"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif. Jika terjadi kesamaan itu adalah kebetulan semata, tidak ada unsur kesengajaan."
©Story of 'Waktu dan Takdir' by @IraKarrella
.
.
.
.
..
Tetap di sini, dan selalu ingat Allah jika kamu merasa takut. Percayalah, semua akan baik-baik saja.
***
Hanifa menghela saat sempurna merasakan nyamannya kasur miliknya. Dia menutup mata sejenak, mencoba menentralisir rasa yang tiba-tiba menyerang hati. Ketika merasa cukup tenang, Hanifa kembali membuka mata, menatap langit-langit kamarnya.
"Apa keterlaluan?" gumam Hanifa, pikirannya berkelana pada percakapan dengan Fajar. Pada ucapannya yang kini disesali.
"Tapi apa juga salah? Itu memang kenyataan, kan? Ayah ..." Hanifa menggigit bibir bawahnya, setetes air kemudian turun di pipi kiri.
Inilah dia, yang selalu menyesal di akhir pada setiap apa yang dilakukan. Yang selalu terburu-buru dalam berucap hingga tidak sadar, mungkin dia telah menyakiti hati seseorang.
Tetapi tidak! Tidak saja mungkin, dia memang telah menyakiti hati seseorang. Yaitu hati Dian dan Fajar.
Sama sekali Hanifa tidak bisa menutupi itu...
Tok! Tok! Tok!
"Hanifa, ini Bunda, Nak. Bisa masuk sebentar?"
Suara Dian dari balik pintu membuat Hanifa langsung menghapus paksa air mata yang jatuh. Dia membenarkan posisi tidur, menarik selimut dan kemudian berpura-pura tidur di sana.
Sekian lama. Tidak ada tanda-tanda pintu diketuk lagi. Namun, ada suara derap langkah yang mendekat, membuat Hanifa semakin mengeratkan tutupan matanya.
"Hanifa, kamu ... tidur?" Suara Dian kembali membelai pendengaran. Hanifa juga merasakan kasur di bagian sampingnya terisi yang menandakan jika Dian telah terduduk di sana.
"Nak, Bunda minta maaf," ucap Dian, masih tidak lelah berbicara, membuat Hanifa yang berada di balik selimut mati-matian menahan air matanya, entah sebab apa.
Terlebih. Saat tangan Dian dengan lembut menyentuh bagian lengan kirinya, mengusapnya dengan penuh kasih sayang.
Oh Tuhan! Hanifa merasa jahat. Merasa jahat pada Dian, pada Fajar, dan pada diri sendiri.
"Nak, Bunda ..." Suara Dian kali ini tercekat. "Bunda tau kemarahan kamu, kekecewaan kamu pada keadaan, beban yang kamu pikul sendirian. Bunda tau, Nak. Dan tidak ada larangan untuk itu. Tapi ..."
YOU ARE READING
Waktu, dan Takdir
SpiritualApa mungkin waktu dapat mengubah takdir? Pertanyaan itu seakan selalu membayangi kita... Kita yang menginginkan bahagia, kita yang masih ingin bersama, tetapi kita, saat ini tidak lagi berarti apa-apa. Jika semua ini sudah berkaitan dengan ingin-Nya...