Part 21

349 20 2
                                    

Ada beberapa penelitian sensitif yang dibiayai oleh Red Ferilla, antara lain: modifikasi genetik, organ buatan, serta pengembangan sistem pertahanan otomatis. Tiga hal itu ambigu dan cenderung melanggar tabu atau keamanan. Ketika Emily menjelaskannya padaku dan Ryan, kami langsung mengerutkan kening.

"Ma, apa ini tidak mengundang bahaya?" tanya Ryan.

Tanpa perlu mendengar jawaban Emily, aku sudah menjawab iya dalam hati. Ini jelas adalah jawaban kenapa Ryan sering diincar kriminal. Kalau pun dia tidak tahu rahasia apa pun, akan ada yang tergoda untuk menggunakannya sebagai alat untuk memaksa orang tuanya membongkar rahasia.

"Memang agak berbahaya. Akan tetapi, Red Ferilla melindungi keluarganya," jawab Emily seakan-akan hidup Ryan normal.

"Melindungi gimana? Jelas-jelas mereka tidak bisa melindungi siapa-siapa." Nada bicara Ryan mulai terdengar panas. Aku setuju dengannya. Perlindungan macam apa yang membuat Ryan mengalami penculikan beberapa kali ketika kecil. Mereka jelas-jelas lalai.

"Kalau mereka tidak melindungimu, mana mungkin kamu bisa tumbuh sesehat ini?" Emily membela diri.

Apa itu semua dianggap normal karena Ryan masih selamat hingga sekarang? Jika tidak ada perlindungan, apa yang akan terjadi pada Ryan? Kalau anaknya saja mengalami banyak hal, bagaimana dengan Elias dan Emily? Kepalaku tiba-tiba pening.

Setelah mendengar semua cerita, tentu saja Ryan murka. Dia tidak suka karena baru diberi tahu sekarang. Dia juga tidak suka mendengar Emily menggampangkan penderitaan yang dia alami. Ryan pun membongkar semua kekecewaannya pada mamanya, mulai dari keegoisan orang tuanya hingga hubungan pernikahan mereka yang kacau. Topik pembicaraan pun akhirnya melebar.

Ibu dan anak itu bertengkar sedangkan aku berada di antara mereka sebagai penonton. Aku tidak tertarik untuk menengahi karena aku sendiri tidak paham akan apa yang harus dikatakan. Meski berpacaran lama, masih ada yang tidak aku pahami dari Ryan, terutama kekesalannya pada orang-orang terdekatnya.

Aku semakin kesulitan memahami isi pertengkaran mereka ketika Ryan mengeluarkan bahasa Perancis. Mungkin Ryan terlalu emosi sehingga dia menggunakan bahasa yang paling akrab di antara dirinya dan mamanya. Yang bisa aku tangkap hanya kesedihan Ryan dan ketenangan Emily.

Ibu-anak itu baru berhenti bertengkar setelah Ryan tidak lagi bisa berkata-kata karena kalah berargumen. Suamiku ini memang tidak bisa bicara banyak kalau emosi. Dia hanya bisa melampiaskan murkanya dengan memukul meja kayu hingga retak. Melihat kemarahan itu, aku merasa prihatin padanya.

"Ma, sesekali perhatikan perasaan yang lain. Mama nggak bisa hanya menggunakan analisis logis dalam hal ini. Meski yang mama lakukan memiliki alasan masuk akal, terutama ketika menyerahkan Ryan pada papa, apa mama tidak berpikir kalau hal itu meninggalkan kesedihan untuknya? Hati manusia juga berharga, Ma. Apa mama tidak memikirkan kerugian itu?" Mau tak mau aku merasa ingin berpihak pada Ryan.

"Apa kamu bisa bahasa Perancis? Bagaimana kamu bisa tahu kalau tadi kami membicarakan ini?" tanya Emily heran.

Tentu saja aku paham. Setelah dua tahun tinggal bersama, aku tahu betul yang paling membuat Ryan sakit hati. Dia merasa dibuang oleh mamanya sendiri sedangkan Emily merasa apa yang dilakukan selalu melewati pertimbangan matang. Meski kehidupan cintanya berantakan, Emily sebenarnya pemikir dingin yang tidak terikat perasaan secara mendalam pada siapapun.

Setelah menjadi murid Emily selama dua tahun, aku pun kesal dengan pemikiran dingin mentorku ini. Dia sering mengejar kesenangan. Namun, jika mengurusi bisnis, seringkali Emily tidak menggunakan perasaan. Mama mertuaku ini selalu mengesampingkan perasaan karena menurutnya hal-hal emosional akan membuat manusia jadi bodoh.

"Aku hanya menebak," jawabku. Tentu saja itu tidak sepenuhnya jujur.

"Ryan tidak bisa terus-terusan bersikap emosional seperti ini. Dia harus terbiasa dengan kondisi keluarga. Kalau tidak begitu, gimana caranya dia mewarisi bisnis keluarga nantinya? Lagipula semua bagian Red Ferilla selalu mengalami ancaman. Dia perlu terlatih mental untuk menghadapinya. Jangan manja! Mama bukannya nggak sayang, tapi ada yang lebih penting."

"Iya, semuanya lebih penting daripada aku!" Ryan membentak lalu berjalan ke pintu. Mau tak mau aku menyusulnya. Emily hanya menghela napas kemudian menuangkan wine.

Ryan berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. Aku mengikuti perlahan, tidak mau mengejarnya. Kalau dia sedang panas begini, akan ada yang rusak. Benar saja, mendekati kamar, dia langsung menendang satu vas hingga pecah. Dia tidak bisa menyampaikan keluhannya dan malah mengacaukan sekitar.

Setelah berbuat barbar, dia akhirnya masuk kamar dan berdiri di dekat jendela. Ekspresinya sulit kupahami. Kilat kemarahan di mata jingganya terasa menakutkan. Namun, ada juga penderitaan di sana. Baru kali ini aku melihat Ryan bertengkar dengan mamanya dan dia terlihat sangat terluka.

"Yan," panggilku.

Dia menoleh, menatapku lama, lalu menarik napas dalam-dalam dengan mata bergetar. "Lihat sendiri kan? Anaknya beberapa kali jatuh ke tangan penjahat tapi dia malah bilang kalau itu nggak penting sejauh semuanya masih terkendali. Aku tidak tahu apa dia menyayangiku atau tidak peduli. Aku tahu dia sudah memfasilitasi semua yang dibutuhkan tapi ...." Ryan kehilangan kata-kata kemudian kembali berpaling.

Tidak mau melihat Ryan terlukai kemarahannya sendiri, aku mendekat dan memeluknya. Dia membalas dan menjatuhkan kepalanya di pundakku. "Mama bilang kalau aku terlalu kekanak-kanakan. Aku perlu belajar menjadi dewasa dan tidak marah karena hal-hal yang ada di masa lalu. Gimana caranya aku nggak marah setelah tahu kalau penyebab semua kejahatan yang aku alami adalah mamaku sendiri? Dia bahkan nggak minta maaf dan merasa sudah melakukan hal yang benar."

Aku mengelus-elus punggung Ryan. Dia masih bersungut-sungut tetapi melunak. Sambil memeluk lebih erat, dia bicara lagi. "Dulu, sewaktu tertangkap, aku kira aku akan mati. Waktu itu, karena aku kecil, semua orang terlihat seperti raksasa yang akan menerkamku. Biarpun aku berhasil selamat, selama berhari-hari aku bermimpi buruk."

"Semuanya udah lewat." Aku mencoba menghibur tetapi Ryan seperti berada di dunianya sendiri dan lanjut menggumam.

"Iya, semuanya sudah lewat. Tapi kebencianku tidak bisa aku lupakan. Aku tidak habis pikir gimana caranya ada seorang ibu yang setenang itu mengatakan kalau pengalaman mengerikan untuk anaknya adalah pelajaran yang baik. Aku benar-benar membencinya. Tapi, di saat yang sama, aku juga merasa tidak bisa membenci mamaku sendiri. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."

Entah, aku juga tidak tahu. Masalahnya tidak ada cara emosional yang bisa membuat Emily mendengarkan. Mungkin, ini juga yang menyebabkan Elias malas berbicara padanya. Sementara itu, Ryan mudah tersulut emosi. Di hadapan Emily yang logis, dia akan selalu terlihat kekanak-kanakan.

Aku berpikir cukup lama tetapi tidak menemukan jawaban. Ketika aku masih berpikir, Ryan bicara lagi. "Ayo pulang ke Inggris. Aku sudah tidak betah berada di sini."

***

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now