❄29

15.3K 1.9K 144
                                    

Kalingga melangkah ringan memasuki rumah orang tuanya yang terakhir kali ia datangi sekitar 6 bulan lalu. Maniknya mengedar mengamati interior rumah megah itu, tidak ada perubahan. Semuanya sama seperti yang Kalingga datangi terakhir kali.

Kakinya kembali melangkah, kali ini jauh lebih semangat dengan senyum lebar yang tidak pernah surut sedari tadi.

"Mami sama papi adakan?" Kalingga bertanya pada salah satu pelayan yang bekerja di sana.

"Ada, Den. Mereka lagi ada di halaman belakang."

Mendengar hal tersebut, Kalingga segera ngacir dari sana. Sesuai apa yang pelayan tadi katakan, maka di sinilah dirinya berada. Tatapannya tertuju pada tiga orang yang sedang bercengkerama ringan diselingi beberapa lelucon hingga sang mami tertawa dibuatnya.

Kalingga tanpa sadar menarik bibirnya membentuk senyum melihat mami-nya tampak bahagia.

"Mami, Papi."

Panggilan Kalingga menghentikan obrolan seru itu.

"Lingga..." mami-nya nampak langsung berdiri menyambut Kalingga. Wajahnya begitu bahagia melihat anak bungsunya ada di rumah mereka.

"Pulang juga kamu." suara berat itu adalah papinya. Kalingga mengangguk tidak lupa bibir merah itu selalu merekah seakan letupan bahagia tidak pernah surut dalam hatinya.

"Lingga rindu kalian." akunya bergabung di sebuah kursi kayu di samping Kazael.

Kalingga mencomot pie apel yang ada di atas meja dengan mata berbinar. Sudah pasti mami-nya yang telah membuatnya.

Puk.

Sang mami tiba-tiba menepuk tangannya, Kalingga mendongak beserta tatapan tidak mengerti ia berikan pada wanita yang sudah melahirkannya tersebut.

"Itu Mami buatin khusus kakakmu."

"Cuman dikit, Mi."

Mami tetap menggeleng sedangkan Kazael juga sang papi kembali melanjutkan cerita yang sempat tertunda. Mami bahkan sudah ikut menimpali obrolan keduanya, melupakan satu sosok yang mengamati interaksi ketiganya dengan pandangan rumit.

"Nah kan, Mami udah bilang itu bakalan cocok di kamu."

"Iya, Mi. Aku suka sama rumah yang Papi bagunin di dekat air terjun. Rasanya tenang." seloroh Kazael di sela mencomot pie buatan maminya. Netranya melirik Kalingga yang memilih diam mengamati interaksi mereka. Senyum culasnya terukir dan itu dilihat Kalingga.

"Jadi, kapan kamu siap ambil alih perusahaan?" pertanyaan papi meluncur. Kacamata bening yang membingkai netra itu nyatanya masih tidak mampu untuk menutupi aura dominannya. Dalam tatapannya pun ikut menelisik putra lainnya yang tidak sengaja mereka abaikan.

"Aku siap. Tentunya menjalani terapi selama beberapa tahun, cukup membuatku kembali berpikir normal."

Papi mengangguk paham sedangkan sang mami menepuk pundaknya pertanda ia bangga. "Putra Mami kan emang normal. Tidak gila."

"Dan Kalingga,"

Kalingga yang disebut namanya oleh sang papi, hanya berdehem singkat.

"Jika sudah mampu, olahlah cafe yang ada di Bogor."

"Cafe?" Kalingga mengulang perkataan sang papi, memperjelas apa yang baru saja ia dengar.

"Iya, kamu kan lumayan jago dalam hal memasak. Mau kan?"

Kalingga terkekeh kecil namun meski begitu kepalanya tetap mengangguk.

"Iya, Lingga mau. Lagian bila Lingga tidak terima, Lingga dapat apa? Selain cafe yang terancam tutup itu." ujarnya membuat suasana seketika sunyi.

TRAP!Where stories live. Discover now