❄12

18.5K 2.1K 165
                                    

Di weekend ini Alunada memutuskan pulang ke rumahnya saat mendapat kabar dari Utami bahwa orang tua pemilik tubuh ini ingin bertemu.

Sebenarnya dia cukup heran, dibanding Utami kenapa tidak menghubunginya langsung? Maksudnya, Alunada ini kan anak mereka, tidak mungkin bila kedua orang tua Alunada tidak memiliki nomor sang anak.

Sudahlah, Alunada malas memikirkan.

Setibanya di sana, Alunada mengetuk pintu. Ketukan ke-5 barulah pintu berwarna coklat tersebut terbuka. Sosok sang ibu muncul kemudian mempersilakannya masuk.

"Ada yang ingin mama dan papa bicarain sama kamu."

Alunada mengerjap, pantatnya saja belum menyentuh sofa, tapi sang ibu sudah berujar.

"Apa itu?"

"Tunggu papa mu selesai mandi dulu." jawab Anindya berlalu meninggalkan Alunada yang masih bingung ditempat.

Bagaimana cara Alunada menjelaskannya, hubungan pemilik tubuh ini dan orang tuanya seperti sesuatu. Entahlah, dia hanya menebak saja.

Akhirnya, Alunada berjalan ke arah kamarnya untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Di sela kegiatannya, Alunada menatap cermin. Mengamati reflika wajah manis di depannya seksama.

"Sayang sekali dia terjebak di keluarga seperti ini." gumamnya menyentuh rambut pendeknya. Sejujurnya ia tidak ingin bermain petak umpet seperti ini, namun Alunada akan menghargai privasi si pemilik raga.

Tanpa membutuhkan waktu lama, Alunada turun bergabung bersama keluarganya di dunia ini. Dengan mengenakan pakaian hotpants dipadukan baju kaos panjang maroon, Alunada menuju ruang tamu.

Nampak Sergio—ayahnya Alunada itu sudah ada di sana. Sergio yang sedang meminum kopinya, menoleh ke arah sang anak lalu kembali fokus pada kegiatannya.

"Kata mama, Papa ingin bicarain sesuatu." ujar Alunada tanpa dipersilakan duduk di sofa panjang sedangkan Sergio memilih duduk di sofa single.

Tidak langsung menjawab, Sergio menatap Alunada. Tatapan memindainya cukup membuat Alunada tidak nyaman.

"Kakakmu bakal pulang bulan depan. Jadi, sesuai perjanjian, setelah kakakmu pulang maka berhentilah sekolah." ujar Sergio tanpa menatap Alunada ketika fokusnya kembali ia berikan pada cangkir berisi kopi hitamnya, seakan perkataannya beberapa saat lalu bukanlah hal besar.

"Apa?" gumam Alunada tidak percaya. Selain perkataan Sergio tentang pemberhentian sekolahnya, juga sosok saudaranya yang baru Alunada ketahui hari ini.

"Tapi, kenapa aku harus berhenti sekolah?" setelah menguasai dirinya, Alunada mengajukan pertanyaan.

Sergio menatapnya, bertepatan Anindya datang dari dapur. Sepertinya baru selesai memasak.

"Bukan berhenti. Lebih tepatnya pindah sekolah." ujar Anindya memperjelas.

"Tapi kenapa? SMA Jingga bagus kok. Aku nyaman di sana."

"Ini bukan perihal nyaman atau tidaknya. Tapi, sekolah itu terlalu elit. Selama ini SPP kamu aman karena kakakmu yang tanggung. Dan, kakakmu tidak bisa tanggung lagi di karenakan dia resign. Jadi yaa, mengerti saja." tukas Sergio mengangkat bahunya acuh.

Alunada termenung mendengar perkataan Sergio. Jadi, selama ini kakaknya lah sang pemilik raga yang membayar uang sekolahnya? Lalu, kenapa tidak Sergio sendiri?

Padahal setau Alunada, Sergio memiliki usaha kelapa sawit berhektar-hektar yang mana bila sekali panen bisa meraup ratusan juta.

Selain itu, ada Anindya yang memiliki usaha butik. Namanya sudah cukup dikenal di kota ini, bahkan telah mempunyai 3 cabang. Itu membuktikan bahwa usaha butiknya sukses.

TRAP!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang