Part 27

272 25 2
                                    

Aku tidak percaya ini. Sejak kapan Bian menggunakan obat terlarang? Kenapa dia perlu melakukan itu? Kepalaku langsung berdenyut kencang gara-gara informasi yang kubaca. Berbagai dugaan memasuki kepalaku, membuatku makin pening. Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya secara langsung.

Dengan emosi yang besar, aku melangkah ke ruang tengah, tempat Bian bekerja. Jam menunjukkan angka 9 dan di luar terlihat gelap. Di ruangan itu, Bian sibuk dengan laptopnya.

"Kak," panggilku. Bian menoleh.

"Kenapa, sayang?" tanyanya dengan senyuman.

Aku tidak menjawab melainkan membuka tasnya. Botol obat sialan itu aku ambil kemudian kutunjukkan pada Bian. "Kak, kenapa kakak mengkonsumsi ini? Sejak kapan?" tanyaku. Aku memelototi Bian yang raut wajahnya berubah.

"Itu, cuma aku minum sesekali kalau lagi stress aja. Aku tahu batasan," kata Bian sambil tersenyum canggung. Dia mengambil botol itu dari tanganku kemudian melemparnya ke tong sampah. "Kalau kamu nggak suka, aku berhenti." lanjutnya.

Aku tidak menyangka dia memutuskan secepat itu. Karena Bian bertindak drastis, aku tidak bisa berkata-kata. Saat dia memegang tanganku dan menatap hangat, kemarahanku langsung sirna.

Aku duduk di sebelahnya kemudian merapat. Wajah kami sangat dekat sehingga aku bisa melihat sorot mata Bian yang sayu, serta wajahnya yang terlihat agak pucat. Aku menyentuh wajah itu sambil bertanya-tanya sejak kapan rona wajah Bian berkurang.

"Kenapa kakak bisa stress? Kakak juga belum jawab sejak kapan," tanyaku dengan suara serak. Aku sebenarnya bisa mengira-ngira apa yang menjadi alasan. Namun, aku tidak sanggup menerima tebakanku sendiri.

"Apa aku boleh nggak menjawab?" Bian bertanya balik.

"Apa karena aku?" potongku cepat.

Bian bergeming. Bibirnya dirapatkan sedangkan mata hazelnya berkilat licin. "Ini bukan salahmu. Mungkin, aku yang berharap terlalu banyak."

"Apa yang kakak harapkan?" Aku mendekat. Pandangan Bian turun dan tidak lagi menatapku.

Firasatku langsung buruk melihat ekspresi itu. "Kak...," panggilku pelan.

"Aku cuma merindukan masa lalu. Rasanya, ketika aku hanya mahasiswa yang kebetulan punya restoran sederhana, aku merasa lebih bahagia daripada sekarang. Kita tidak memikirkan hal rumit dan hanya mengikuti kata hati. Aku juga punya kamu." Bian melingkarkan tangannya di pinggangku lalu mengangkat wajah.

"Aku mau kembali ke masa-masa itu tapi nggak bisa lagi. Setiap mengingat perubahan yang sudah terjadi, sepertinya nggak ada yang tersisa. Aku mungkin punya banyak hal sekarang tapi hal-hal penting sudah hilang." Semakin banyak Bian menjelaskan, suasana di antara kami makin kelam.

Mataku terasa panas tetapi aku pun tidak bisa mengembalikan indahnya masa lalu. Semua yang berlalu akan tertinggal tanpa bisa dijangkau lagi. Hanya kenangan yang tersisa, tidak ada yang lain.

"Semuanya jadi makin melelahkan sekarang. Rasanya tanpa obat itu, aku tidak bisa merasakan kebahagiaan lagi," kata Bian menutup pembicaraan.

"Ternyata aku nggak berguna ya?" keluhku. Sejak awal aku tahu aku hanya akan menyakiti dua orang yang aku cintai, tetapi jika ditunjukkan seperti ini, aku makin terjerumus ke dalam rasa bersalah.

"Kamu nggak bisa selalu bersamaku lagi. Ada yang lain yang lebih kamu pedulikan perasaannya. Kalau gitu, udah jelas kan, aku tidak punya apa-apa." Bian tersenyum getir. Matanya berkaca-kaca.

Air mataku langsung menetes. Apa yang harus aku katakan? Aku tidak bisa memberikan hiburan apa pun.

Meski menceritakan kesedihannya, Bian tidak lupa menghapus air mataku dengan jari-jarinya. "Jangan nangis, aku nggak bisa melihat air matamu. Kamu nggak perlu khawatir. Aku tahu caranya bersenang-senang. Kita bertiga bisa menjaga hubungan dengan baik. Lagipula sesekali aku bisa datang berkunjung. Yah, walau pun kita mungkin nggak akan tinggal bersama di rumah yang dikelilingi pemandangan hijau, nggak seperti yang kita rencanakan dulu."

"Maaf." Tidak ada kata lain yang bisa aku ucapkan.

"Mau menemani aku besok? Kita berdua aja?" Pinta Bian.

Aku langsung mengangguk tanpa berpikir.

***

Tengah malam, Ryan pulang dengan bersungut-sungut. Sesampainya di ruang tamu, dia langsung melempar ranselnya kemudian mengambil air dingin dari kulkas.

Aku dan Bian langsung terkejut kemudian menoleh ke dapur. Saat itu Bian hampir menyelesaikan pekerjaannya sedangkan aku membaca informasi tentang pasar modal di sebelahnya. Setelah meletakkan botol air dengan kasar, Ryan pun berpaling ke arah kami. Sorot matanya tajam, menatap Bian lurus-lurus.

Ada apa lagi dengan mereka? Aku ingin sekali mengerang dan mempertanyakan Ryan. Akhir-akhir ini aku mengira kalau tidak ada lagi dilema antara Ryan dan Bian. Walau menjaga jarak, mereka kelihatannya tidak punya hubungan buruk. Mungkin aku salah.

"Hey, kenapa lo mesti banget menghalalkan segala cara buat sukses? Apa lo nggak ngerti kalau sukses instan itu selalu ada harganya?" Ryan bertanya dengan nada menghakimi. Pandangannya tidak menjauh dari mata hazel Bian.

Bian menyahuti Ryan dengan dengkusan serta senyum miring. "Apa kamu pikir aku adalah kamu yang punya backing segitu kuat? Bahkan orang tuaku sekali pun menentangku. Kalau tidak melakukan segala yang bisa dilakukan, apa yang bisa aku capai? Apa aku harus menerima nasib?"

"Kalian ngomongin apa?" tanyaku. Aku tidak paham apa yang mereka bicarakan. Keduanya tiba-tiba serius, terutama Ryan yang terlihat seperti granat yang siap meledak.

Tidak ada yang menjawab pertanyaanku. Ryan memalingkan wajah sedangkan Bian kembali pada laptopnya. Tidak lama kemudian, Ryan berjalan menuju kamar mandi dan membanting pintu. Ketika aku menanyakan hal yang sama pada Bian, dia hanya menggeleng dan memintaku agar tidak bertanya. Ryan juga sama, tidak mau bercerita dan mengatakan kalau aku lebih baik tidak tahu. Benar-benar mengesalkan.

***

Keesokan harinya, aku mempersiapkan liburan dengan Bian. Ketika memberi tahu Ryan tentang rencanaku yang tiba-tiba, aku tidak mendapatkan penentangan. Dia hanya menghela napas, mengangguk, lalu mengatakan kalau aku boleh pergi lebih lama. Selama seminggu ke depan, dia akan sangat sibuk jadi aku tidak perlu terburu-buru.

"Jangan lupa selalu bawa GPS yang aku kasi. Kalau ada apa-apa, akan ada pengawal yang melindungimu. Jangan lupa, sekarang kamu ada kaitannya dengan Red Perilla. Aku nggak mau terjadi hal buruk." Hanya itu yang dia tekankan. Aku tahu itu penting sehingga mengiyakan tanpa banyak protes. Ryan pun terlihat tenang dan mencium keningku.

Walau mendapatkan waktu yang lebih lama, aku tidak bisa sembarangan meninggalkan kelas. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi selama tiga hari.

Waktu yang cukup lama itu mengubah rencana Bian yang sebelumnya hanya mau berkeliling Cambridge. Dia mengajakku mengendarai mobil ke Scotlandia. Dia mengatakan kalau sudah lama ingin ke sana. Karena sekarang aku mau menemaninya, dia menyewa mobil beserta driver untuk berwisata dengan nyaman.

Dia terlihat ceria ketika menceritakan rencana perjalanan kami. "Setelah dua tahun, kita akhirnya punya waktu berdua," katanya gembira. Setelah mendengar itu, aku baru sadar kalau aku memang belum sempat meluangkan waktu untuknya. Terakhir bertemu, aku juga menolak menemani. Pantas saja dia merasa aku lebih peduli pada Ryan.

"Lain kali kita bisa pergi berdua lagi kalau aku ada waktu," kataku.

Perjalanan kami terlihat menggembirakan. Sayangnya, sesampainya di Scotlandia, terjadi permasalahan yang luput dari perkiraan kami.

***

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now