Bagian 29 Eyang VS Syaron

Começar do início
                                    

“Kamu butuh sesuatu?”

“Enggak. Sudah hampir selesai.”

Syaron menunggu hingga Pirat keluar.

“Kok kamu masih di sini?” tanya Pirat.

“Kan nungguin kamu.”

“Memangnya tidak ada jam pelajaran?”

“Ada.”

Pirat berdecak, “Jangan dibiasakan bolos."

“Kalau bolosnya sama kamu enggak masalah. Bolos yuk?” ajaknya ngawur.

“Ngawur. Kalau mau jadi anak nakal jangan ngajak-ngajak. Dewek’an.”

Mereka berjalan menuju pintu keluar toilet, dan begitu terkejutnya mereka mendapati ada Pak Joko di depan pintu sedang menunggu. Wajahnya menampakkan raut terkejut karena melihat dua murid berlawan jenis di sekolahnya baru saja keluar dari toilet yang sama.

“Habis ngapain kalian?!”

Syaron dan Pirat gelagapan, mendadak gagap. “Pak, Pak Joko, saya bisa jelasin, Pak,” kata Syaron penuh harap, berharap sang guru tidak salah paham. Namun, dilihat dari raut wajahnya saja sudah sangat kentara bahwa guru itu jelas salah paham.

Masa kini …

Pirat ingat betul, kejadian sepuluh tahun yang lalu, ketika dia dan Syaron diseret ke guru konseling dan nyaris dibawa ke penghulu karena sikap hiperbola Pak Joko kala itu. Dan kini realitanya memang Pirat dan Syaron sudah dibawa ke hadapan penghulu.

Lamunan Pirat teralihkan dengan pergerakan Syaron di tempat tidur. Laki-laki itu sudah bangun sejak beberapa waktu yang lalu dan kembali tidur karena kepalanya pusing. Kondisinya memang tidak terlalu parah, namun tangan kanannya harus digips karena tulang lengannya retak akibat dari benturan keras di aspal.

Kronologinya, Syaron tertabrak mobil saat menyeberang jalan. Mobil yang menabraknya berhenti dengan sangat mendadak, mengakibatkan Syaron melayang ke kap mobil dan jatuh dengan keras ke aspal. Lengan kanannya digunakan untuk melindungi kepala, sehingga membuat lengannya terluka, tulang lengannya bergeser dan retak. Kecelakaan itu membuat Syaron syok dan tidak sadarkan diri.

“Kamu butuh sesuatu?” tanya Pirat. Perempuan itu duduk siaga di dekat ranjang rumah sakit.

“Aku butuh kamu,” ucapnya dengan gumaman pelan, wajahnya terlihat menyedihkan, nmuan di satu sisi benar-benar menyebalkan bagi Pirat.

Berkat gumanan Syaron barusan, Pirat tidak bersuara lagi. Ketika Syaron meminta diambilkan minum, perempuan itu akan mengambilkannya dalam diam. Ketika Syaron ingin duduk bersender, Pirat membantunya dengan bungkam. Hal tersebut membuat Syaron kesal. Dia sakit saja, Pirat masih bersikap dingin dan kaku.

“Waktu aku tertabrak mobil, kamu takut, Pirat?” tanya Syaron pada akhirnya, dia ingin mengobrol dengan istrinya. Sudah suami-istri saja gadis itu masih membawa suasana yang sama seperti saat mereka belum menikah.

Pirat tidak menjawab pertanyaan Syaron, dia masih betah dalam kebungkamannya.

“Kata Panji, kamu nangis-nangis waktu aku tidak sadarkan diri?”

Pirat masih diam, dia sibuk dengan majalah yang ada di meja. Kini, posisinya sudah tidak lagi duduk di dekat Syaron, akan tetapi berpindah ke sofa.

“Bicaralah, Bee. Aku merindukan suaramu.”

“Cukup panggil aku Pirat,” pada akhirnya perempuan itu bersuara.

Dan sesuai dugaan Syaron, jika mau membuat Pirat ngomong, maka membuat gadis itu kesal adalah jalan ninjanya.

“Bee.”

Pirat diam lagi.

“Kamu tahu kenapa aku nekat mengancam kamu buat menikah denganku?”

“Karena kamu orang yang kejam dan egois.”

“Cinta itu seperti investasi. Ada risiko dan harga yang harus dibayar.”

Pirat menoleh, menatap Syaron dengan tatapan dalam. Begitu juga sebaliknya, Syaron menatap kelamnya netra Pirat yang mampu menghanyutkannya.

Tiba-tiba pintu kamar rawat inap terbuka, menghadirkan Nyonya Atri yang datang dengan Eyang Hardian dan Panji mengikuti di belakang.

“Gusti, kamu endak papa, Nak?! Kamu sudah sadar?! Ibu bisa bernapas lega … gimana to, kok bisa ketabrak mobil? Mana saja yang sakit? Kasih tahu Ibu!”

Kedatangan Nyonya Atri langsung menyerbu Syaron, memindai tubuh anak semata wayangnya untuk mencari setiap bagian tubuhnya yang terluka. “Kok sampa digips juga?” 

“Syaron enggak papa, Bu. Tangannya ini cuma retak dikit. Dokternya aja lebay, masa kayak begini harus di-gips,” Syaron menenangkan sang ibu.

Ucapan Syaron membuat Pirat menyipit dan memandangnya dengan tatapan meremehkan.

Nyonya Atri menangis karena saking khawatirnya.

“Jangan sedih, aku baik-baik saja, Bu,” Syaron menenangkan, “cukup Pirat saja yang nangis, Ibu jangan.”

Pirat menyipitkan matanya tidak terima dengan ucapan Syaron, meskipun memang benar dia menangisi Syaron. Nyonya Atri menoleh, melirik Pirat disertai senyum tipis.

Eyang Hardian yang sejak tadi berdiri diam dengan tongkatnya di samping Panji, mendekati ranjang. “Seharusnya kamu lebih berhati-hati!” ucapan Eyang Hardian memang terdengar keras dan penuh perintah, namun itu merupakan bentuk kekhawatirannya.

Syaron yang tadinya menampilkan wajah guyon, berubah seketika menjadi lebih datar dan berwibawa di tengah rasa sakit pada tubuhnya. Syaron kesal dengan eyangnya.

“Aku sehat.” Syaron berkata datar, berdeham untuk menetralkan rasa kesalnya.

Eyang Hardian beralih menatap Pirat, “Baru dua hari menikah sudah terluka, kalau memang kamu tidak bisa menjaga suamimu dengan baik, bilang saja! Aku bisa mencarikan istri yang lebih berdedikasi dalam merawat dan menjaga suaminya, bukan cuma bisanya keluyuran sampai lupa ngurus suami,” Eyang Hardian berucap dengan datar dan penuh teguran kepada perempuan itu.

Panji yang merasa tidak enak, memilih untuk keluar ruangan. Nyonya Atri yang melihat menantunya disalahkan menegur sang ayah, “Bapak, yang terjadi sama Syaron itu kecelakaan, jangan nyalahin Pirat.”

“Eyang kalau datang mau menyalahkan istriku, mending gantiin aku ketemu Pak Tedja.”

Cucu tidak tahu diri. “Semprul! Aku ngomong benar begini masih tidak diterima!” Eyang Hardin jadi bertambah kesal.

“Syaron!” Nyonya Atri kini menegur sang putra.

Melihat keadaan yang tidak terkendali, Pirat menengahi. “Saya minta maaf karena belum bisa menjaga cucu kesayangan Eyang dengan baik. Hal ini tidak akan terulang lagi. Tapi yang perlu Eyang ketahui, Syaron kecelakaan karena ingin melindungi saya dari orang-orang suruhan seseorang. Ada yang menyuruh orang untuk mengikuti saya. Sudah bukan hal aneh seorang suami merasa khawatir kepada istrinya. Apalagi ketika istrinya diikuti orang-orang tidak dikenal.”

Syaron tersenyum mendengar penuturan Pirat. Istrinya ini memang beda dari gadis kebanyakan. Pirat berani bersuara, dia bukan gadis yang mudah ditindas.

“Pirat.”

Syaron memanggil, membuat ketiga orang di sana menoleh.

“Aku jatuh cinta berkali-kali lipat.”

Nyonya Atri tersenyum. Eyang Hardian melotot. Sementara Pirat ingin sekali menenggelamkan diri ke dasar mariana karena saking malunya.

***

Baca part ini geli, seneng, kesel atau sedih?

Ayok spam nama SYARON di sini!

Follow ig @windiisnn_

Btw sudah gabung chanel telegram belum?

Ketika Kita Bertemu Lagi [End]Onde histórias criam vida. Descubra agora