49. Frankly

958 105 33
                                    

Kini Samudra tengah berada di rumah sakit. Bersama dengan papanya serta supir mereka. Raut wajah malas ia tunjukkan, apalagi penyebabnya selain papanya yang memaksanya untuk periksa ke rumah sakit.

Ya, kini keduanya sudah berbaikan. Banyak hal yang terjadi sebelumnya sampai akhirnya kini mereka benar-benar berdamai.

Flashback saat Samudra meminta sopirnya untuk putar balik ke arah rumah.

Dengan terburu-buru Samudra pulang ke rumahnya. Ia sangat ingin bertemu dengan papanya segera. Bahkan kini ia menggerakkan penyangga kakinya dengan cepat, membuat supirnya yang melihat itu merasa ngilu. Beberapa kali supirnya menegur Samudra, namun sama sekali tidak ia hiraukan. Bahkan beberapa kali ia lihat Samudra yang tersandung oleh penyangga kakinya sendiri karena terlalu terburu-buru.

Samudra berteriak memanggil papanya, namun ia tak mendapat sahutan sama sekali. Beberapa kali ia berteriak, namun sama sekali tidak mendapat jawaban. Samudra lantas melangkah menuju garasi, memeriksa mobil yang biasanya papanya gunakan untuk ke kantor. Mobil tersebut masih ada, artinya papanya masih di rumah.

Ia lantas melangkah menuju ruang kerja papanya yang juga ada didalam kamar papanya. Ia baru ingat jika ruangan itu kedap suara. Suara dari luar akan sulit terdengar dari dalam, begitupun sebaliknya. Dengan tergesa ia masuk kesana dan mendapati papanya yang tengah menelungkupkan kepalanya dimeja.

Sejenak Samudra bernapas dengan lega dan lantas menghampiri papanya.

"Pa", sentuhannya pada pundak papanya membuatnya sedikit terjingat.

"Eh, Samudra ? Kok balik lagi nak ? Ada yang sakit ?", tanya papanya, Samudra hanya diam. Jujur ia tengah menahan dirinya sekarang. Ada sesuatu yang ingin ia utarakan, namun tertahan.

Melihat Samudra yang terdiam, papanya lantas bertanya kembali.

"Sam ? Apanya yang sakit ? Kakinya sakit lagi ? Atau kamu sesak lagi ? Coba bilang papa sini. Papa ngga tau apa yang kamu rasa kalo kamu ngga bilang", ucap papanya yang lantas membawa Samudra untuk duduk di kursinya, sedangkan dirinya kini berjongkok di depannya sambil mengecek tubuh Samudra.

"Pa, maaf", ucap Samudra dengan lirih, namun masih terdengar di telinga papanya.

"Maaf kenapa ? Jawab pertanyaan papa ya nak, kamu kenapa ?", tanya papanya lagi.

"Samudra minta maaf", ucap Samudra lagi dengan suara yang bergetar. Ia tak tau apa yang tengah terjadi pada putranya ini, ia rasa suasana hatinya sedang tidak baik. Ia berhenti bertanya kenapa, diraihnya Samudra untuk ia bawa dalam rengkuhannya.

Samudra nampak terisak pelan, ia biarkan Samudra menyelesaikan emosinya. Akan lebih baik jika membiarkan dirinya tenang lebih dulu daripada kembali bertanya kenapa.

Cukup lama, sampai akhirnya Samudra tenang dari isakannya. Ia sedikit menjauhkan diri dari tubuh papanya, papanya pun mempersilahkan hal itu.

"Udah mendingan ?", tanyanya pada Samudra. Samudra pun mengangguk.

"Mau cerita sama papa ? Papa bakal dengerin. Kalo belum juga ngga papa, ngga akan papa paksa. I'll give you a space buat tenangin diri lagi. Papa siap dengerin, kapanpun", tawarnya pada Samudra.

"Samudra minta maaf pa", ucap Samudra lagi.

"Berhenti bilang maaf, kenapa kamu terus minta maaf ke papa ?", tanya papanya.

"Samudra jahat ke papa, Samudra durhaka", ucapnya yang lantas mengundang tanya dari papanya.

"Kok gitu ? Samudra baik kok ke papa, Samudra juga anak yang nurut", balas papanya menenangkan.

Is It Home ? Where stories live. Discover now