Bagian 27 Sebuah Insiden

Start from the beginning
                                    

Pirat menghela napas memandang pintu kamar mandi yang tertutup dengan kencang, gadis itu berjalan menuju pintu kamar mandi, lalu mengetuk pintunya, “Syaron, kamu tidak perlu mengacaukan pekerjaanmu hanya untuk menepati janjimu!” Pirat sedikit berteriak.

Dan pintu yang terbuka membuat Pirat berjengkit kaget mendapati wajah Syaron sudah di depannya, sangat dekat. Pirat memundurkan kepalanya.

“Aku melupakan janjiku, kamu protes. Aku menepati janjiku, kamu lebih banyak protes. Maumu apa, Girl?”

Pirat menelan ludah, jantungnya mendadak bertalu lebih cepat. Perempuan itu mundur. “Tujuanmu ke sini untuk kerja, dan jangan mengacaukan pekerjaanmu.”

“Pirat, tunggu enggak sampai sepuluh menit.” Syaron berkata final, lalu menutup pintu kamar mandi. Lagi, Pirat hanya mampu menghela napas.

Pirat tidak ingin mengacaukan pekerjaan Syaron. Dia tidak bisa melakukannya. Pirat tidak merasa sepenting itu hingga membuat hubungan Syaron dan eyangnya semakin memburuk. Sekesal apa pun dia kepada Syaron, Pirat masih waras untuk tidak membuat hubungan keluarga orang lain memburuk karenanya.

***

Selesaikan dulu pekerjaanmu. Jangan membuatku merasa bersalah karena merusak hubungan cucu dan eyang. Aku pergi sendiri.

––Pirat

Syaron meremas sticky note yang ada di tangannya. Pirat pergi ke Madura seorang diri. Hal itu membuat Syaron tidak tenang, tentu saja dia merasa khawatir. Dia tidak bisa membiarkan istrinya berkeliaran tanpa pengawasan. Hari kemarin dia masih bisa tenang karena tanpa Pirat tahu, Syaron menyuruh seseorang untuk menjaga perempuan itu. Tapi hari ini, Syaron bahkan baru mandi, dia belum sempat menghubungi Panji dan orang-orangnya untuk menjaga Pirat. Seharusnya Pirat mendengarkannya.

Syaron mendial nomor telepon Pirat, akan tetapi tidak ada tanda-tanda gadis itu akan mengangkatnya. “Sialan!” laki-laki itu beralih menelepon Panji.

“Halo, selamat pagi, Mas.”

“Kamu cari istri saya sekarang juga!”

“Mbak Pirat memangnya ke mana, to?”

“Madura. Cepat suruh orang-orangmu buat cari dia. Jangan sampai dia terluka barang seujung kuku pun, Panji!”

Syaron menutup sambungan telepon, lalu berlari keluar kamar. Dia berlari menyusuri lorong dan menekan tombol lift berkali-kali, namun pintunya tidak terbuka dengan cepat. Laki-laki itu mengumpat, kemudian berlari menuju pintu tangga darurat.

Mata Syaron memanas, dan merah, laki-laki itu nyaris menangis karena takut akan terjadi sesuatu yang buruk kepada Pirat. “Sialan Hardian!” umpatnya penuh amarah sekaligus ketakutan.

48 jam yang lalu …

“Aku tidak pernah merestuimu menikah dengan gadis restoran itu, Syaron. Seharusnya kamu menikah dengan Sarala, atau gadis lain yang lebih pantas daripada istri yang tidak punya nilai utilitas buat keluarga ini.”

Syaron mengepalkan kedua tangannya, gigi laki-laki itu bergemelutuk membuat rahang kokohnya berdenyut. “Aku sudah menikah. Dan sekarang, orang yang Eyang sebut Gadis Restoran itu adalah cucu menantu Eyang,” ujarnya dengan menahan gejolak emosi.

Kedua pasang mata itu saling beradu pandang sama kuat, sama tajam. Eyang Hardian memalingkan wajahnya lebih dulu. “Jangan membuatku harus berlaku kotor untuk membuatmu menuruti mauku, Syaron,” ujarnya dingin, “aku bisa melakukan apa saja kalau aku menghendaki.”

Seolah Tuhan saja, batin Syaron menahan kesal.

Mata sehitam jelaga itu semakin menyorot tajam menatap Eyang Hardian, “Aku tidak akan membiarkan siapa pun membuat wanitaku terluka. Sekalipun itu Eyang. Jangan buat aku benar-benar menghancurkan kerajaan bisnis Eyang karena telah mengusik wanitaku.”

Ketika Kita Bertemu Lagi [End]Where stories live. Discover now