Part 1

3.9K 92 9
                                    

"Bian masih sayang sama kamu. Dia cuma merasa terhina karena ngga bisa menolongmu dari Kendrix. Mungkin karena itu juga dia berhenti main-main dan berbisnis dengan serius. Kayaknya dia ngga mau cerita soal ini ke kamu karena ngga mau menunjukkan sisi lemahnya." Kata Ryan ketika aku masih belajar di rumahnya untuk persiapan ujian masuk universitas. Saat itu perusahaan yang dibangun Bian baru muncul.

"Kenapa kamu memberi tahuku soal ini?" Tidak kusangka Ryan akan meluruskan kesalahpahamanku pada Bian.

"Aku ngga mau lihat kamu sedih." Jawabnya tidak begitu keras.

Sewaktu membicarakan itu, aku memang masih kecewa karena Bian mengatakan agar aku tidak mengharapkannya. Kata-kata itu seakan-akan menunjukkan kalau kami tidak mungkin bersama lagi sehingga sesekali akan membawa kesedihan untukku. Selain itu, aku merasa Bian ingin melupakanku sehingga hatiku semakin sakit.

Ternyata Ryan menyadari ini. Aku ternyata tidak cukup pintar menyembunyikan perasaanku.

"Tapi akan lebih menguntungkan buatmu kalau kamu diam aja. Kamu bisa gantiin kak Bian dan menghiburku. Kenapa kamu malah meluruskan ini untuknya?" Tanyaku penasaran. Kalau Adam yang melihat peluang ini, orang itu pasti memanfaatkannya sebaik mungkin. Apa Ryan tidak terpikir sampai sana atau ada alasan lain?

"Kalau gitu, kamu sedihnya bakal lebih lama. Aku ngga mau lihat itu." jawab Ryan dengan cahaya mata agak sendu. Dia bicara tanpa menatap langsung ke arahku dan malah menoleh ke halaman buku di tangannya.

Tanggapan itu membuatku melebarkan mata dan menghentikan nafas tanpa sadar. Ryan yang kukira suka memaksa dan egois ternyata bisa jadi begini. Dia memilih untuk menghentikan kesedihanku dibandingkan mengedepankan dirinya. Fakta ini mengejutkan meskipun Ryan sudah banyak berubah.

Penjelasan Ryan membuat hatiku lega dan rasa putus asaku habis. Bian hanya sedang menyelesaikan masalah dengan dirinya sendiri dan masih mencintaiku. Kami mungkin masih punya harapan. Dia mungkin akan mencariku lagi.

Sayangnya pengharapan ini menghasilkan konflik.

Di satu sisi, aku mengenang lagi masa-masa menyenangkan dengan Bian. Bagaimana dia pengertian dan selalu menenangkan. Namun, di sisi satunya aku melihat Ryan yang berusaha sangat keras serta rela mengorbankan banyak hal untukku. Karena dia mau menjelaskan tentang kesulitan Bian, aku justru merasa lebih dekat. Hatiku terbuka lebih lebar untuknya tanpa bisa dihindari. Tidak mungkin aku tidak tersentuh melihat Ryan mengabaikan kecemburuan dan keegoisannya untuk mengurangi depresi yang aku alami.

Tapi apa yang harus aku lakukan? Hal paling menakutkan akhirnya terjadi padaku. Aku jatuh cinta pada keduanya dan tidak bisa keluar dari ini. Siapapun yang pergi akan menghancurkan hatiku.

"Kamu mikir apa lagi?" Ryan mengacak-acak rambutku dan menghentikan pikiranku yang sudah berpetualang kemana-mana.

"Aku rasa aku adalah orang serakah yang egois." Jawabku dengan pandangan menerawang.

"Emangnya kenapa kalau gitu? Jangan overthinking."

"Kamu selalu aja bilang kalau aku overthinking!"

"Habisnya kamu sering mikir yang ngga-ngga dan jadi sedih karena bayanganmu sendiri. Aku bisa lihat kalau kamu lagi menindas dirimu."

Iya, aku memang sedang menyiksa diriku yang menginginkan terlalu banyak. Keserakahan adalah akar bencana. Aku tahu itu tapi tetap saja tidak bisa menghentikan diriku.

"Mungkin lebih bagus kalau aku ngga pacaran dengan siapapun." Kataku lelah. Aku mengabaikan komentar Ryan dan tenggelam dalam pikiran negatif. Ingin rasanya melarikan diri sebelum terlambat.

Sayangnya Ryan tidak membiarkanku. Dia menarik tangan kiriku dan mencium jari yang dia pasangkan cincin sebelumnya. "Jangan gitu." Keluhnya. "Aku masih pengen kita pacaran. Apa aku masih kurang? Sampai-sampai kamu ngga mau mempertimbangkan perasaanku sama sekali?"

"Ngga. Ngga ada yang kurang dari kamu." Kataku.

Justru karena sekarang tidak ada yang kurang dari dia makanya aku jadi takut. Aku tidak mau memberinya sakit hati. Aku juga tidak mau kami berpisah.

***

Tahun ke dua perkuliahan...

Aku akhirnya mampu menyesuaikan diri dengan kota ini serta kampus yang aku masuki. Udara dingin tidak lagi menggangguku dan aku tidak lagi ketergantungan pada pemanas. Tinggal dengan Ryan tidak lagi terasa kikuk karena aku sudah bisa menganggap apartemen ini sebagai rumahku sendiri. Di samping itu, Ryan tidak mau tahu tentang penataan apartemennya sehingga aku yang mengurusi itu semua. Pada akhirnya apartemen ini lebih mirip apartemenku karena kepribadianku lebih mencolok di tempat ini dibandingkan kepribadian Ryan.

"Tempat ini lebih nyenengin daripada rumah di Jakarta. Rasanya ngga sepi dan lebih hidup." Komentar Ryan setelah aku dan Clay menata ulang apartemen agar senada dengan musim gugur. Kami mengganti gorden dan sprei serta menambahkan hiasan bunga kering di beberapa sudut.

"Masa sih? Kamu kan punya banyak pembantu di sana. Di sini cuma ada Clay dan temporary worker yang ngurusin kamu." Tanyaku tak percaya.

"Di sana ngga ada kamu yang bikin rumah lebih rame. Di sini ada kamu." Ryan memeluk pinggangku dari belakang dan mencium tengkukku. "Lan, ayo nikah. Setelah itu kita tinggal bareng selamanya." Dia mulai lagi dengan rengekannya.

Sekarang Ryan mempunyai kebiasaan bertanya tentang masalah ini sekitar tiga kali seminggu. Kelihatannya dia merajuk tapi aku melihatnya seperti insecure. Jika ditanya kenapa dia begitu kukuh soal ini, dia akan menjawab kalau dia tidak mau aku meninggalkannya.

"Kita omongin nanti kalau udah lulus. Aku ngga akan kemana-mana." Dia sebaiknya paham kalau aku tidak akan menjauh darinya.

"Oke." Jawab Ryan dengan suara kecil dan agak kecewa. Meskipun dia mengatakan itu, aku tahu beberapa hari lagi dia akan mengulang bujukan yang sama.

Selama setahun kami tinggal bersama, mau tak mau aku mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak kusadari. Ryan selalu ditinggalkan oleh orang yang dia sayang dan ketakutan itu membekas di hatinya. Pertama, mama papanya bercerai dan menghasilkan perpisahan antara dirinya dan mamanya. Setelah itu mamanya move on dengan cepat karena mendapat pacar. Tidak lama kemudian, Ryan menyadari kalau papanya lebih sibuk dengan pekerjaan sehingga dia ditinggalkan dengan pengasuh.

Itu masih belum selesai. Ketika kecil, Ryan menjadi dekat dengan pengasuhnya namun pengasuh itu berubah menjadi penculik dan menyerahkannya pada orang jahat. Itu terjadi dua-tiga kali. Saat Ryan membuka hati dan akhirnya mempercayai seseorang, semua itu selalu diikuti oleh pengabaian atau pengkhianatan. Gara-gara ini dia menjadi paranoid.

Setelah kupikir-pikir, Ryan mengalami terlalu banyak hal sewaktu masih kecil. Tidak heran jika kepribadiannya jadi aneh dan terasa berbeda. Apapun yang dilakukannya selalu ekstrem. Terlalu hati-hati, terlalu marah, terlalu benci, terlalu suka, terlalu takut, semua emosinya terlalu kuat dan diungkapkan tanpa terkendali. Syukurnya dia sekarang jarang marah dan lebih banyak mengungkapkan rasa sukanya dengan segini menempel sambil merajuk berkali-kali.

"Yan, kamu kayak anak-anak." Kataku agak menggerutu.

"Aku jadi anak-anak cuma buat kamu."

***

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now