Part 13

501 39 4
                                    

Ryan mengangkat tangan kiri sambil menatap cincin yang melingkar di jarinya. Setelah satu menit terpana oleh apa yang dilihat, dia menoleh ke arahku sambil mengulum senyum. Matanya seakan dipenuhi cahaya.

"Benar? Kamu nggak bohong kan?" katanya.

"Iya benar. Jadi kamu perlu menyiapkannya," sahutku.

Setelah menjawab, aku tiba-tiba merasa cemas. Ribuan pertanyaan memenuhi kepalaku. Apa aku terburu-buru? Apa ini benar hal yang tepat? Entah kenapa rasanya seperti memasuki dunia lain.

Ketika aku sibuk berpikir, senyum Ryan merekah seakan seluruh wajahnya tersenyum. "Dimas salah. Ternyata kamu nggak seperti yang dia kira."

"Emangnya dia bilang apa? Dia memang nggak pernah bisa menyukaiku," kataku tidak menyembunyikan kejengkelan. Nama itu selalu memancing kekesalan di diriku. Aku sendiri tidak paham kenapa aku sulit sekali berdamai dengan sahabat Ryan yang satu itu.

"Kenapa sih kalian nggak pernah cocok? Padahal kalian mirip," komentar Ryan.

"Aku nggak mirip dengannya," ucapku ketus. Siapa juga yang mau disamakan dengan orang itu? "Jangan mengalihkan pembicaraan. Dia bilang apa?"

"Dia bilang aku cuma pelarian. Kamu akan meninggalkanku kalau ketemu Bian." Ryan akhirnya bicara.

"Oh," desahku. Aku tidak lagi membahasnya karena Dimas memang seperti itu. Hanya saja, moodku jadi buruk. Kalau dipikir-pikir, tidak bisa disalahkan jika dia curiga. Namun, justru karena itu aku makin dongkol.

"Nanti kalau kita udah menikah, dia nggak akan banyak protes kok. Dia cuma overthinking aja." Ryan mengacak-acak rambutku.

Mungkin begitu. Mungkin juga aku memang seburuk yang dikatakan Dimas.

***

Berbeda dengan Ryan yang sangat bahagia karena persetujuanku, Bian langsung muram. Dia terlihat seperti kutub selatan yang terlalu dingin untuk didekati dengan cara biasa. Sikapnya itu membuatku menghela napas berat.

Karena sudah pernah melihat Bian yang seperti ini, aku tidak mengganggunya. Dia selalu menakutkan kalau memasuki mode itu. Lebih baik aku menghindar hingga dia menenangkan emosi.

Benar saja, dia butuh waktu dua hari sebelum mau bicara padaku lagi. Itupun dengan emosi yang masih mendidih. Wajahnya terlihat dingin, berlawanan dengan kejenakaan yang biasa dia perlihatkan.

"Kenapa kamu mau menikah dengannya? Apa kamu sudah membenciku? Apa satu kesalahan saja sudah membuatmu melupakan kedekatan kita?" tanyanya beruntun.

"Itu karena Ryan tetap meminta menikah biarpun tahu kalau aku masih menyukai kakak. Dia udah meminta ini sejak lama. Aku juga merasa kalau aku pengen sama dia terus. Jadi nggak ada alasan untuk menolak," jawabku.

"Lalu kamu membuangku? Apa kamu nggak memperhatikan perasaanku sama sekali? Gampang sekali kamu meninggalkanku."

"Kak, bukannya kakak juga gampang meninggalkanku? Padahal, siapa yang minta agar memberikan kesempatan kedua jika terjadi kesalahan?"

"Aku melakukannya demi kita. Aku nggak mau ada yang bisa mengganggu kita seperti yang dilakukan Kendrix. Aku juga..." kata-kata Bian tiba-tiba terputus.

"Juga apa kak?" tanyaku pelan.

Rona sedih tiba-tiba mewarnai wajah Bian. "Aku juga mau kamu melihatku sebagai orang yang nggak kekurangan apapun. Bukan orang yang kalah," jelasnya dengan nada suara semakin rendah.

Penjelasan Bian itu membuatku mengerutkan kening. Ini yang tidak bisa kupahami dari Bian. Kenapa dia sangat takut menjadi kalah? Dia bahkan mampu menjadi tega karena itu.

"Kak, aku nggak pernah menuntut hal itu dari kakak. Aku cuma pengen disayangi. Dulu, aku cuma mau kakak tetap di sampingku. Tapi kakak malah pergi dengan seenaknya." Aku sebenarnya tidak mau menyalahkannya tapi semua ini membuat sakit hatiku muncul juga.

"Tapi aku hanya meminta pengertian dan sedikit waktu. Bukannya aku kembali? Apa itu nggak cukup? Kenapa kamu cepat sekali memberikan hatimu pada orang lain?" Nada suara Bian semakin meninggi. Kemarahannya sangat terasa.

"Maaf. Aku nggak bisa menghindarinya."

Dengan mengeraskan rahang, Bian mengangkat wajahku dengan kedua tangannya. Mata hazelnya memancarkan kekecewaan. Anehnya, aku juga melihat cinta di balik kekecewaan itu. Tiba-tiba hatiku terasa seperti ditusuk.

"Padahal aku percaya padamu," keluh Bian. Sepasang bola matanya terlihat berkaca-kaca. Apa aku terburu-buru? Tiba-tiba pertanyaan itu muncul lagi. "Aku nggak pernah menggantikanmu dengan siapapun," lanjutnya.

Bian semakin emosional. Sayangnya, aku hanya bisa diam di tempatku tanpa kemampuan untuk membuka mulut. Ketika matanya semakin memerah, Bian berpaling dariku. Dia melepaskan tangannya, mengambil coatnya kemudian pergi.

Melihat itu, aku hanya bisa menghela napas seraya melangkah menuju balkon untuk menemui Ryan. Pacarku itu memberikan ruang bicara padaku dan Bian agar kami bisa bicara dengan lebih terbuka. Dia merasa kehadirannya mungkin akan membuat keadaan menjadi buruk.

"Jadi gimana?" tanyanya.

"Apa boleh buat. Aku nggak bisa memenuhi kemauan semua orang," jawabku.

"Maksudku bukan itu. Apa kamu nggak keberatan kalau dia pergi?" Ryan bertanya sambil melirik jam tangan yang aku kenakan. Karena itu aku menutup matanya.

"Jangan sok tahu!" kataku. Entah kenapa ketika Ryan menoleh ke arah jamku, aku langsung merasa tidak nyaman.

"Iya iya." Ryan membawa tanganku turun. "Tapi, aku nggak mau lihat kamu cemberut karena merindukan dia," tambahnya.

"Lalu, apa kamu mau membatalkan pernikahan kita?"

"Jelaslah nggak. Ya udah, aku nggak akan komentar lagi." Ryan menyerah. Dia melingkarkan tangannya di pundakku. Aku menjatuhkan kepalaku di pundaknya sambil bersungut-sungut.

"Gimanapun, kak Bian yang banyak menolongku. Aku nggak bisa menghapuskan perasaanku padanya dengan mudah," kataku setengah berbisik.

Ryan melingkarkan satu tangan lagi. "Iya. Aku nggak akan mengungkit masalah itu."

"Yan, kak Bian pasti membenciku sekarang." Aku mengadu dengan pedih.

"Honey, boleh nggak aku ngomong jujur?" tanya Ryan.

"Nggak boleh," jawabku. Aku takut dia akan mengatakan hal yang sudah kuketahui.

Semua ini karena keputusanku sendiri sehingga aku tidak berhak mengeluh atas kemarahan Bian. Aku pantas menerimanya. Jika ada yang patut disalahkan atas kerumitan perasaan yang aku rasakan, akulah orangnya.

"Oke. Aku nggak akan bilang apa-apa." Ryan terdengar pasrah.

Dia diam sambil menepuk-nepuk punggungku. Semakin lama, entah kenapa perasaanku makin pilu. Aku menenggelamkan wajahku di dada Ryan sambil memeluknya erat.

"Yan, entah kenapa rasanya sedih. Kamu akan menghiburku kan?" tanyaku.

"Soal itu, aku nggak boleh bilang tidak kan? Kamu nggak perlu nanya harusnya."

"Jawab aja. Jangan balik nanya kalau aku nanya duluan!" Aku membentak juga akhirnya. Setiap aku frustasi, orang ini selalu saja memancing untuk dimarahi. Dia harusnya sudah tahu perangaiku dan bisa menghindarinya. Namun, tetap saja dia mengulang responnya. Tidak belajar sama sekali.

"Iya. Akan aku hibur. Pasti aku akan menghiburmu. Apa kamu udah senang sekarang?"

Aku mengangguk.

Setelah itu Ryan malah mengatakan sesuatu yang tidak mau kudengar. "Kalau kamu masih kepikiran sama dia, kamu boleh cari dia dulu."

"Jangan sok tahu!" sahutku gusar.

***

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang