20. Doa yang Sama

31 3 0
                                    

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif. Jika terjadi kesamaan itu adalah kebetulan semata, tidak ada unsur kesengajaan."

©Story of 'Waktu dan Takdir' by @IraKarrella

.
.
.
.
.

.

***

"Ini, Bang. Dimakan. Kata Bunda, Abang dari pagi belum makan juga, kan?"

Zaina menaruh bekal makan yang dibawanya dari rumah di meja samping ranjang pesakitan Zahdan. Sebenarnya makanan sudah tersedia dari pihak rumah sakit. Namun, Zahdan tidak pernah memakannya. Saida menebak jika Zahdan mungkin lebih familiar dan suka terhadap masakan rumah, itu mengapa ia memasak dan menyuruh Zaina membawanya hari ini.

Lama tidak menerima tanggapan. Bahkan! Wajah Zahdan masih terus menatap ke luar jendela. Entah pemandangan apa yang begitu menarik dari sana sehingga hampir satu Minggu Zahdan betah untuk tak menatap objek lain selain jendela itu.

"Bang? Abang dengar Zaina, kan? Makan nih. Bunda udah cape masak," ucap Zaina lagi. Merasa lelah karena memang Zahdan juga tidak pernah meresponnya sama sekali.

Jika direspon pun lelaki itu hanya mampu mengucapkan kata singkat. Sekedar 'iya' atau 'hm'.

Zaina mulai menduga-duga. Apa Zahdan marah atas perkataannya tempo hari? Pada masa di mana situasi perihal hubungan dengan Hanifa menjadi renggang, tidak menemui titik baik hingga sekarang.

"Abang!" Lagi, Zaina memanggil. Kali ini dengan intonasi suara yang mulai meninggi. "Abang itu kenapa sih? Zaina malas seolah bicara sama patung setiap hari! Abang marah, ya? Jangan kayak gini dong. Cape tau gak!"

Mata Zaina mulai berkaca-kaca. Secara perlahan, Zahdan mengalihkan perhatian untuk menatap Zaina. Namun, lagi dan lagi bibir lelaki itu tidak terbuka untuk mengucap satu kata pun. Ia hanya menatap Zaina, tidak dapat diartikan apa makna dari tatapan itu.

"Bang?" panggil Zaina berputus asa, bulir air mata yang tadi menggenang di pelupuk, perlahan turun. "Zaina tau Abang sakit. Sakit yang gak terlihat. Tapi ini semua juga salah Abang, kan? Abang yang minta dia menjauh, terus kenapa? Abang nyesel, hah? Bilang!"

Zaina langsung menghapus kasar air matanya. Berpikir kenapa harus seperti ini? Andai takdir itu tidak terjadi apa semua akan baik-baik saja?

Zaina tidak pernah menyalahkan takdir, dia selalu berusaha menerima apapun yang mau Allah berikan padanya dan hidupnya. Namun, masalah ini terkadang membuat ia lelah berperang dengan dirinya, yang selalu mencoba mengatakan semua akan baik-baik saja.

Aku selalu bilang, selalu mencoba menjadi motivasi semua orang. Harus ikhlas! Tapi, kenapa sekarang seolah berpaling dari kata-kataku sendiri? Zaina membatin dalam tangisnya.

Waktu, dan TakdirUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum