Part 15

540 37 3
                                    

Beberapa hari berlalu semenjak Bian berhenti mengacau di apartemen ini. Setelah dia sampai di Jakarta, kami mulai sering berkomunikasi lewat video call. Karenanya, aku akhirnya tahu kenapa dia melakukan hal sinting itu di hadapanku.

"Lan, waktu aku mencium Ryan, kamu cemburu nggak?" tanya Bian iseng. Dia melakukan itu karena bertingkah kekanakan dan sepertinya ingin membalasku. Aku tidak pernah mengira kalau Bian adalah orang yang menyimpan kekesalannya serta akan membalas jika ada celah.

Kalau boleh jujur, aku tidak tahu apakah aku cemburu atau tidak. Aku memang sangat kaget melihat ciuman itu tapi aku tidak merasakan perasaan negatif. Kalaupun perlu menjawab, aku hanya bisa mengatakan kalau aku terpana. Ryan dan Bian adalah dua orang dengan paras menarik sehingga ketika melihat adegan romantis itu, aku malah merasa kalau itu indah.

Mungkin ada yang salah dengan kepalaku.

"Aku nggak cemburu kak. Kalian terlihat cocok," kataku menjawab.

Tidak puas dengan jawabanku, Bian berdecak. "Sayang, itu nggak adil. Apa aku aja yang tersiksa karena ini? Kamu dan Ryan kelihatannya nggak peduli sama sekali."

Sirkuit kepala Ryan memang unik. Tidak bisa disalahkan kalau dia bertingkah berbeda. Aku sendiri terlalu terpukul ketika kehilangan Bian, jadinya kehadiran Bian saja sudah cukup. Aku tidak akan menuntut apa-apa darinya. Soal Ryan, dia sudah terlalu banyak berkorban untukku. Aku tidak akan keberatan menjadi lebih toleran meski dia melakukan hal-hal di luar kewajaran.

Setelah berpikir sejenak, aku menjawab. "Aku sayang kakak, aku juga sayang Ryan. Kalau kalian senang, aku juga senang." Aku merebahkan punggung di sofa. Di layar laptop, Bian terlihat mencebik.

"Honey, ayo siap-siap." Ryan melingkarkan tangannya di leherku.

"Oke," sahutku.

"Apa kamu pergi sekarang?" tanya Bian.

"Iya. Nanti aku kabari kalau udah sampai di Swiss. Kita tutup dulu ya, kak." Aku mengulurkan tangan untuk menggerakkan kursor ke tanda silang di sudut layar.

"Lan, tunggu!" Mata Bian menatap dalam dari layar. Tanganku berhenti. Tangan Ryan yang memelukku juga terasa semakin erat.

"Kapan kalian sempat pulang ke Indonesia?" lanjutnya dengan pertanyaan.

"Summer break nanti kami akan pulang," jawabku canggung. Aku agak terkejut dengan kata 'kalian' yang diucapkan Bian.

***

Ada satu hal yang sebenarnya memberiku kekhawatiran masalah pernikahanku dengan Ryan. Dua hari yang lalu, Adam mencegatku di depan ruang kuliah dan mengajakku mengobrol. Karena tidak mau pertemuanku dengannya menjadi masalah, aku berbicara padanya di belakang gedung kuliah.

"Kak, bukannya aku udah bilang kalau aku nggak mau ketemu?" kataku malas.

"Jangan gitu lah. Aku kan bawa berita penting." Adam berjalan mendekat hingga ujung kaki kami bertemu.

"Sepenting apa?" Aku mundur.

Adam mengangkat alis melihat reaksiku. Dia tetap pada posisinya lalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan. "Kamu pernah dengar soal Red Ferrila nggak?"

"Investor?" Aku tahu kalau nama itu adalah investor besar pada perusahaan-perusahaan penting dunia. Banyak rumor tentang mereka tetapi tidak ada yang bisa mengkonfirmasi kebenarannya.

"Nggak percuma kamu dekat dengan Ryan." Adam tersenyum tipis.

Lebih tepatnya, tidak percuma aku mengenal Emily yang mirip bank informasi ekonomi. Ryan tidak tertarik masalah-masalah semacam itu dan sibuk dengan projek misteriusnya dengan lab microbiologi. Gara-gara itu, mamanya malah menumpahkan banyak ilmu padaku. Terakhir kali aku juga mendapat fee yang lumayan karena berhasil mengembangkan sebagian aset Ryan.

"Emangnya kenapa kak?" tanyaku mulai serius. Ini informasi yang tidak banyak diketahui khalayak. Mungkin apa yang dibawa Adam memang penting.

"Kamu tahu nggak kalau keluarga Arianata ada hubungannya dengan Red Ferrila?" Dia bertanya lagi.

Arianata? Keluarga Ryan? Otakku berputar penasaran dalam sekejap kemudian tenang lagi.

"Aku nggak tahu," jawabku datar. Ini mungkin rahasia yang disimpan Elias atau Emily yang tidak boleh disebarkan ke pihak luar. Hal seperti ini mungkin sebaiknya tidak kuketahui.

"Kamu sebaiknya nyari tahu. Soalnya kamu perlu memikirkan keselamatan pacarmu. Dia mungkin menghilang tanpa jejak suatu hari nanti."

"Kak, jangan menakut-nakutiku!" Rasa jengkel mulai merasuk. Bukan kali ini saja Ryan mengalami ancaman. Hal seperti ini membuatku sensitif.

"Kalau kamu tahu lebih banyak, kamu bakal tahu kalau aku nggak menakut-nakuti." Tutup Adam.

Selesai dengan pemberitahuannya, Adam mengeluhkan kesempatan yang tidak dia dapat padahal dia tidak masalah menjadi pacar ketiga. Aku tidak punya jawaban untuk itu. Ketika dipaksa, aku hanya mengatakan kalau aku hanya menganggapnya teman.

"Menurut kakak, kenapa Ryan sering diincar penjahat? Dengan keluarga macam itu, dia harusnya tidak tersentuh," tanyaku.

"Kamu peduli sekali sama dia. Bikin aku cemburu aja," keluh Adam tanpa menjawabku.

"Aku ada acara lain, kita sudahi dulu ya." Kalau tidak ada yang bisa dibicarakan lagi, aku tidak mau berlama-lama hingga Ryan mencariku.

"Kamu nih, setelah merasa aku nggak guna, selalu meninggalkanku."

"Iya. Aku orang yang seburuk itu. Jadi, kakak sebaiknya mencari orang lain yang lebih baik."

"Kamu sulit sekali dibujuk." Adam menyentuh kepalaku seraya mendekatkan wajahnya. Aku mendorong orang ini meski tahu kalau tidak bisa menghentikannya jika dia memaksa.

Adam menghela nafas, "besok aku akan berlayar ke Spanyol. Gimana kalau mengasihaniku sedikit dan membiarkanku memelukmu? Ryan nggak akan tahu soal ini."

"Nggak kak. Aku udah terlalu banyak mengecewakan sekitarku jadi aku nggak mau menambahnya lagi."

"Dia nggak akan kecewa kalau dia nggak tahu. Gimana?" Adam masih belum menyerah, dan merapat.

"Sebentar lagi aku akan menikah dengan Ryan, kak. Jadi jangan kayak gini lagi." Bentakku tegas.

Mendengar kata pernikahan itu, Adam kaget. "Hah? Menikah? Kapan?"

"Dua minggu lagi," jawabku.

"Lan, apa kamu tahu keluarga macam apa yang akan kamu masuki?"

***

Apakah aku terlalu naif? Aku memang tidak tahu banyak tentang keluarga Ryan selain kekayaan mereka yang berlimpah. Mungkin aku tahu sedikit tentang kecerdasan Emily serta kehebatan manajemen Elias. Namun, secara keseluruhan, keluarga itu memang misteri besar untukku.

Sambil menarik nafas dalam, aku memeluk lengan Ryan yang duduk di sampingku. Kami sedang berada di dalam pesawat menuju Swiss. Melihatku menempelinya, dia mengangkat daguku dengan ekspresi bertanya.

"Kamu mikir apa?"

"Yan, keluargamu sebenarnya seperti apa? Aku belum pernah tahu keluarga besarmu." tanyaku.

"Papa nggak dekat dengan keluarganya. Kalau mama ..., mama juga nggak suka dengan orang tuanya jadi mereka jarang kontak. Kamu nggak perlu mikirin mereka. Pernikahan kita cuma dihadiri orang terdekat aja. Aku nggak akan mengundang orang-orang yang bakal bikin masalah," jelas Ryan.

"Oh." Aku tidak melanjutkan pertanyaan. Sepertinya Ryan sendiri tidak banyak mengenal keluarganya. Kalaupun dia tahu tetapi merahasiakannya, mungkin itu adalah yang terbaik.

Benar, aku tidak perlu tahu segalanya tentang orang yang aku cintai. Asalkan dia mencintaiku, semuanya sudah cukup.

Itu yang aku katakan pada diri sendiri tetapi kecemasan tetap tidak mau meninggalkanku.

***

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now