22. Hilangnya Keimanan

46 5 0
                                    

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif. Jika terjadi kesamaan itu adalah kebetulan semata, tidak ada unsur kesengajaan."

©Story of 'Waktu dan Takdir' by @IraKarrella

.
.
.
.
.

.

Pertahankan tekad untuk lebih dekat dengan-Nya, ya? Karena hilangnya keimanan dalam hatimu akan lebih berat dari masalahmu saat ini.

***

Setiap dari kita tidak bisa menduga-duga apa yang akan takdir bawa di kemudian hari, tidak bisa menginginkan suatu hal juga harus terjadi atau tidak pernah terjadi sama sekali.

Seperti saat ini. Kejadian beberapa menit lalu yang membuat Hanifa masih betah dalam diamnya, menahan rasa sesak sendirian, menahan amarah. Akan tetapi, tidak tahu harus diluapkan pada siapa. Hamzah tidak salah. Namun, Hanifa benar-benar tidak ingin kata itu keluar dari bibirnya.

Sama sekali tidak ingin!

Karena Hanifa tahu, dia tidak akan mampu membalas perasaan itu. Membuat Hamzah harus merasakan sakit yang pernah dia rasakan. Jahat. Itu kata yang dia sematkan untuk diri sendiri.

Barang sedetikpun dia sulit mendongak lagi untuk menatap wajah Hamzah. Sehingga, menyisakan keheningan di antara mereka, yang mungkin saja, tengah merasakan dua takdir berbeda dalam satu rasa yang sama. Sakit karena cinta.

Tidak lama kemudian, hampir satu jam dalam keheningan tadi, Hanifa menghela napas berat berbarengan dengan usapan kasar pada wajah yang dialiri air mata. Dia memungut barang belanjaan yang berserakan di jalan, lalu pergi dari sana tanpa menatap Hamzah dan Daffi.

"Astaghfirullah," desis Hamzah sambil mengela ringan. Apa benar dia ingin egois? Keputusannya terlalu tiba-tiba. Namun, dia enggan untuk menyesalinya.

"Zah, gue-"

"Gue paham, Fi. Nggak perlu ngerasa bersalah." Hamzah tersenyum samar sambil menunduk dalam. "Cepat atau lambat emang bakal gini akhirnya. Tapi andai rasa ini nggak pernah ada ..."

Hamzah lalu menutup mata berbarengan dengan sesak yang menghujam dada. Berbeda dengan Daffi yang hanya mampu menatap penuh rasa bersalah. Ya, apalagi jika bukan mengingat tindakan konyolnya beberapa saat lalu, sebelum Hanifa ada di sana.

"Zah! Berhenti gue mau bicara!"

Teriakan dari Daffi membuat langkah Hamzah spontan berhenti. Dia membalikkan badan menatap cowok itu.

"Kenapa?"

Daffi tak lantas menjawab, dia menunduk sesaat menetralkan deru napas yang memburu akibat berlari mengejar Hamzah saat sejak di depan penjual nasi goreng tadi.

Waktu, dan TakdirWhere stories live. Discover now