"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif. Jika terjadi kesamaan itu adalah kebetulan semata, tidak ada unsur kesengajaan."
©Story of 'Waktu dan Takdir' by @IraKarrella
.
.
.
.
..
Setiap kebahagiaan, terkadang juga harus dimulai dan diakhiri dengan kesedihan.
***
Hanifa keluar kamar saat menyadari jika kedua orang tuanya telah pergi untuk bekerja, ia sudah siap sedari tadi. Namun, kebiasaanya enggan untuk menyapa kedua orang tuanya sebelum berangkat. Hal ini sudah Hanifa lakukan selama lima tahun bepakangan. Lagipula, orang tuanya juga tak perduli.
"Eh, Nak. Udah siap? Hari ini mau makan apa?" Suara seorang perempuan mengalihkan atensi Hanifa, dia menoleh, menatap perempuan setengah baya yang tak lain adalah asisten rumah tangga keluarganya.
"Yang kayak kemarin aja, Bu. Hanifa juga lagi buru-buru," jawab Hanifa dan segera duduk di kursi meja makan. Tempat khusus yang berada di pinggiran,berdekatan dengan jendela yang menghadapkan dia langsung pada luar rumah.
"Yasudah, sebentar, ya." Ati tersenyum dan melenggang pergi dari sana menuju kompor, bergulat dengan seperangkat alat masak sedang Hanifa menunggu dengan sabar. Sesekali, dia memperhatikan Ati—asisten rumah tangganya.
Ati itu sudah seperti ibu kedua bagi Hanifa. Ati yang selalu mengurus keperluan Hanifa ketika ibunya sendiri tak perduli tentang itu. Bahkan, Ati kerap kerepotan mengantar dia kuliah hanya karena tidak ingin jika sesuatu yang buruk terjadi padanya.
"Nak Hanifa?"
Pamggilan Ati membuat Hanifa tersadar dari lamunan, dia mengerjab sesaat. "Iya, Bu?"
"Kamu ndak ada niat sapa Ibu dan Ayahmu dulu, Nak? Selalu seperti ini, padahal minta doa mereka kan ndak salah," sahut Ati dengan medok jawa khasnya.
Hanifa menatapnya dan tersenyum kecut. "Aku gak mau ganggu mereka, Bu."
Hanya kata itu yang selalu Hanifa ucapkan, sungguh ia tak menyukai harus bersikap seperti ini. Ia pun ingin kehidupan normal layaknya orang-orang.
"Ndak ada orang tua yang kerepotan dengan hal kayak gitu." Ati berjalan ke arah Hanifa, menyiapkan sarapan untuk anak majikannya itu. Sementara, Hanifa hanya menghela dan diam sembaru menunggu sarapannya selesai dihidangkan.
"Gih makan, Nak. Habis itu berangkat," cetus Ati saat sarapan Hanifa telah benar-benar tertata rapi di meja.
"Ibu mau kemana? Temenin Nifa makan aja, ya, Bu?" pinta Hanifa saat menyadari Ati akan kembali ke dapur. Perempuan itu menoleh dan tersenyum.
YOU ARE READING
Waktu, dan Takdir
SpiritualApa mungkin waktu dapat mengubah takdir? Pertanyaan itu seakan selalu membayangi kita... Kita yang menginginkan bahagia, kita yang masih ingin bersama, tetapi kita, saat ini tidak lagi berarti apa-apa. Jika semua ini sudah berkaitan dengan ingin-Nya...