Part 3

893 52 4
                                    

Setelah mendengar kalimat ambigu yang ditujukan padaku, Ryan langsung berdiri dan mencekal kerah baju cowok barusan. Tangannya bergerak cepat sehingga pertikaian tidak bisa dihindari.

"He is mine! Get lost!" Kata Ryan dengan ekspresi angker.

Hari ini sepertinya hari yang kurang baik. Kemanapun kami pergi, ada saja yang memancing emosi Ryan. Untungnya Ryan tahu kalau aku tidak suka kekerasan. Dia hanya mendorong cowok asing tadi agar menjauh. Cowok itupun sudah terkena serangan mental lalu kabur. Sesudah menyelesaikan perkara, Ryan duduk lagi.

"Lan, kamu kelewat manis. Jadinya banyak yang godain." Ryan merengut.

"Ah nggak juga. Nggak pernah ada yang godain aku di kampus." Itu benar. Meskipun sekarang aku lebih sering menggunakan softlense dibanding kacamata, tidak ada yang menggangguku. Aku kira karena orang sini tidak tertarik pada orang Asia yang tingginya cuma 167cm dan tidak memiliki wajah maskulin.

"Kamu ngga tahu aja. Bukannya ngga ada." Pacar temperamentalku ini masih menggerutu.

"Aku kan punya kamu. Mereka harusnya bisa lihat,"

"Banyak yang ngga mau tahu."

Sama saja dengan keluhanku.

Kami tidak berlama-lama membicarakan gangguan yang terjadi. Pertama karena Ryan langsung membuang pembicaraan mengesalkan dari ingatannya. Kedua, karena aku juga tidak suka membahas hal-hal itu. Dengan motivasi baru, kami melanjutkan pemesanan sambil menikmati penataan kafe. Musim gugur terasa cerah dan menyala-nyala. Aku menyukai bagaimana hiasan labu dan daun-daun merah mewarnai area.

Ryan memegang tangan kiriku sambil mengusap-usap cincin yang melingkar di sana dengan jempolnya. Dia suka melakukan ini jadi aku sudah terbiasa. Hanya saja, sampai sekarang dia masih menatap jam tangan yang biasa aku kenakan dengan pandangan tidak mengenakkan. Meskipun begitu, aku tidak bisa melepaskan ketergantunganku pada jam tangan itu. Pada akhirnya kami tidak pernah membicarakannya sama sekali karena sudah tahu apa yang berputar di kepala yang lain.

"Gimana projekmu?" tanyaku setelah kami selesai memesan. Selain kuliah, Ryan membantu profesornya mengerjakan projek yang terlalu rumit untuk aku pahami. Ryan sebenarnya sudah mencoba menjelaskan, tetapi, semua istilah biologi dan komputer yang dia cetuskan membuatku semakin tersesat. Yang aku tangkap hanyalah satu hal. Pekerjaan yang dilakukan Ryan terkait dengan penggunaan komputer dalam penelitian inti sel makhluk hidup.

"Ada beberapa bug tapi nanomachine yang digunakan sudah bisa mengeksekusi semua prosedur dengan benar. Aku masih belum punya inspirasi gimana caranya ngurusin itu jadi aku mau liburan dulu."

"Kelasmu gimana?"

"Segitu-segitu aja."

"Apa masih ngga ada temen?"

"Aku ngga perlu itu kan?" Ryan menyahuti semua pertanyaanku dengan santai. Orang ini memang terkenal sebagai lone wolf. Dia masih saja tidak mau mempercayai orang lain. Seumur hidup dia mungkin hanya punya Ergi dan Dimas sebagai teman. Itu terasa mengkhawatirkan.

"Yan, nanti kalau kamu memegang perusahaan papamu, bukannya kamu perlu bikin koneksi?" tanyaku.

"Koneksi bisnis dan koneksi personal itu beda. Kita ngga perlu omongin ini lagi kan?"

Beginilah reaksi Ryan jika disinggung masalah pergaulannya yang kering kerontang. Aku tahu dia menjadi over hati-hati kalau masalah pertemanan namun sebenarnya tidak perlu segininya. Sayangnya kekhawatiran ini tidak akan didengarkan.

Setelah melihat kehidupan kampus Ryan, aku merasa paham kenapa Elias sangat gembira ketika tahu kalau aku berusaha untuk ikut berkuliah di sini. Papa Ryan itu mendukung dan juga menyemangatiku. Mungkin dia memang sudah tidak punya solusi apapun atas ke-apatis-an putra tunggalnya.

Merasa kalau tidak ada gunanya menasehati Ryan agar lebih banyak bergaul, aku hanya bisa menghela nafas dan mengalihkan topik lagi.

"Soal rencanamu ke Swiss, tahun ini aku akan ikut." kataku. Ryan banyak bicara soal rencananya menemui mamanya, Emily, dan mengajakku ikut serta. Awalnya aku tidak mau ikut karena ingin menghemat uang. Namun, setahun terakhir Emily banyak mengajariku investasi sehingga modalku berkembang dengan cepat. Rasanya tidak sopan menolak ajakan mentor yang sudah banyak membantuku untuk sekedar berkunjung.

Mendengar topik ini, sebuah senyum mengembang indah di bibir Ryan. "Nice! Aku akan minta Clay menyiapkan travel. Winter break ini aku akan mengantarmu melihat-lihat tempat-tempat terbaik di Swiss. Mau mengunjungi titik tertinggi Eropa nggak?" tanya Ryan bersemangat. Dia sudah banyak membicarakan tentang Jungfraujoch jadi aku bisa paham kalau tempat yang Ryan maksud adalah itu.

Secara pribadi, aku tidak masalah kemana Ryan mau mengajakku. Oleh karenanya, aku mengangguk dan menyetujui usulannya. "Terserah kamu mau jalan kemana. Aku ikut aja. Toh kamu lebih tahu tempat-tempat bagus."

"Oke. Aku jamin kamu ngga akan kecewa." Ryan semakin ceria.

Melihat interaksi kami, aku sebenarnya setengah heran dan setengah tidak percaya. Sebelumnya tidak pernah bisa kubayangkan kalau aku akan berani tinggal dengan orang ini dan percaya saja untuk menyerahkan tujuan perjalananku padanya. Namun, ketika Ryan jatuh cinta, dia ternyata bisa menjadi toleran dan rela berkorban. Selama pacaran, sepertinya aku yang lebih sering mengomelinya daripada sebaliknya. Dia belum pernah membalas balik ketika aku marahi dan membiarkanku bersikap sesuka hati padanya. Mungkin karena itu aku merasa aman.

Setelah pembicaraan itu, Ryan melanjutkan dengan kisah tentang kebun anggur milik mamanya yang sedang panen sekarang. Menurut Ryan, kebun anggur yang luas itu terlihat indah ketika musim panas. Selama Ryan bercerita, aku mendengar dengan baik serta menikmati wajah bersemangat pacarku ini. Tangan kami masih terkait satu sama lain dengan kehangatan yang jelas. Seandainya Ryan selalu semanis ini, sebenarnya tidak akan sulit baginya untuk mendapatkan banyak teman. Sayangnya dia memilih bertindak seperti preman sambil memasang muka angker sepanjang hari.

Ketika pesanan datang, cerita kami sudah sampai pada cerita tentang pembuatan wine di kebun anggur Emily. Ryan menghentikan obrolan seraya menata ulang pesanan. Dengan gestur santai, dia mendekatkan semua pesananku ke arahku. Orang ini sudah menghafal berbagai hal kecil yang membuatku senang dan melakukannya setiap ada kesempatan. Karena tahu betul apa yang perlu dilakukannya untuk membuatku betah, lama kelamaan aku semakin lupa kalau dia pernah menjadi sosok yang sangat mengerikan untukku.

Skill yang menakutkan. Ryan selalu saja mempelajari apapun dengan cepat.

Sayangnya itu belum cukup untuk menghapuskan perasaan tenang dan bahagia yang diberikan oleh Bian di masa-masa tergelap di hidupku. Ketika melihat kombinasi matcha dan cheesecake di hadapanku, tiba-tiba ingatan tentang Bian muncul lagi. Wajah tersenyum Bian ketika menyuapiku, tergambar jelas seakan itu baru terjadi kemarin. Bayangan itu juga yang mengingatkanku kenyataan kalau empat bulan terakhir aku tidak mendengar kabarnya sama sekali. Mungkin dia sudah melupakanku. Mungkin dia tidak mau mempertimbangkanku lagi karena kedekatanku dengan Ryan. Mungkin semuanya memang benar-benar sudah berakhir.

Semua pikiran itu membuat dadaku sakit.

"Mikir apa lagi?" Tanya Ryan membuyarkan depresiku.

"Ah, ngga ada apa-apa." Jawabku dengan suara pelan. Aku mengambil garpu lalu memotong sudut cheesecake perlahan. Aku tahu jawaban ini tidak akan dipercaya oleh Ryan. Namun, aku juga tahu kalau dia tidak akan memperpanjang pembahasan tentang sesuatu yang mungkin malah melukainya. Kamipun membiarkan momen sesaat itu berlalu.

***

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now