Part 39

148 13 1
                                    

"Itu nggak penting kak, emangnya siapa sih yang nggak dibenci di dunia ini? Sejauh semuanya masih terkontrol dan kita punya kebebasan, nggak masalah kita mau ngapain kan? Yang namanya bisnis, selalu ada yang melebarkan pengaruh dan ada yang kehilangan pengaruh. Itu fenomena biasa. Aku masih sayang sama Ryan dan dia bisa bikin aku bahagia. Aku nggak akan meninggalkannya cuma karena keluarganya dibenci banyak orang," kataku.

"Lan, cara ngomongmu ini mirip Ryan. Kamu kayaknya ketularan dia deh."

Komentar Adam membuatku tercenung sejenak. Namun, aku tersadar dengan cepat dan menepis ucapan itu. "Aku selalu gini, kakak aja yang nggak kenal aku."

"Apa iya?"

"Iya!"

Adam merebahkan punggung. Dia terlihat merenungi sesuatu. Tidak lama kemudian dia duduk tegak lagi.

"Masalah pertanyaanku, aku mau tahu tentang mamanya Ryan."

"Apa yang bikin kakak penasaran?" baru kali ini ada orang yang bertanya tentang Emily sehingga aku bingung. Apa yang harus aku ceritakan tentang mentor sekaligus mama mertuaku itu? Ada banyak hal yang bisa menjadi topik tetapi aku tidak tahu dimana batas amannya.

"Aku cuma pengen tahu kenapa banyak yang takut pada orang itu."

Takut? Aku baru tahu kalau ada yang takut pada Emily. Yang aku pahami hanyalah perilaku Emily yang serampangan dan sesuka hati. Tidak ada yang bisa menebak isi kepalanya termasuk anaknya sendiri.

"Kayaknya mamanya Ryan biasa aja kak. Nggak menakutkan," jawabku. Aku tidak tahu harus menjawab apa.

"Ah, kayaknya aku salah nanya. Orang itu mungkin baik sama keluarganya. Aku ganti aja pertanyaannya. Menurutmu apa yang paling perlu diwaspadai dari orang itu?" Adam terlihat serius.

Apa ini pertanyaan berbahaya? Seberapa banyak sebaiknya aku membuka tentang Emily? Namun, apa ada yang aku bisa buka? Aku juga tidak paham pada mentorku itu.

Setelah merenung beberapa menit, barulah aku menjawab. "Mamanya Ryan adalah orang yang nggak bisa diduga. Nggak ada yang paham perilakunya. Aku bisa lihat kalau mama sayang pada Ryan tapi juga bersikap dingin. Banyak perbuatan mama yang bertentangan dengan kebiasaan umum tapi selalu menghasilkan sukses. Mama juga nggak pernah menyesali apa pun dan merasa apa yang dilakukan selalu benar. Aku sendiri nggak tahu apakah mama berbahaya atau nggak. Kami cukup akrab. Mama bahkan nggak memusuhiku soal hubunganku dengan Bian. Katanya, waktu yang akan memutuskan."

Waktu ...?

Aku menelan ludah. Tanganku mendadak dingin. Kalau dipikir-pikir, bukannya Bian dikelilingi orang-orang Red Perilla? Jangan-jangan, sejak awal, Emily sebenarnya tidak pernah menganggap Bian ancaman untuk putranya karena bisa disingkirkan kapan saja.

"Ada lagi? kenapa kamu tiba-tiba diam?" tanya Adam.

"Ah, nggak apa-apa. Aku cuma lagi mikir," sahutku. "Menurutku, mamanya Ryan jenius. Aku belajar banyak dari mama soal bisnis dan juga tentang manusia. Kalau mama yang berencana, seakan tidak ada yang bisa lolos dari kendalinya." Aku lanjut menjelaskan. Sesudah bicara, aku baru sadar kalau Emily sebenarnya layak ditakuti.

"Oke, aku paham." Adam mengangguk pelan. Matanya menerawang seperti memikirkan sesuatu. Reaksi serius itu mencurigakan. Apa Adam punya rencana yang berhubungan dengan Emily?

"Kenapa kakak tiba-tiba nanyain soal mama?" tanyaku penasaran.

"Apa itu terhitung pertanyaan tambahan?" Adam tersenyum jahil.

"Nggak, lupain aja. Aku udah nanya semua yang mau aku tanyain. Yang tadi cuma obrolan biasa," jawabku.

Tiba-tiba ponselku berbunyi pelan. Suaranya adalah suara notifikasi email dari kontak penting. Aku tidak berniat memeriksanya. Di depanku, Adam juga menerima pesan dalam waktu yang nyaris bersamaan. Setelah membaca sesuatu yang tertulis di layar ponselnya, Adam tertawa kecil.

"Lan, kalau kamu hanya bisa menyelamatkan satu orang, siapa yang akan kamu pilih? Ryan atau Bian?" tanya Adam tanpa menjauhkan pandangan dari ponselnya.

"Aku nggak akan bisa memilih," jawabku.

"Kalau kamu nggak memilih, dua-duanya nggak selamat."

"Kak, jangan nanya aneh-aneh! Kenapa kakak tiba-tiba nanya itu?"

"Karena Bian menyerahkan posisinya ke Ryan. Ryan juga menerima posisi berbahaya itu. Apa hidupnya terlalu tenang makanya pengen cari tantangan?" kata Adam dengan bola mata berkilat-kilat.

"Posisi? Apa Ryan mengambil alih perusahaan Bian?" tanyaku.

Adam mengangguk lalu memperlihatkan layar ponselnya. "Ryan adalah CEOnya sekarang. Dengan kata lain, dia juga jadi musuh Zephir. Apa yang dia pikirin? Kalau dia diam aja, dia nggak perlu ikut drama. Siapapun yang menang dalam perang bisnis ini, Arianata akan tetap bisa mengambil keuntungan. Kenapa harus memihak Bian dan membahayakan dirinya?"

Hah?

Aku juga tidak paham. Ryan tidak pernah menceritakan rencananya padaku. Adam benar. Aku kira Ryan akan menunggu dua belah pihak itu menghabiskan waktu mereka merugikan satu sama lain. Sambil menunggu, dia bisa diam-diam mengambil alih bisnis yang bisa direbut, terutama bisnis ilegal Zephir. Hal-hal ilegal itu selalu lebih mudah diambil asalkan punya cukup kekuatan untuk melancarkan kekerasan.

Kalau urusannya dengan Bian, Ryan tidak perlu mengkhawatirkan itu. Jika Bian selamat, dia untung. Jika tidak, dia masih bisa menunjuk seseorang untuk menggantikan Bian. Bagaimanapun, diam-diam, lebih dari 50% board director ada di pihaknya.

Namun, kenapa dia mengambil jalan sulit?

***

Malam semakin larut tetapi panorama kota Jakarta malah semakin indah. Sambil memandangi pemandangan itu, Ryan mengetuk-ngetuk meja. Dia duduk berhadapan dengan Bian. Hanya tinggal mereka berdua di ruangan CEO. Yang lain langsung pergi setelah tandatangan perjanjian selesai.

"Kamu benar-benar menyetujui ini. Apa benar karena taruhan?" tanya Bian.

"Mungkin iya, mungkin nggak," ujar Ryan acuh tak acuh.

Bian menghela napas melihat perilaku Ryan. "Apa karena menyukaiku?" tanya Bian lagi. Kali ini dia tersenyum jahil sambil menatap Ryan lurus-lurus.

"Jangan narsis! Aku nggak pernah menyukaimu," tepis Ryan.

"Padahal ...,"

"Jangan sebut-sebut masalah malam itu lagi. Apa kamu pikir satu malam udah bisa mengubah perasaan seseorang?" Ryan langsung memotong ucapan Bian. "Aku melakukan ini untuk kepentinganku. Aku akan menyelesaikan ini dengan gayaku."

Ryan benci dengan pengaturan mamanya. Dia tidak mau mematuhi arahan. Lagipula, dia tidak peduli soal gagal atau sukses. Dia tidak tertarik pada kepentingan Red Perilla. Yang dia inginkan hanya keluar dari pengaturan Emily. Dia ingin tahu apakah dia bisa membuat mamanya itu merasa tidak bisa mengontrol apa pun.

"Oke aku percaya." Bian meraih gelas dan meminum cairan di dalamnya. "Tapi tetap aja aku perlu berterima kasih. Setengah bebanku langsung hilang."

Ryan mendengkus. Pandangan meremehkan muncul di bola matanya. "Aku baru ingat. Ada satu alasan lagi kenapa aku setuju." Dia memajukan badannya. "Aku mau memperlihatkan padamu gimana caranya membereskan ini dengan berani. Biarpun aku menghadapi hal sulit, aku nggak akan mundur. Ini bedanya aku dan kamu. Aku nggak kayak kamu yang membuang orang yang disayang karena segala hal menekanmu. Sekarang pun, kamu kepikiran menjauh dari Fadlan lagi karena nggak mau dia terlibat bahaya kan?"

Wajah ramah Bian langsung berubah dingin. "Emangnya kenapa? Aku sayang sama dia jadi aku nggak mau menyeretnya pada kondisi buruk."

"Makanya kita beda dan aku lebih berhak mendapatkannya daripada kamu. Aku nggak akan melepaskannya apa pun yang terjadi. Kami akan selalu bersama dalam suka maupun duka, apapun kondisinya. Ini yang aku bilang berani, berani menghadapi resiko apa saja ketika memasukkan dia ke hidupku. Aku nggak akan membiarkannya kehilangan cinta kasih. Kalaupun terjadi sesuatu, aku akan melindunginya."

"Itu egois."

"Lebih egois lagi kalau merasa berhak memutuskan untuk orang lain tanpa bertanya."

***

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now