Part 42

149 18 5
                                    

Andrew mematikan telepon Bian setelah aku mematikan loudspeaker. Tidak lama kemudian Bian menelepon lagi tetapi Andrew mengabaikannya.

"Aku cuma nggak mau menguping pembicaraan. Kalian bisa ngobrol. Kenapa kamu nggak angkat teleponnya?" kataku.

"Dia udah sering dicuekin. Biar aja." Andrew menyilangkan kaki. "Aku udah bosan dengar keluhannya. Itu itu aja, nggak pernah berubah," ujarnya dengan nada malas.

"Biarpun gitu, bocorin obrolan kalian tetap aja nggak sopan."

"Bodo amat. Sejak lama aku pengen kamu denger sendiri apa yang dia bilang. Sekarang kita kebetulan ketemu, mungkin udah takdirmu buat tahu? Jadi, kamu mau dengerin apa nggak? Sofia dan aku udah sering denger ini. Kamu aja yang nggak tahu."

"Kamu yakin banget apa yang bakal dia omongin."

Andrew mendengkus. "Tentu aku yakin! Apa kamu nggak denger suara dia tadi? Dia pasti lagi mabuk. Sekarang saatnya dia nyerocos nggak jelas."

"Mabuk? Dia nggak pernah gitu sebelumnya." Aku tidak percaya.

"Dulu iya. Sejak balikan sama kamu lagi, dia udah nggak jelas. Bikin susah semua temen-temennya."

Benarkah? Aku mengepalkan tangan. Tiba-tiba bayangan Bian mengkonsumsi obat-obatan muncul di ingatanku. Mungkinkah aku membawa pengaruh buruk?

"Drew, mungkin lebih bagus Bian sendiri yg ngomong kalau dia udah siap." Sofia menyarankan.

"Aku nggak peduli dia siap atau nggak. Kemauan dia bukan urusanku. Aku cuma udah capek ngeliat dia kayak gitu." Andrew memutar-mutar ponselnya. Sepasang matanya menatapku lurus-lurus. "So, are you brave enough to know? Or, do you want to feel save in your little fake heaven? Choose one!"

Ponsel Andrew masih berbunyi pelan, menandakan Bian masih menunggu panggilannya dijawab. Meski sambungan sempat terputus, Bian tetap mengulangi panggilan dengan keras kepala. Pandanganku tidak bisa menjauh dari wajah Andrew. Dia terlihat sama keras seperti sebelumnya. Kebenciannya padaku tidak berkurang. Karenanya, pikiranku mengatakan kalau mengikuti saran Andrew adalah pilihan buruk. Namun, aku ingin mendengar perasaan apa yang disembunyikan Bian dariku.

"Oke, aku mau dengerin," jawabku akhirnya. Sofia menghela napas pasrah.

Tanpa mengubah ekspresi, Andrew menjawab panggilan Bian dan mengaktifkan loudspeaker. "M*th*rf*cker! Why are you so annoying!" hardik Andrew emosi. Apa dia selalu seperti ini kalau bicara pada Bian? Kenapa Bian masih saja suka menghubunginya?

"Aku lagi butuh temen ngobrol. Kamu lagi dimana? Apa aku boleh main ke sana?" Suara Bian terdengar.

"Jangan! Aku nggak mau kamu dateng kalau masih mabuk," sahut Andrew ketus.

"Aku nggak mabuk. Cuma minum dikit," tepis Bian. Namun, aku bisa mendengar ada yang tidak beres dengan cara bicaranya.

"Apa lagi yang mau diomongin? Mending kamu telpon pacarmu sana! Biar dia yang ngurusin kamu. Jangan nyusahin orang lain."

"Nggak. Dia bakal kecewa kalau tahu aku kayak gini."

"Kalau cuma karena ini dia kecewa, mungkin kalian sebenarnya nggak tulus." komentar Andrew santai. Dia kemudian menambahkan. "Ah, aku lupa. Kamu kan nomor dua. Kalau perasaan kalian cukup kuat, nggak mungkin dia menikah dengan orang lain." Sindiran Andrew terdengar tajam di telingaku.

Bian tertawa getir. "Aku juga nggak ngerti hubungan kami. Apa benar dia masih sayang padaku? Aku bingung."

"Kalau kamu bingung, mungkin jawabannya nggak," ujar Andrew. Aku ingin menentang itu, tetapi kondisi tidak memungkinkan untuk menjelaskan.

"Nggak gitu, dia masih memperlakukanku sama. Aku tahu dia masih sayang. Tapi ya itu, dia juga sayang sama Ryan. Duuh, aku nggak bisa gini terus. Aku senang banget pacaran sama dia tapi juga sakit banget. Lama-lama rasanya aku jadi gila."

"Kau emang udah gila! Kalau nggak gila, ngapain kamu ngide buat deketin suaminya pacarmu? Makin lama otakmu makin sakit."

"Itu ... ah, bukannya bagus kalau kami saling sayang? Kalau semuanya rukun, nggak akan ada masalah. Damai pangkal kebahagiaan," kata Bian terdengar dewasa. Namun, tak lama kemudian dia malah mengalami breakdown. Dia terdiam sejenak kemudian bicara lagi. Suaranya serak dan dia makin emosi.

"Cuma aku yang nggak suka kondisi ini, Allan sama Ryan tenang-tenang aja. Apakah egois kalau pengen Allan buatku aja? Nggak egois kan? Semua orang mau pasangan mereka buat mereka aja. Aku sempat kepikiran, udahlah, menyerah. Tapi, aku selalu inget gimana senengnya kami dulu. Aku marah, tapi aku juga sayang. Akhirnya, aku ikut arus aja. Mungkin bagusan kalau aku juga pacari Ryan." Bian meracau tanpa kejelasan cerita. Sepertinya dia memang sedang mabuk.

Sofia menarik napas dalam. Andrew sendiri sudah memutar bola mata berkali-kali sejak tadi.

"Oke, aku tahu aku seharusnya nggak kayak gini. Malam ini aja kok, aku nggak akan ngulangin lagi." Penyesalan mewarnai nada suara Bian.

"Aku kesepian. Allan dulu nggak kayak gini. Aku mau kami kembali kayak sebelumnya. Aku emang salah karena malah ninggalin dia. Tapi, aku bisa apa? Aku cuma orang yang nggak punya kuasa apa-apa. Nggak ada yang bisa aku lakuin waktu pacarku dijebak. Waktu itu, Allan juga kelihatan makin dekat dengan Ryan. Aku cuma bisa cemburu tapi Ryan bisa melakukan apa aja. Gimana aku nggak marah!"

"Sampe kapan kamu mau ngomongin masa lalu!" hardik Andrew tiba-tiba. Bian pun terdiam.

Aku merasa mataku panas. Ketika teguran jengkel Andrew menggema, aku terhenyak dan menyadari tanganku sudah terkepal dengan gemetar. Ada rasa benci yang menyeruak di dadaku. Kebencian pada diriku sendiri.

"Bi, aku capek dengerin ini. Kamu harusnya cerita ini sama pacarmu, bukan ke aku, bukan ke Daffa, bukan ke Sofia juga. Buat apa kamu ngeluh-ngeluh gini kalau bukan ke orang yang pas? Kamu cuma denial, tau! Kalau mau marah, marah ke orang yang bikin kamu kayak gini!" Andrew menyilangkan tangan di depan dadanya.

"Nggak mau," sahut Bian pendek. "Aku belum mau putus. Kalau aku ngomong gini ke Allan, dia bakal mikir kalau putus lebih baik. Aku masih pengen sama dia."

"Biarpun kamu tersiksa kayak gini?"

"Kalau kami pisah, aku akan lebih tersiksa lagi."

Aku memejamkan mata lalu menunduk. Aku menahan diri sekuat tenaga agar tidak bicara. Tidak ada solusi yang bisa dihasilkan pikiranku. Hanya ada puluhan pertanyaan untuk Bian. Hanya ada kumpulan emosi yang menyesakkan.

Setelah hening beberapa lama, suara Bian terdengar lemah. "Aku mesti gimana?" tanyanya.

"Mana kutahu?" jawab Andrew ketus.

"Ah, iya, nggak ada yang tahu. Biar aja kayak gini. Toh nggak ada yang tahu kan? Allan juga masih sayang, harusnya itu cukup. Aku harus belajar merasa cukup, aku harus belajar sabar."

"Dasar fake!" cetus Andrew ketika Bian mensugesti dirinya.

"Ini namanya pasrah," sahut Bian.

"Itu namanya bunuh diri pelan-pelan," ucap Andrew dengan penekanan pada kata 'bunuh diri'.

Aku merasa yang dilakukan Bian bukan kepasrahan, bukan juga bunuh diri. Mungkin sebenarnya itu adalah pembunuhan dan aku yang membunuh Bian perlahan-lahan.

***

Catatan Author:

Gw nggak nyangka masih ada yang bertahan sampai sini. Buat kalian yang masih bertahan, ada sedikit info.

Gw lagi bikin pdf novel ini dan mau revisi tata bahasanya. Maklum, gw bukan penulis gercep jadi prosesnya pelan-pelan. Dan, buat kalian yang nyampe di sini setelah semua adegan absurd yang gw bikin, terima kasih dan kalian boleh tanya apa aja ttg novel ini dan ngusulin apa yg mau direvisi. Pertanyaannya akan gw jawab dengan mode ramah, revisi akan gw pertimbangkan. Ini buat kalian yang nyampe sejauh ini aja.

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now