Part 47

117 16 2
                                    

"Lan, kalau aku cuma bakteri kecil nggak berguna yang bisa mati karena ditiup makhluk yang lebih besar, apa kamu masih sayang padaku?"

Itu adalah pesan balasan pertama dari Bian setelah mengabaikanku sebulan. Pesan absurd itu membuatku memandangi layar ponsel sangat lama. Apa Bian mabuk lagi?

"Kak, kakak jelas manusia, bukan bakteri. Kenapa nanya gitu?" balasku.

Ryan yang sedang tidur di pangkuanku terdengar menggerutu tanpa kosa kata yang jelas. Aku hanya bisa menangkap kata 'siapa', 'hp', 'jangan', dan 'temani'. Mungkin Ryan tidak suka aku bermain dengan ponselku. Namun, apa boleh buat, sudah lama Bian tidak membalas pesan sehingga aku perlu memanfaatkan kesempatan ini. Aku pun mengetik lagi. "Aku masih sayang. Jangan mikir aneh-aneh. Gimana kabar kakak?" kataku.

Bian terlihat mengetik juga. Tidak lama kemudian pesan darinya muncul di layar. "Aku kangen. Maaf nggak balas lama. Ada banyak hal yang aku pikirin."

"Apa yang kakak pikirin? Gimana kalau kita ketemu?" Aku bertanya-tanya apakah Bian sudah siap menceritakan semua keluhannya.

"Nanti kalau urusanku udah selesai,  kita bisa ketemu. Mungkin minggu depan."

"Kenapa kakak nggak bisa ketemu denganku? Selama ini Ryan selalu pulang biarpun mengurusi hal yang sama dengan kakak. Kalau masalah bahaya, aku punya perlindungan jadi kakak nggak perlu khawatir."

Sebenarnya aku tidak mau membandingkan Bian dan Ryan. Namun, permasalahannya bukanlah tingkat bahaya melainkan Bian yang tidak siap menemuiku. Kenapa dia sering sekali seperti ini? Aku tidak pernah menuntutnya menjadi seseorang yang sempurna. Dia tetap bisa marah, dia boleh merasa kesal. Aku tidak akan menghakiminya hanya karena itu.

"Minggu depan ya. Aku merindukanmu." Bian mengabaikan pertanyaanku.

Karena kesal, aku mengirim protes. "Kalau benar rindu, datangi aku. Aku tunggu."

"Iya, nanti aku datang," tutup Bian singkat.

Aku mengirimkan stiker tangisan tetapi tidak dibalas lagi. Karena dongkol, aku pun menambahkan. "Kak, aku sayang kakak. Jadi, aku nggak mau kakak menderita gara-gara aku. Kalau ada masalah, tolong cerita. Aku khawatir kalau kakak menghilang kayak gini."

Sayangnya, Bian mengabaikanku. Setelah itu tidak ada balasan sama sekali. Benar-benar menjengkelkan. Andai aku tahu dimana dia berada.

Karena gerutuannya tidak ditanggapi, Ryan mengubah posisinya menjadi telentang. Mata jingganya menatapku sendu, meminta perhatian. "Tadi siapa?" tanyanya.

"Kak Bian," jawabku.

Wajah Ryan langsung berubah ekspresi menjadi sedih. Dia menjangkau kepalaku. "Kamu lebih sayang aku kan? Love me deeper than anyone?" katanya manja. Aku tidak menjawab karena itu pertanyaan sulit. Setelah beberapa menit terdiam, aku akhirnya memberikan ciuman di kening suamiku. Makin lama hubungan segitiga ini makin menyulitkanku.

***

Dua hari setelah orang-orang elit Zephir diringkus, tim Ryan bertemu dengan tim Bian di sebuah basement rahasia dekat gedung utama Arianata. Ketika melihat luasnya basement tersebut beserta kelengkapan yang ada, Bian menahan napas. Dia tidak menyangka ada markas sekokoh ini di Jakarta.

Kian hari wawasannya makin dibuka lebar. Makin lama dia makin tahu kalau ada banyak rahasia yang tersimpan di kota ini.

"Kalau kita macam-macam dan Ryan mau ngurung kita di sini, kayaknya gue nggak bakal bisa lihat matahari lagi," ujar Ari tanpa berpikir. Bian setuju dengan pendapat itu.

Mereka dipandu oleh seorang laki-laki yang mengenakan setelan jas hitam. Rombongan berjumlah belasan orang tersebut memasuki sebuah ruangan yang kelihatannya seperti ruang tamu luas dengan tembok yang dicat putih. Di sana, Ryan sudah menunggu dengan ditemani beberapa orang. Dua di antaranya adalah teman Ryan sejak kecil sedangkan lima lainnya terlihat seperti tim profesional.

RYVAN 3 - The Past and The Future (Pembully Itu Ternyata Jatuh Cinta Padaku)Where stories live. Discover now