❄32

14.9K 1.9K 328
                                    

"Keluarlah, tapi setelah ini kamu bukanlah bagian dari keluarga ini. Kamu akan kehilangan nama Elber. Itulah konsekuensinya."

Kalingga tetap melanjutkan langkahnya meski dalam setiap langkah kakinya ia seperti menginjak duri.

"Papi serius! Selangkah kamu keluar dari rumah ini, kamu bukanlah anak kami! Kamu akan menjadi orang asing!"

Bukan hanya Inaza yang terkejut, melainkan Kalingga yang kini berbalik menatap kepala keluarga Elber tersebut. Air mukanya masih bisa Kalingga kontrol meski kenyataannya jantungnya sudah mau terjun bebas.

"Orang asing? Tapi bukankah selama ini saya asing di keluarga ini, Pi?"

Inaza terhenyak mendengarnya, satu persatu memori bagaimana mereka tidak memperlakukan secara adil Kalingga menyeruak.

"Sedari dulu saya selalu bertanya-tanya, mengapa kalian tetap mempertahankanku bila nantinya kehadiran saya juga tidak dianggap penting. Apa tujuan kalian bila memang kelahiran saya bukanlah keinginan kalian? Atau karena saya terlahir sebagai laki-laki, bukan perempuan seperti keinginan kalian?"

"Omong kosong apalagi ini, Lingga? Kamu sedang menjual cerita sedih, heh?" sahut Andari di sela bibirnya bergerak menyesap rokoknya. Wajahnya terlihat tenang, seakan perkataan Kalingga bukanlah sesuatu yang penting.

"Saya tidak menjual cerita sedih, karena bagi saya itu tidak ada untungnya. Terimakasih karena sudah bersedia merawat saya selama 21 tahun." ujar Kalingga mengulas senyum untuk terakhir kalinya sebelum dia memutuskan pergi dari rumah sekaligus mengakhiri hubungan yang ingin Andari akhiri sejak dulu.

"Kalingga," Inaza memanggilnya lirih membuat Kalingga memusatkan atensi padanya. Sama seperti Andari, Kalingga hanya tersenyum lalu melanjutkan langkah kakinya meski tertatih.

Hari ini Kalingga bukanlah bagian dari Elber. Nama itu cepat atau lambat akan dihapus oleh Andari. Tibanya di luar, Kalingga mendongak menatap langit bersamaan seseorang berdiri di sampingnya. Kalingga tidak menoleh meski tau orang itu sedang menatapnya.

"Kalo mau menangis, menangis saja."

Kalingga menurunkan pandangannya, kemudian terkekeh kecil. "Dan setelah itu lo akan tertawa. Benar bukan?"

Seseorang yang tak lain kakaknya itu mendengus namun bibirnya urung membentuk seringai tipis.

"Adik gue sedang bersedih, tidak mungkin gue ketawa di atas penderitaannya." akunya walau lebih terdengar seperti gurauan.

Kalingga tidak menggubris, dirinya memilih pergi dari sana dibanding mendengar Kazael yang terang-terangan meledeknya. Tapi, sepertinya Kazael tidak akan mudah melepaskannya begitu saja. Terbukti dari kakinya yang juga mengikuti Kalingga menuju mobilnya.

"Meski lo udah gak dianggap anak lagi sama papi dan mami, tapi gue tetap anggap lo sebagai adek gue. Baik kan gue?" Kazael bertanya di akhir kalimat namun tidak ada balasan hingga Kalingga sampai di mobilnya.

Baru saja tangannya bergerak membuka pintu mobil, Kazael menahannya. Kalingga seketika melemparkan tatapan tajam pada Kazael yang sekarang ini sedang tersenyum.

"Ini kan mobil pemberian papi, tapi kalo lo mau pake, pake aja. Biar gue yang kasih pengertian sama papi."

Kalingga secara perlahan melepaskan genggamannya pada ganggang pintu, netranya melirik kuda besi yang telah menemaninya selama ini. Menarik napas panjang, Kalingga mundur beberapa langkah, kali ini tatapannya lurus pada Kazael.

"Lo udah dpaetin apa yang lo mau selama ini. Selamat, lo menang, gue kalah. Gue pamit, sekali lagi selamat, Kak Kaza."

❄❄❄

TRAP!Where stories live. Discover now