menghela napas.

"Aku cuma kurang hati-hati. Jangan panik."

Bagaimana caranya aku tidak panik?

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Aku didatangi orang-orangnya Zephir. Jadi ya kamu tahu sendiri apa yang harus dilakukan."

"Berapa orang? Apa ada yang lain yang terluka? Bukannya kamu punya banyak bodyguard?"

"Sayang, kalau aku bawa banyak bodyguard, mereka nggak akan datang. Cuma ada aku dan Clay. Ada sepuluh orang yang datang."

"Itu artinya kamu dikeroyok!" Aku semakin cemas. "Apa kamu perlu menghadapi mereka sendiri?" Sekarang aku terdengar seperti Emily.

"Biar semuanya cepat selesai. Mereka semua pengecut jadi perlu dipancing. Aku nggak mau liburan kita ditunda lama jadi aku harus sedikit radikal."

"Yan, liburan bisa urusan nanti. Kamu nggak perlu keburu-buru dan nekat!" Suamiku ini perlu menyusun skala prioritas dengan benar. Liburan kami bisa menunggu!

"Nggak bisa. Aku mau kerjaan nyebelin ini beres cepat. Selain itu, pendukung-pendukung Zephir di luar negeri sedang sibuk dan nggak bisa ngurusin antek mereka di sini. Kalau aku nggak cepat, usaha papa bantuin aku di luar bakal sia-sia."

"Papa?" Elias? Jadi itu alasan Elias ke luar negeri? Memotong jaringan yang akan mendukung Zephir dari luar? Agar Ryan lebih leluasa?

"Iya. Apa kamu pikir, tanpa bantuan papa ini bakal beres? Zephir udah mengakar lama, backingnya banyak. Red Perilla perlu mengincar dia beberapa tahun dan papa perlu merancang strategi yang tepat untuk menekan orang itu. Aku cuma eksekutor terakhir. Semuanya udah ada dan tinggal memotong kepalanya bossnya aja. Karena kerjaanku paling gampang, aku harus totalitas. Jadi aku mau membereskan ini dengan cepat dan efisien."

Sial, aku semakin tidak paham pada keluarga ini. Meski Emily memberiku banyak informasi, tetap saja aku berada di luar loop. Elias sepertinya tidak mengacuhkan mantan istrinya itu dan menyembunyikan informasi. Apa Elias sudah menyetujui semua rencana Ryan? Apa iya, Elias yang dikenal overprotective itu akan membiarkan Ryan membahayakan dirinya?

"Apa papa setuju dengan apa yang kamu lakukan? Apa papa tahu kalau kamu memancing orang-orang Zephir untuk menyerangmu dengan berkeliaran tanpa bodyguard?" tanyaku memastikan.

"Nggak. Kan terserah aku, mau beresin dengan cara apa. Yang penting selesai, semua orang akan happy."

"YAN!" Sudah lama aku tidak membentak Ryan tetapi kali ini bentakan itu keluar begitu saja. "Bisa nggak kamu mikir dulu sebelum bertindak?"

"Aku udah mikirin semuanya baik-baik. Apa aku kelihatannya seperti orang ceroboh yang melakukan sesuatu tanpa rencana?" tukas Ryan tidak terima.

Kalau boleh jujur, aku ingin menjawab iya. Bukannya selama ini tangannya selalu bergerak lebih cepat daripada pikirannya kalau sedang emosi? Siapa yang mau dia bodohi dengan pertanyaan itu?

"Kali ini kamu kelewatan. Apa kamu pikir kamu akan menang mudah biarpun dikeroyok?"

"Iya." Ryan menjawab cepat. Dalam sekejap kepercayaan diri Ryan membuatku jengkel. "Buktinya aku menang tadi. Biarpun ada empat pembunuh profesional di antara mereka, aku dan Clay menaklukkan mereka dengan cepat."

"Tapi kamu terluka!" Aku semakin frustasi.

"Ini cuma luka kecil. Jangan ikut-ikutan lebay kayak papa. Dulu waktu kecil aku terluka lebih banyak dan bisa aku tahan. Nantinya sembuh sendiri kok."

Karena marah, aku menarik kaos Ryan dengan kasar. "Yan, sayangi dirimu sedikit. Kenapa kamu susah banget paham? Ini yang bikin aku khawatir. Kamu merasa luka-lukamu nggak penting." Demi tujuannya, Ryan tidak takut resiko. Itu terdengar mengagumkan. Namun, itu juga yang membuatku tersadar akan seberapa mudahnya Ryan mengabaikan dirinya. Baik luka fisik maupun luka hati, Ryan seringkali tidak peduli.

Dulu, bukan hanya rasa sakit di dirinya yang dia abaikan, rasa sakit orang lain juga tidak bisa menimbulkan empati di hatinya. Karenanya, dia tidak ragu berbuat kasar dan baru berhenti ketika dipaksa berhenti. Kini, ketika tahu bahwa tubuh manusia tidak boleh disakiti seenak hati, masih ada satu orang yang tidak dia beri empati, dirinya!

***

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now