18. Terasa Hambar

30 5 0
                                    

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif. Jika terjadi kesamaan itu adalah kebetulan semata, tidak ada unsur kesengajaan."

©Story of 'Waktu dan Takdir' by @IraKarrella

.
.
.
.
.

.

***

Keheningan menyelimuti terlalu dalam ruang hati Hanifa, terlalu munafik untuk kini mengatakan dia baik-baik saja, terlalu lelah untuk keluar menatap kembali dunia yang berwarna.

Dengan berlutut di samping ranjang miliknya dengan rambut yang basah, tidak tertutupi hijab sama sekali, karena merasa memang tidak ada orang lain selain dia di sini. Ia sibuk menatap ke luar jendela kamar sejak dua jam lalu, pada langit biru yang bersinar cerah bersama awan putih yang berkeliaran bebas di atas sana.

Sesekali, angin masuk melalui celah jendela dan ventilasi udara, membuat suasana di kamar miliknya sejuk walau pendingin ruangan tidak menyala. Angin itu telah beberapa kali lancang menyapu area wajah Hanifa yang murung, pada mata sembab bershiaskan kantung hitam di area bawah. Lagi dan lagi tetap setia dengan pertanyaan yang sama di otaknya ...

'Allah, kenapa semakin hari malah semakin terluka? Titik untuk sembuh dan baik-baik saja itu kemana?'

"Kenapa nggak mau hilang!" ucap Hanifa penuh penekanan, beriringan dengan matanya yang kembali berembun. Dia lalu menunduk memperhatikan buku dengan tulisan tangan miliknya di sana. Sesuatu yang tadi dia lakukan untuk mengeluarkan sedikit sesak di hatinya.

Hari itu aku sadar, bahwa sudah tidak ada lagi yang benar-benar sama...

Begitu berbeda, begitu semu, begitu hampa, begitu terasa kesepian.

Dan sungguh, itu sedikit menyakitkan...

Sejak saat itu aku mencoba mencari jawaban atas pertanyaan; apa yang sudah kulakukan?

Apa semua adalah permainan 'takdir' semesta atau dari aku yang selalu gagal memahami rencana-Nya?

Apapun itu, hanya saja ... sungguh, benar-benar sungguh! Ini melelahkan. Biarkan aku beristirahat, sebentar saja.

Kalimat penutup yang menurut Hanifa terlalu sakit. Namun, sangat berharap akan menjadi nyata.

"Kamu terlalu banyak mengubah, Bang. Terlalu banyak menorehkan luka yang aku sendiri nggak paham gimana cara untuk menyembuhkan." Hanifa mengusap kasar air mata menggunakan kedua punggung tangannya. "Dan ya! Luka itu juga nggak cuma berasal dari kamu, tapi kamu masih menjadi penyebabnya," lanjutnya, semakin sakit ketika harus memikirkan ulang pembicaraan dengan Fajar pagi tadi. Saat Ayahnya itu akan kembali ke luar negeri.

Waktu, dan TakdirWhere stories live. Discover now