Part 23

341 19 7
                                    

Membiarkan dua orang mengisi hatiku hanya akan menyakiti kami bertiga. Aku sudah tahu itu sebelum Sofia memperingatiku. Meski sadar, hatiku tidak kuat mengambil keputusan.

"Kamu akan membuat mereka saling membenci dan saling menghancurkan. Apa kamu mau melihat itu?" tanya Sofia ketika kami mengobrol setelah resepsi pernikahanku. Sampai sekarang pertanyaan itu terus terngiang.

Meski kata-kata Sofia ada benarnya, aku belum punya solusi untuk menyelesaikan hubungan segitiga ini. Mungkin, aku akan membiarkan status quo ini terlebih dahulu. Toh, semuanya masih aman. Ryan dan Bian tidak terlihat bermusuhan, setidaknya untuk saat ini.

Aku berjalan bersama Ryan menuju apartemen. Tangan Ryan melingkar di pundakku erat, seperti tidak mau lepas. Kehadiran Bian selalu membuatnya lebih melekat. Sikap Ryan itu aku balas dengan memegang tangannya. Dia pun menyentuhkan pipinya ke pipiku.

"Kalau kayak gini, rasanya aku pasti kuat menyelesaikan masalah apa pun," ujar Ryan semakin menempel.

"Manja sekali. Nanti diliatin orang," keluhku. Namun, tetap membiarkan Ryan sesukanya.

"Halah, di sini orang berciuman di tempat umum udah biasa. Cuma segini doang, masih sopan tahu," balas Ryan. "Tiba-tiba aku nggak mau pulang. Kita cari hotel aja gimana?"

Aku tidak menjawab karena tidak bisa. Kalau mengiyakan, bagaimana dengan Bian? Aku juga tidak bisa menolak permintaan itu. Sulit bagiku untuk memilih dua pilihan yang sama-sama membawa kekecewaan.

"Jangan dipikirin, aku cuma becanda." Ryan bicara lagi karena aku malah diam cukup lama.

"Sorry," kataku.

Ryan menghela napas. "Udah dibilang jangan dipikirin," sahutnya. Dia langsung mengubah topik. "Ngomong-ngomong, soal investasi Red Ferilla, aku yang akan handle. Kamu jangan turut campur di sini. Gimanapun, itu tanggung jawabku. Aku nggak mau kamu kena masalah," kata Ryan pelan.

"Aku bisa bantu kalau kamu butuh," ucapku.

"Jangan! Aku pengen satu dari kita nggak berurusan dengan hal itu." Ryan mengeratkan pegangannya pada pundakku. Aku mengangguk, tidak mau berdebat.

Kami tidak memerlukan waktu lama untuk berjalan pulang. Beberapa menit setelah obrolan, kami sampai dan menaiki lift. Aku melirik Ryan yang terlihat fokus. Seandainya dia selalu tenang seperti ini, aku yakin, tidak akan ada yang memberinya julukan-julukan aneh. Dia terlihat lebih dewasa. Ditambah dengan otaknya pintar, kharismanya muncul.

Sesampainya di apartemen, hanya kesunyian yang menyambut kami. Aku meneliti ke segala arah, tetapi tidak menemukan Bian di dapur maupun di ruang tamu. Ketika mencoba mencari di kamarku, barulah aku melihatnya. Dia duduk melamun di kursiku dan baru terhenyak ketika aku mendekat.

"Kak," sapaku.

Bian mengerling ke arahku dan tersenyum lebar. Setelah melihatku, dia bangkit dari tempat duduk dengan ekspresi rumit. Dengan langkah ringan dia mendekat kemudian memelukku erat. "Lan ...," bisiknya. Pelukannya terasa berat dan tidak asing. Dulu, dia selalu memeluk seperti ini kalau punya banyak beban.

Aku pun membalas pelukan itu dan bertanya. "Apa ada masalah?"

"Iya, jantungku rasanya mau berhenti kalau kamu nggak menolongku," rajuknya.

Di belakangku, Ryan terdengar mengembuskan napas karena jengkel. "Caper!" celetuknya.

"Ngomong yang jelas, kak," kataku. Aku mengusap-usap punggung Bian. Ketika dia merasakan itu, Bian menenggelamkan wajahnya di pundakku.

"Kalau kamu nggak bilang kalau kamu mencintaiku, aku akan mati," sahutnya.

"Aku cinta kakak," jawabku cepat. "Udah kan? ada lagi?"

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang