Part 17

426 32 2
                                    

Ya sudah. Cuma itu yang bisa aku ucapkan pada diri sendiri setelah menutup telepon Bian. Aku tidak bisa memaksakan dan hal itu memang tidak selayaknya aku lakukan. Pilihan hidup seseorang selalu ada di tangan mereka.

Daripada memikirkan apa yang harusnya dilakukan orang lain, aku sebaiknya mempertimbangkan apa yang sebaiknya aku lakukan. Pada posisi yang rumit ini, aku akan membiarkan semuanya berjalan seperti apa yang Bian dan Ryan inginkan. Cukup nikmati apa yang ada tanpa banyak merutuki apa yang tidak bisa didapatkan.

Dengan langkah pelan, aku menelusuri lorong lantai dua di mansion luas ini sambil mencari dimana Ryan. Dua jam lagi kami perlu menjemput ibu dan Furqon di bandara. Adikku itu agak syok dengan keputusanku tetapi tidak banyak mempertanyakanku. Mungkin ketika sampai, barulah dia mengatakan keluhannya.

Tidak jauh dari ruang keluarga, aku mendengar suara alunan piano dan biola yang menyentuh. Kegembiraan di dalam nada-nadanya terasa jelas. Aku pun menuruni tangga menuju ruang musik. Di sana Emily menggesek biolanya sedangkan Ryan memainkan piano. Mereka berdua lebih mirip dua saudara, bukan ibu dan anak. Mungkin karena Emily terlihat lebih muda dari usia aslinya.

Karena musik mereka indah untuk didengar, aku mengambil tempat duduk tanpa mengganggu. Lima menit kemudian permainan mereka berakhir dan keduanya tersenyum ke arahku. Dua pasang iris berwarna senja menatapku seakan menghangatkan musim dingin.

Tanpa berpikir, bibirku melengkungkan senyum juga.

"Mama akan minta Linda mengambilkan jajan. Kalian ngobrol aja dulu," kata Emily sambil meletakkan biola pada tempatnya.

Ryan mendekat ke arahku. Ketika Emily keluar dari ruangan, dia mengangkat daguku lalu memberikan kecupan singkat di bibir. Hatiku langsung bergetar hangat. Ryan yang tidak punya beban pikiran, menjadi semakin menawan. Auranya terlihat seperti pendar salju yang baru turun, putih bersih.

"Apa yang kamu pikirin? Kenapa kamu manyun gini?" tanyanya sambil memandangiku. Aku sepertinya tidak bisa menyembunyikan kekecewaanku setelah menelepon Bian.

"Aku bingung sama perasaanku sendiri," kataku dengan suara kecil. Entah apa yang memberatkan hatiku.

"Bingung? Bukan bingung pada perasaanmu padaku kan? Kamu nggak akan membatalkan pernikahan kita kan?"

"Nggak. Bukan itu." Sahutku cepat.

"Terus apa?" Ryan duduk di sebelahku lalu menopang dagu. Mata jingganya memandangiku dengan sorot kagum. Dia terlihat gembira. Pernikahan kami sepertinya membuatnya bersemangat dan penuh cinta.

Berlawanan dengan Ryan, aku menarik napas dalam. Bibirku tidak bisa tersenyum, dan aku merasa kehilangan. Ada rasa hampa di hatiku. Sebentar lagi perasaan Bian padaku akan memudar. Dia sendiri mengatakan akan berpacaran dengan orang lain. Aku harusnya merasa lega tetapi itu tidak terjadi.

"Apa kamu keberatan kalau aku cerita tentang kak Bian? Rasanya nggak akan ada yang bisa paham soal ini selain kamu," kataku.

Betapa egois.

Aku tidak percaya aku mengatakan ini ketika pernikahanku dan Ryan sudah dekat. Dengan menyesal, aku menunduk. Aku tidak berani melihat ekspresi Ryan.

"Cerita aja. Jangan takut. Aku juga pengen dengar yang sebenarnya. Selama ini kamu nggak pernah mau cerita apa-apa," katanya sambil mengusap-usap pipiku.

Dengan ragu, aku mengangkat wajahku lagi. Aku melihat tidak ada yang berubah dari ekspresi kekasihku itu. Ryan tetap memandangku dengan cahaya tenang di matanya.

"Aku ingin kamu jujur padaku tentang semuanya," lanjutnya.

Aku merapatkan bibir dan berusaha menenangkan hatiku yang ketakutan. Beberapa kali aku menghibur diri untuk mengatakan kalau tidak apa-apa. Toh Ryan sebenarnya bisa menebak. Dia sudah tahu banyak. Aku hanya perlu mengungkapkan semua yang mengganjal di hatiku sehingga pernikahan kami tidak diwarnai beban.

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now