12. Ingin Dimengerti

45 13 19
                                    

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif. Jika terjadi kesamaan itu adalah kebetulan semata, tidak ada unsur kesengajaan."

©Story of 'Waktu dan Takdir' by @IraKarrella

.
.
.
.
.

.

🍀🍀🍀

****

Hanifa terdiam dengan tatapan kosong di taman rumah sakit, sendiri. Tidak ada siapapun di sana.

Angin malam yang berhembus kencang dan dengan langit yang mulai menghitam ditutupi awan, bersiap menurunkan hujan yang seakan ikut merasakan kesedihannya.

Dalam hati, Hanifa tak henti bertanya tanpa suara pada semesta; kenapa? Semua takdir menyakitkan ini tidak juga pergi, tidak meninggalkan dia yang kini seakan mulai berputus asa. Membenci takdir.

"Hanifa?" Zaina yang tiba-tiba telah berada di sampingnya memangil. Membuat Hanifa hanya melirik dengan sekilas, enggan membalas panggilan itu.

"Kenapa duduk di sini? Kita semua nyariin tau." Lagi, Zaina bersuara. Namun, kali ini perempuan itu terduduk sempurna di sebelah Hanifa. Ikut menatap objek yang Hanifa tatap. Langit.

"Za, kok kamu bisa setenang ini, sih? Seolah gak ada apa pun yang terjadi. Jujur, aku iri ..."

Perkataan Hanifa barusan membuat Zaina terdiam sejenak.

"Aku juga gak ingin larut dalam rasa takutku, rasa gak mauku perihal kehilangan. Tapi gak bisa, Za. Susah, beneran susah," sambung Hanifa dengan mata berkaca-kaca. Namun, justru dibalas senyum oleh Zaina.

"Han, bohong kalau aku nggak sedih atas takdir yang aku jalani saat ini, nggak pengin nangis untuk apa-apa yang Allah berikan," ucap Zaina setelah puas terdiam, mengundang atensi Hanifa. "Tapi, aku juga tau, kalau Bang Zahdan itu milik Allah, sama kayak Kak Aby. Mereka berdua titipan terindah dari-Nya, titipan yang memang gak akan selamanya. Sama kayak aku..."

Zaina tertunduk, menatap jari manis yang tersemat cincin pernikahannya dengan Abyaz di sana. "Kamu tau? Aku pernah di posisi kamu, posisi di mana semua ketakutan perihal kehilangan itu mengusik setiap jam, menit, dan detik yang aku jalani. Tapi!" Dia menggeleng lemah. "Setelahnya aku paham, kalau apa yang aku lakukan itu berlebihan. Bukan kesalahan, tapi sedikit berlebihan..."

Hanifa tak menyela pembicaraan sedikitpun. Fokus pada Zaina yang kini tersenyum tipis, penuh arti mendalam di matanya.

"Gak ada yang mau kehilangan di dunia ini, Fa. Semua dari kita sama, ingin apa yang dicintai itu tetap ada, tetap bernapas dan berpijak di bumi yang sama. Tapi, yang nulis takdir hidup juga punya keinginan, kan?" Zaina menjeda untuk kembali menatap Hanifa.

Waktu, dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang