Bagian 42 Pirat Menghilang

384 30 9
                                    

Assalamu'alaikum.

Dari judul bab, kira-kira isinya apa ya???

Jangan lupa follow aku dulu ya hehe

Vote dan komen jangan lupa

Follow ig @windiisnn_ @windisworld_story

Tiktok @windiisnaeni21









Bagian 42 Pirat Menghilang

Sekalipun kamu merasa kalau dirimu tidak diharapkan kehadirannya, kamu harus tetap berdiri tegak untuk membela dirimu sendiri

––Pirat


Seolah setiap perkataan Eyang Hardian merupakan sebuah ultimatum yang berupa kewajiban dan peraturan, tak selang berapa hari setelah Adhisti mengutarakan keinginannya untuk pergi ke Surabaya, Eyang Hardian memerintahkan cucu perempuannya itu untuk datang ke kota metropolitan terbesar kedua setelah ibukota, dan harus segera menemui putra dari seorang pengusaha semen.

Pirat atau pun Syaron tak tahu lagi bagaimana kelanjutannya mengenai Adhisti di sana. Tapi mereka diam-diam berdoa untuk kebaikan saudara sepupunya itu.

“Pirat.”

Perempuan yang namanya dipanggil itu mendongak, Sahil berdiri di ambang pintu, laki-laki itu masuk ke ruangan Pirat. Tak dapat wanita itu sembunyikan raut bahagianya melihat teman sekaligus rekan kerjanya itu sudah datang ke restoran lagi setelah satu minggu meminta izin dan menghilang.

Pirat berdiri memutari meja, setelah meletakkan beberapa kertas yang sedang dia isi dengan beberapa konsep menu baru untuk restorannya. Kini dia berhadapan dengan Sahil, “Aku lega melihat kamu di restoran setelah satu minggu izin,” Pirat tersenyum tulus.

Sahil ikut tersenyum, “Jadi, aku masih diharapkan kehadirannya bagi orang lain …,” gumamnya pelan.

“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Pirat tak suka, “jadi jadi manusia kufur, Sahil.”

“Eh, kamu dengar?”

Pirat mengedik, “Maaf kalau aku lancang. Sekalipun kamu merasa kalau dirimu tidak diharapkan kehadirannya, kamu harus tetap berdiri tegak untuk membela dirimu sendiri. Tapi kenapa mendadak kamu bicara begitu? Kamu orang baik, Sahil, kehadiranmu menjadi suatu kebahagiaan untuk sebagian orang. Termasuk aku juga.”

Sahil menunduk lesu, “Apa aku harus menggadaikan hidupku untuk membahagiakan orang tuaku, Pirat? Orang tua cenderung menuntut anaknya untuk sukses, menuntut anak-anaknya untuk menuruti keinginan mereka, harus jadi ini hraus jadi itu, harus sama dia, hraus sama yang begini dan begitu.”

Pirat setia mendengarkan.

“Aku pernah bilang kalau aku tunangan dan akan menikah dengan peremuan yang mereka jodohkan. Janet orangnya. Anak training di sini. Sekarang dia sudah keluar, kan?” Sahil tertawa miris.

Pirat sudah tahu, dan dia tidak terkejut mendengarnya.

“Kamu tidak kaget mendengarnya?” Sahil mengernyit.

“Aku sudah tahu, Sahil. Maaf, aku tidak sengaja mendengar kalian bertengar dan menyebut namaku, tapi hanya sebatas itu. Maaf sudah lancang.”

Sahil mengangguk, kemudian diam, pikirannya sedang kacau dan semerawut bagai benang kusut.

“Lalu sekarang bagaimana dengan kalian?” tanya Pirat hati-hati.

Sahil kembali tertawa miris dan getir, kemudian dari dalam saku jaket denimnya, laki-laki itu mengeluarkan sebuah undangan, “Aku akan tetap menikahinya. Orang tuaku akhirnya memaksa. Dan, tidak ada hal yang menjadi alasan untuk aku menolak, karena mencintai istri orang lain adalah alasan yang tidak masuk akal dan terdengar gila,” kekehan getir kembali terdengar di akhir kalimatnya.

Ketika Kita Bertemu Lagi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang