Part 4

890 53 5
                                    

Selama di Inggris, aku menyadari bahwa beasiswaku tidak bisa memberikan uang lebih untuk disisihkan. Agar bisa mengirim sedikit uang ke rumah, akupun kembali bekerja menjadi waiter di restoran. Namun, baru tiga bulan bekerja, aku menemukan kesempatan lain yang lebih menguntungkan yaitu bekerja di luxury shop. Selain gaji, aku juga mendapat bonus 20% untuk setiap barang yang berhasil kujual. Dua puluh persen dari jam tangan seharga puluhan ribu pounds, bukanlah nilai yang sedikit. Tergoda oleh peluang penghasilan lebih banyak, aku akhirnya banting setir menjadi pramuniaga. Dari penghasilan ini, aku juga mendapat modal untuk berinvestasi.

Soal pekerjaanku, Ryan tidak banyak berkomentar. Dia tidak pernah mempertanyakan hal-hal yang ingin aku lakukan meskipun hal itu akan mengurangi waktu kebersamaan kami. Ketika aku pulang, dia akan memelukku sangat erat dan mengatakan kalau dia kesepian. Hanya itu.

Terkadang aku bertanya-tanya apakah aku terlalu egois? Apa Ryan sebaiknya mencari orang yang bisa memberikan lebih banyak waktu untuknya?

Namun, pertanyaan itu berlalu sangat cepat karena aku tahu tidak ada gunanya menyarankan sesuatu yang tidak mau Ryan lakukan.

Kalau dipikir-pikir, aku dan Ryan sebenarnya sama-sama keras kepala. Kami melakukan apapun yang kami inginkan dan tidak suka jika dipaksa. Pada beberapa hal, ada keputusanku yang kurang dia sukai, begitupun sebaliknya. Namun, Ryan lebih takut dibuang sehingga tidak menentang keras keinginanku dan akupun terlalu tahu perangai pacarku ini sehingga tidak mau cerewet.

Hari demi hari, malam demi malam, kami lewati dengan banyak konflik tapi tidak ada konflik besar. Dalam setahun, aku perlahan-lahan semakin jarang melampiaskan kekesalan yang aku alami pada Ryan. Diapun semakin sering menyusup ke kamarku tanpa ijin sehingga itu menjadi kebiasaan. Pada akhirnya, kami hanya menggunakan kamar itu saja. Setiap pagi, hal pertama yang aku lihat adalah wajah Ryan yang tidur damai. Pagi inipun tidaklah berbeda. Aku kembali melihat wajah polos setampan malaikat itu.

Aku memperhatikan wajah Ryan selama beberapa saat sebelum turun dari tempat tidur. Sambil mengenakan pakaian santai, T-shirt dan celana pendek, aku berusaha mengabaikan bekas kemerahan di bawah tulang selangkaku gara-gara ulah Ryan kemarin. Orang itu sudah berubah dari pembully menjadi pacar yang ganas. Sayangnya aku tidak pernah bisa menolak kemauannya. Karena itu dia jadi sesuka hati. Syukurnya perangainya baik dan menyayangiku sehingga aku tidak perlu marah.

Dengan langkah santai, aku keluar kamar menuju dapur. Pagi ini aku ada kelas sehingga perlu menyiapkan sarapan lebih awal. Selain kelas, ada satu hal lagi yang mengganggu hariku. Adam yang sinting, berhasil memperoleh internship di sebuah kapal pesiar dan mengaku sudah berlabuh di Royal Victoria Dock and Bridge. Dia akhirnya menapaki langkah awal untuk mencapai impiannya menjadi nakhoda. Sialnya, kenapa orang itu datang ke Inggris dan meminta bertemu? Yang lebih sial, kenapa dia masih saja tidak peduli kalau aku sudah punya pacar?

Aku tidak boleh membiarkannya bertemu dengan Ryan atau perkelahian akan terjadi. Karena itu, aku terpaksa memutuskan sesuatu yang saklek. Aku tidak mau bertemu dengannya. Pesan terakhirku padanya adalah sebuah saran agar Adam mencari pacar di London sehingga tetap terhibur meskipun tidak bertemu denganku.

Tentu saja dia tidak terima atas keputusanku tapi protesnya aku abaikan.

Aku menghela napas berat sambil memanggang roti, menyiapkan humus, serta memotong salad. Di luar sana, angin terlihat agak kencang dan berdengung. Itu adalah tanda bahwa aku perlu mengenakan windbreaker hari ini. Cuaca buruk itu juga mengingatkanku kalau bepergian di kota ini tidak semudah di Indonesia. Aku tidak bisa keluar rumah hanya dengan kaus santai dan sandal kecuali ketika musim panas.

Tak lama setelah aku selesai menyiapkan sarapan, Ryan bangun dan menyusulku ke ruang makan. Rambutnya acak-acakan namun sepasang bola matanya tetap cemerlang seperti biasa.

"Kamu suruh aja Clay beliin sarapan." Komentarnya melihat semua yang aku siapkan.

"Bikin sendiri ngga perlu waktu lama. Bikin buat dua orang juga sama aja kayak bikin sendiri." Jawabku. Setelah selesai meletakkan telur mata sapi, aku kembali ke dapur untuk mengambil lemon hangat. Ryan mengikutiku dan mengganggu pekerjaanku. Dia merapat dari belakang dan berbisik.

"Lan..." panggil Ryan meskipun bibirnya sangat dekat dengan telingaku.

"Mundur! Aku perlu bawa ini. Apa kamu mau aku siram pake air panas?" Keluhku atas perilakunya. Ryanpun mundur.

Aku mengabaikan wajah cemberut Ryan dan kembali ke ruang makan. Belum puas menggangguku, Ryan masih mengikuti seperti anak itik. Sesampainya di ruang makan dan aku sudah meletakkan dua gelas lemon hangat di atas meja, Ryan menarik tanganku sehingga aku jatuh duduk di atas pangkuannya.

"Berhenti main-main! Sarapan dulu!" Dengkusku kesal.

"Istirahat sebentar kenapa? Sibuk banget!" Sekarang dia melingkarkan tangannya di pinggangku.

"Aku masuk pagi hari ini. Jangan bikin aku terlambat!" Aku akhirnya membentak.

"Terlambat sesekali ngga apa-apa." Ryan memeluk semakin erat.

Kehilangan kesabaran, aku menjitak kepalanya. "Aku ke sini buat kuliah. Jangan manja atau aku pergi cari apartemen lain!"

"Jangan! Jangan pergi!"

"Kalau gitu, lepasin! Biarkan aku sarapan dengan tenang!" Duh, sarapan saja penuh drama begini. Sepertinya aku sudah salah memasukkan Ryan ke dalam hidupku.

"Iya iya." Ryan setuju dengan berat hati. "Kenapa sih aku ngga pernah jadi yang paling penting?" tambahnya dengan keluhan.

"Cuma orang bodoh yang mengorbankan kuliahnya buat pacar." jawabku. "Kamu selalu bisa dapetin orang-orang kayak gitu. Kalau kamu mau."

Ryan tidak membalas dan hanya merengut. Ketika makan, dia mengunyah dengan kekesalan yang menurutku tidak pantas dia lakukan. Aku tidak mengacuhkannya dan sibuk dengan sarapanku. Keluhan Ryan bukan hal baru jadi aku tidak peduli lagi.

Dia terlalu banyak ekspektasi atas hubungan kami. Mungkin dia berpikir kalau aku akan menjadi pacar yang meninggalkan apapun untuknya. Sayangnya itu tidak akan terjadi. Aku punya banyak tanggung jawab yang harus aku penuhi. Aku bukanlah dirinya yang tidak pernah khawatir akan masa depan.

"Tapi waktu sama Bian, kamu mengabaikan segalanya buat dia." Gerutu Ryan sambil mengunyah. Setelah setahun tidak mengucapkan apapun tentang Bian, Ryan akhirnya mencetuskan keluhan itu juga.

Dia mungkin mengira kalimat itu tidak begitu penting namun sesuatu di diriku tiba-tiba mencelos. Aku tidak bisa melanjutkan makanku dan meletakkan garpu. Dengan perasaan rumit aku memandang lurus ke arah Ryan. Sadar kalau dia sudah mengucapkan tabu, dia ikut berhenti makan.

"Jangan membandingkan hubungan kita dengan hubunganku sebelumnya. Kamu ngga tahu apapun tentang hubunganku dengan kak Bian. Selain itu, kalau kamu ngga suka, bukannya kamu bisa cari pacar lain?" Akupun akhirnya mengatakan sesuatu yang aku simpan selama ini. Ryan mungkin lebih baik bersama orang lain saja.

"Kenapa kamu gampang banget nyuruh aku nyari orang lain?" Tanya Ryan sedih.

"Karena aku sadar kalau aku ngga bisa ngasi sebanyak yang kamu mau. Aku cuma pasrah." Aku memang tidak mau berpisah dengan orang ini. Tapi kalau dia meninggalkanku karena ketidakmampuanku memenuhi kemauannya, apa boleh buat.

"Tapi jangan pernah menyuruhku mencari orang lain. Itu membuatku merasa kalau kamu ngga mencintaiku."

Ah, aku tersadar kalau emosiku kehilangan kontrolnya tadi. kali ini aku yang salah. Akupun menarik nafas dalam sambil menutup mata. "Sorry." Kataku akhirnya.

***

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora