7.Tidak Tergapai

60 18 25
                                    

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif. Jika terjadi kesamaan itu adalah kebetulan semata, tidak ada unsur kesengajaan."

©Story of 'Waktu dan Takdir' by @IraKarrella

.
.
.
.
.

.

***

"Hei, ngapain di sini?!"

Hamzah seketika menoleh ke belakang, sedikit terkejut dengan seseorang yang meneriaki serta menepuk bahunya. Namun, baru ingin memprotes, mulutnya tertutup kala yang ditemuinya adalah seorang pria berpakaian serba hitam yma notabene adalah penjaga rumah keluarga Fajar.

"Kenapa diam? Kamu mau apa di sini?" Lagi, pria itu bersuara, Hamzah mengerjap.

"Oh saya ... tadinya mau lewat, tapi saya liat ..." Hamzah menggantungkan ucapan, melirik pada mobil.yanh sudah tidak nampak di indera penglihatan. "Ada mobil yang baru keluar dari rumah Om Fajar."

Pria tadi mengangguk-anggukan kepala. "Oh, mereka itu rombongan keluarga yang tadi datang untuk melamar," ucapnya, membuat Hamzah membatu seketika.

Melamar?

Tidak mungkin Hanifa, bukan? Kedua orang tuanya tidak ada di rumah, dan Hamzah sedikit tidak mempercayai jika saja lamaran itu diwakilkan pada orang-orang suruhan Fajar, termasuk Ati—asisten rumah tangga di sana.

Sekian lama terdiam, Hamzah meneguk ludah. "Em siapa yang lamaran, Pak, maksudnya?" tanyanya hati-hati, dia sebenarnya tidak terlalu akrab dengan pria di hadapannya karena pria itu baru beberapa minggu lalu berkerja untuk Fajar.

Hamzah saja mengetahui jika pria itu ternyata adalah penjaga baru di sana karena Hanifa yang bercerita.

"Ya Nona Hanifa, siapa lagi? Dan memangnya kenapa? Kamu ada urusan, ya, sampai harus berdiri seperti patung di sini?"

Jawaban yang sedikit tidak mengenakan memang. Namun, tenang saja, ini bukan kali pertama.

"Em nggak ada, saya cuma kebetulan lewat," beritahu Hamzah lekas. "Baiklah, Pak. Kalau begitu saya izin pergi dulu. Maaf sudah berdiri di sini."

Pria tadi menganggukan kepala. "Iya, nggak jadi masalah. Kamu boleh pulang, berhubung memang sudah hampir malam, nanti banyak yang ngira kamu manusia jadi-jadian berdiri di depan rumah orang senja-senja seperti ini."

Hamzah tertawa pelan. Entah harus tersinggung atau bagaimana.

"Iya, Pak. Saya duluan. Mari..."

Hamzah berlalu melewati rumah keluarga Fajar, sesekali melirik ke sana. Pada jendela lantai dua rumah itu, yang notabene adalah jendela kamar milik Hanifa.

Saat sudah setengah perjalan, kaki Hamzah kembali berhenti untuk melangkah. Dia menghembuskan napas cukup berat, apalagi jika bukan karena memikirkan bahwa Hanifa telah menjadi tujuan akhir dari seseorang.

Waktu, dan Takdirحيث تعيش القصص. اكتشف الآن