Part 41

182 16 0
                                    

Liburan musim panas di Indonesia malah memberikan kesepian. Ryan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bisnisnya. Pengamanan di rumah semakin ketat. Supir yang ditugaskan untuk memenuhi panggilanku juga diganti dengan orang yang lebih tinggi, lebih dingin, dan membawa senjata api. Sementara itu, Elias juga jarang muncul. Aku dengar, papa mertuaku itu sedang berkeliling Asia Tenggara untuk urusan bisnis. Rumah mirip istana ini seakan tidak ada pemiliknya.

Apa ini kehidupan para pebisnis? Atau hanya penghuni rumah ini saja yang abnormal? Ryan, Elias, dan Emily seperti tiga individu terpisah yang memiliki dunia masing-masing, berlawanan dengan keluargaku yang saling bergantung satu sama lain.

Aku tidak mau mengeluhkan ini lagi, tetapi kesunyian ini menakutkan.

Selain Ryan yang makin sibuk, Bian juga terlalu sibuk hingga tidak pernah membalas pesanku. Pacarku itu menghilang tanpa kabar dan tidak bisa ditemui. Karenanya aku merasa kami seperti berpisah lagi. Dulu aku tidak terlalu khawatir. Namun, sekarang bayangan-bayangan buruk memenuhi pikiranku. Apa Bian ditangkap musuhnya? Apa dia frustasi dan mengkonsumsi obat-obatan lagi? Atau ada hal buruk lain menimpanya? Pertanyaan-pertanyaan menakutkan tidak berhenti menggangguku.

Ketika bertanya pada Ryan, dia menjawab kalau dia juga tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Bian. Dia sekarang lebih banyak berurusan dengan Arham dan Daffa. Walau demikian, dia bisa memperkirakan. Bian mungkin sedang sibuk mengarahkan teman-temannya untuk mengambil alih bisnis Zephir. Akan ada banyak kekerasan jadi sebaiknya aku tidak ikut campur.

Namun, aku juga membutuhkan kabar.

Aku perlu tahu apakah Bian baik-baik saja. Sejak menginjakkan kaki di Indonesia  sebulan yang lalu, aku belum sempat bertemu dengannya. Yang bisa aku lakukan hanya menemui Sofia untuk menggerutu atau mendatangi restoran ibu untuk melepas stress.

Sekarang pun aku mendatangi Sofia di rumahnya untuk marah-marah tentang Bian sambil bermain kartu.

"Sampai kapan dia bakal mengabaikanku?" tanyaku retorik.

Sayangnya, Sofia juga tidak tahu jawabannya. Sesekali Bian menghubungi Daffa tetapi tidak ada kabar penting. Hanya ada satu informasi yang bisa aku tangkap, tiga hari lalu Bian masih baik-baik saja.

"Untuk sementara ini kita cuma bisa percaya padanya," ujar Sofia sambil melempar kartu terakhir. Dia menang. Aku pun merapikan kartu lalu mengocoknya.

"Apa salahnya mengabariku sesekali? Apa dipikirnya aku nggak peduli?" kataku jengkel.

"Mungkin karena kamu akan peduli?"

"Alasan macam apa itu?"

Sofia tersenyum hambar. "Yah, kita tunggu aja."

Aku menghela napas lalu meletakkan tumpukan kartu di atas meja. Tidak ada mood yang tersisa untuk bermain. "Dulu juga gini," keluhku sedih.

"Iya. Dulu kondisi dia juga sama. Awalnya susah banget buat berkembang karena ada aja yang menghalangi bisnisnya. Semua orang tahu kalau Bian nggak punya banyak backing. Kalau dia nggak nekat, dia nggak akan bisa sebesar ini. Waktu itu aja dia udah dapet banyak ancaman. Kalau bukan lawannya yang duluan pake preman, dia nggak akan hubungi teman-teman mafianya."

Aku menghela napas lagi. "Aku nggak tahu. Dia nggak pernah cerita kesulitannya padaku." Seketika aku merasa seperti orang lain.

"Mungkin dia nggak mau kamu melihatnya nggak keren." Sofia tertawa kecil tetapi tidak ada kesenangan dalam tawa itu, malah dipenuhi ironi.

"Aku udah sering lihat dia nggak keren, apalagi yang mau disembunyiin?"

"Beda, Lan. Kalau dia beneran putus asa dan marah, dia nyebelin banget. Sama kamu, dia pengennya cuma menunjukkan sisi terbaiknya aja."

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now