Part 38

152 12 3
                                    

Adam sejak dulu adalah playboy. Selain itu, Ryan juga membencinya karena Adam pernah berbuat tidak senonoh. Kesimpulannya, semanis apa pun mulut Adam, aku harus selalu berhati-hati. Apalagi jika dia hanya mau bicara jika aku bersedia mendatangi restoran yang dia tentukan.

"Jangan cemberut gitu. Bukannya kita udah ketemu diam-diam beberapa kali? Ryan nggak akan tahu," ujar Adam. Dia menopang dagu dengan kerlingan menggoda. Cahaya api lilin di atas meja semakin menguatkan aura romantis yang dipancarkan orang ini.

Aku menghela napas cemas. "Jangan ngomong seakan-akan kita punya rahasia," keluhku.

"Lan, aku bakal seneng banget kalau kita punya hubungan rahasia. Kalau kamu setuju, aku pastikan kita nggak akan ketahuan. Gimana?" Adam masih tidak berubah. Aku hanya bisa merengut sambil memperhatikan sekitar.

Kami berada di ruangan privat yang ditata dengan desain khas Perancis. Tembok dan langit-langit dicat warna cream yang hangat. Chandelliers mewah menggantung di atas kami, memberi pencahayaan redup. Ornamen-ornamen Eropa menghiasi meja dan kursi, termasuk tatakan lilin. Di atas meja, sekuntum bunga tulip diletakkan di dalam vas kaca estetik, dikelilingi dengan aneka hidangan perancis yang memanjakan mata.

Suasana ini terlihat seperti suasana kencan. Aku mulai mempertanyakan apakah tepat meminta tolong pada playboy ini. Adam memanfaatkan kebutuhanku akan pertolongannya untuk menyeretku makan malam bersamanya. Ini terasa tidak bijaksana.

"Kak, tolong jangan alihkan pembicaraan. Aku datang bukan untuk itu," kataku setelah terdiam beberapa menit.

"Sayangnya, yang kamu mau, nggak bisa aku kasih tahu sembarangan. Ini urusan yang berbahaya. Aku mungkin dihukum berat jika membocorkannya pada pihak luar. Ayah angkatku itu kejam. Apa kamu mau, melihatku dihukum karena permintaanmu itu? Aku bukannya nggak tahu soal Bian, aku cuma nggak bisa ngasi tahu." Adam mengambil garpu di hadapannya kemudian memainkan benda itu.

Sesaat kemudian, dia tiba-tiba teringat akan sesuatu, "Ah, aku juga tahu soal Ryan. Tapi ..., itu juga sulit dikatakan. Kalau kamu mau jadi pacarku malam ini, mungkin aku akan senang dan memberi tahu semuanya."

"Itu nggak akan terjadi. Kalau kakak nggak bisa ngasi tahu, aku nggak akan maksa. Kalau gitu, aku pulang dulu. udah terlalu malam, nanti Ryan panik." Dengan berat hati, aku bangkit dari tempat dudukku. Aku mulai menyesal. Meski Adam terlihat menyukaiku, dia tetaplah orang rasional yang sudah berhasil menjerat banyak orang. Mungkin seharusnya aku tidak mempercayainya.

"Tunggu dulu. Kenapa sih kamu selalu kayak gini sama aku? Sama Ryan kamu nikah, sama Bian kamu peduli. Apa hatimu nggak punya tempat buatku sedikit aja?" keluh Adam.

"Perasaan nggak bisa dipaksakan, kak."

Adam berdecak. Dia berdiri kemudian melangkah mendekat. Tanpa banyak bicara, dia menarik tanganku dan mendudukkanku kembali dengan paksa. Semuanya sangat cepat sehingga ketika aku tersadar, Adam sudah menahan pundakku. Wajahnya mendekat lalu bibirnya didekatkan ke telingaku.

"Tapi aku tetap bisa memaksa kalau aku mau. Kita berada di restoran milikku sekarang. Apa pun yang terjadi di sini, nggak akan ada yang tahu. Apa ini yang kamu inginkan? Gimana kalau menyerah dengan baik-baik?" bisik Adam perlahan-lahan.

"Biarin aku pergi atau aku memanggil keamanan," ucapku sambil menyentuh jam tanganku. ada tombol bahaya yang bisa aku tekan sebelum Adam semakin keterlaluan.

Adam mendengkus kesal. dia menarik diri lalu melepaskanku. "Kamu tahu betul cara memanfaatkanku. Oke, kamu mau nanya apa? Sebagai gantinya, aku juga akan menanyakan sesuatu. Fair kan?"

Aku mengangguk. "Fair, tapi ganti pertanyaannya jika aku nggak bisa menjawabnya."

"Lan, kamu tambah licik ya sekarang?"

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ