Bagian 34 Wanita Lain

Mulai dari awal
                                    

Eyang Hardian kembali tersenyum meremehkan, “Kalau begitu, beri aku cicit dalam waktu 11 bulan.” Eyang Hardian menantang.

Syaron bergeming untuk beberapa saat, pikirannya mendadak mengalami kebuntuan. Banyak pertanyaan bermunculan di kepalanya. Tetapi yang utama yakni, sebagai orang yang menentang pernikahannya dengan Pirat, kenapa mendadak Eyang Hardian menginginkan hal yang begitu penting untuk kelangsungan pernikahan mereka?

Syaron menghela napas pelan. Sesungguhnya, laki-laki itu tidak dapat menebak rencana Eyang Hardian. Sebab menurutnya, sangat tidak mungkin bagi pria tua yang teguh pendirian dan keras kepala itu mendadak berubah pikiran hanya dalam satu hari.

“Tidak setiap usaha akan langsung berbuah hasil, begitu juga perkara anak. Seharusnya Eyang lebih tahu itu.” Syaron bicara lebih santai dan tenang. 

“Memangnya selama ini kamu berusaha?” tanya Eyang Hardian semakin meremehkan Syaron, jelas sang cucu tidak terima akan hal itu. Karena sesungguhnya memang Syaron dan Pirat tidak pernah mengusahakannya selama ini. Yang masih menjadi fokus Syaron adalah membuat Pirat benar-benar kembali menerima Syaron di hidupnya.

“Kenapa mendadak Eyang meminta hal seperti ini?” Syaron memicingkan matanya curiga, “sebelumnya, Eyang adalah orang yang paling menentang keras pernikahanku dengan Pirat.”

Eyang Hardian mengedikkan bahunya, “Jadi kamu tidak bisa?”

Syaron diam cukup lama, matanya kembali menilik netra sang kakek, “Apa kalau aku beri Eyang cicit dalam waktu sebelas bulan, Eyang akan berhenti mencari wanita lain untukku dan akan berhenti mengusik Pirat?” tanya Syaron dengan tatapan menyorot tajam, terlihat sangat serius.

Eyang Hardian kembali mengedikkan bahu sebagai jawaban.

“Eyang mau berjanji?” Syaron memastikan.

Dihelanya napas berat, Eyang Hardian berdecak sebelum mengangguk sebagai jawaban bahwa beliau memberikan kesepakatan.

“Oke, aku turuti kemauan Eyang. Tapi harus ada hitam di atas putih.” Yang terpenting sekarang, Syaron membuat eyangnya tidak mengusik dia dan Pirat lagi. Syaron menyetujuinya, masalah dengan persetujuan Pirat, laki-laki itu akan memikirkan caranya nanti. Syaron mati-matian memperjuangkan Pirat dan mempertahankan rumah tangganya. Dan Syaron ingin Pirat menyadari itu.

Eyang Hardian tersenyum, menertawakan ucapan Syaron, “Sepertinya kamu senang sekali menggunakan ‘hitam di atas putih’.” 

Syaron mengernyit, tapi lelaki itu mengesampingkan kebingungannya, “Bukannya itu lebih menjamin hak-hakku?”

Eyang Hardian mengedikkan bahu, kemudian berlalu dari hadapan Syaron untuk mendudukkan dirinya di sofa yang ada di kamar itu.

***

Pirat berdeham, “Kamu tidak salat?” 

Syaron menoleh ketika Pirat berdiri di depannya dengan mata memicing. “Kamu belum menyerahkan seluruh hidupmu padaku, Pirat.”

“Jadi kamu tidak sungguh-sungguh?” Pirat balik bertanya.

“Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku, Bee.”

Helaan napas terdengar dari hidung Pirat. “Bukannya untuk mendapatkan sebuah hasil, kamu harus berusaha menyelesaikan tugas-tugas terlebih dahulu?”

Syaron menaikkan alisnya, benar juga. Hal ini juga jadi kesempatan untuk merealisasikan tantangan Eyang Hardian. Sejujurnya, laki-laki itu belum menemukan cara untuk membuat kesepakatan dengan sang istri agar mewujudkan tantangan Eyang Hardian. Karena sejujurnya, Syaron sendiri merasa, perkara anak bukanlah hal yang mudah. Ditambah, hubungannya dengan Pirat yang belum sepenuhnya normal. Terlalu banyak kesepakatan di dalamnya, Syaron menyadari hal itu. Padahal dia sendiri tahu, bahwa dalam pernikahan, yang ada hanyalah memberi tanpa pamrih, mencintai tanpa menuntut banyak imbalan.

“Berapa lama untuk aku menunaikan tugas-tugasku hingga kamu mau membuka diri untukku, Pirat?”

Perempuan itu terdiam untuk beberapa saat mendengar jawaban Syaron.

“Sampai aku merasa bahwa kamu sungguh-sungguh melakukan tugas-tugasmu. Terutama tugas dalam memenuhi kewajibanmu kepada Allah.”

Syaron mengetuh-ketukkan pena yang ada di tangannya ke meja. “Sebenarnya, tujuanmu menikah denganku itu untuk sertifikat tanah, kan, Pirat?”

“Ya,” anggaplah begitu, lanjutnya dalam hati. Aku ingin menarikmu dari lubang nista yang menahanmu.

“Seharusnya kamu tidak perlu pikir panjang ketika aku menginginkan untuk menggaulimu. Karena kamu sama nilainya dengan sebidang tanah.” 

Syaron dapat melihat mata istrinya berkaca-kaca setelah ucapan yang dia lontarkan.

Mulut sialan! Kenapa yang keluar malah kalimat pedas seperti ini? Seharusnya Syaron membujuk wanita itu agar mau membuka diri secara suka rela, bukan malah Syaron beri tekanan seperti tadi. Terlanjur kecemplung, biar dia menyelam sekalian. “Kalau aku menginginkanmu malam ini dan kamu menurutinya, akan aku buatkan kamu sertifikat tanah secepatnya.”

Pirat merasa semakin hina dan tak punya harga diri. Kedua tangannya mengepal kuat. Perempuan itu memalingkan wajah untuk menutupi matanya yang semakin memerah dan menampung segumpal air mata. Dia menahannya mati-matian, namun tetap luruh juga. Dadanya sungguh sesak bukan main. Syaron benar-benar hanya menganggap Pirat seharga dengan sebidang tanah. Wajahnya kembali menatap Syaron disertai senyuman paksanya. Dan Syaron menyadari itu. Pirat terpaksa dan Pirat menangis karenanya.

Dadanya ikut sesak. Haruskah dia melajutkannya? Diam-diam Syaron menangis berlumuran darah.

“Baik. Kita akan melakukannya setelah salat isya. Kamu juga salat.”

Usai mendengar jawaban Pirat, bukannya senang, Syaron malah merasa hatinya sekarat. Dia mengakui bahwa dirinya sangat keterlaluan. Dan sekali lagi dia membatin, bertanya dalam hatinya, haruskah dia melanjutkannya?

“Kamu serius? Tidak akan menyesalinya?” Syaron skeptis.

“Bukankah itu yang kamu inginkan?”

“Apa?”

“Membuatku menyesal.”

Syaron diam. Matanya mengerjap beberapa kali. Membuat Pirat menyesal? Itu sama sekali tidak benar. Bukan itu yang Syaron inginkan. Dua pasang mata yang saling memandang itu sama-sama merah, mereka merasakan sesak yang sama.

Padahal, sebelumnya Pirat sudah mulai ingin membuka diri secara suka rela. Meskipun logikanya terus saja menolak, akan tetapi hatinya telah mengakui bahwa dia telah kembali meraskan derbaran yang kian menggila jika di dekat Syaron. Yang pada dasarnya, debaran itu tak pernah hilang, Pirat saja yang enggan mengakuinya dan menolak keras untuk menyadarinya.

Pirat menelan ludahnya dengan susah payah, efek hidungnya mendadak mampet karena manangis. Ditambah lagi dadanya ikut sesak karena perkataan Syaron. Sesungguhnya, yang paling menyiksa mereka berdua adalah ego dan rasa cinta itu sendiri. Syaron dengan cintanya yang menggebu, dan Pirat yang terus mempertahankan idealismenya.

Terlalu sukar untuk menghentikan dan membunuh rasa cinta, sebab cinta tak mungkin berhenti secepat saat kita jatuh hati.

Pirat menatap Syaron dengan serius, “Aku mungkin menyesal, tapi kamu akan lebih menyesalinya.”

***

Kira-kira Syaron bisa menangin tantangan eyangnya buat kasih cucu dalam 11 bulan? 😂

Btw, kalau cerita ini dibukukan, adakah dari kalian yang berminat?

Ketika Kita Bertemu Lagi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang