DUA PULUH SEMBILAN : Pertama dan Terakhir

547 102 1
                                    

Siapa yang benci kena prank? —Andira

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

Siapa yang benci
kena prank? —Andira

⋇⋆✦⋆⋇

Sore itu ketika hanya Anan yang pertama kuperhatikan menongkrong di pelataran rumahnya. Meski kemudian aku menjadi sangat berhati-hati semenjak tahu Jo dan Anan setara jenis sentimensinya kalau ada aktivitas memilih di salah satu antara mereka.

Hingga tak ada batasan di kemudiannya setelah melihat Anan menjadi pilihan yang aman —selama Jo tak tampak menghuni sedikit pun pelataran di rumahnya. Jadi, tempat tinggal sebelah kirilah yang kudatangi. Anan segera menyadari hal tersebut hingga tak berfokus pada ponsel lagi, melainkan menunggu kecapaianku dengan tatapan yang tak beralih.

Untung aku tak terpeleset atau terjungkir balik. Biasanya hal seperti itu lumrah terjadi kalau kita tahu ada yang memperhatikan, sampai aku kasih bukti bahwa kenaturalan yang menghiasi tubuhku sangatlah beraura positif.

"Ngapain?" Sama seperti Jo yang permulaannya begini, dia tanya.

Singkat aku menggeleng. "Enggak apa-apa, mau main aja," jawabku setelah duduk di sebelahnya.

"Lu kayak enggak ada kerjaan," ujar Anan yang tertawa kemudian.

"Iya, makanya gue gabut. Kayak ... bingung mau ngelakuin apa."

"Emang tugas sekolah lu udah selesai?"

Aku diam sebentar untuk meneguk gumpalan air yang hampir membuatku tersedak. "Belum." Kemudian aku jawab begitu.

Kami berpandangan dengan makna mengejek yang tersirat begitu kuat. Lalu setelahnya tertawa dan menikmati obrolan ringan yang baru saja terucap beberapa dialog.

"Lu mau tau enggak?" Anan pun tanya setelahnya.

"Apa?" Sembari meredakan sesuatu yang masih saja mau aku tertawakan, pandangan kami tak sejalur lagi dan dimenangkan oleh sang langit berserta antek-anteknya di atas sana.

"Gue pernah baca teori pengetahuan umum yang menyatakan kalau jantung buaya muara berdetak cuma satu tiap empat puluh detik. Hal ini jauh berbeda dibandingkan jantung gue yang berdetak kencang ketika berada di sebelah lu."

"Mweh?"

"Jinjja." Anan sok kekoreaan setelah melihat keterkejutanku.

Sebenarnya aku tidak serius-serius sekali mendengar ilmu pengetahuan umum yang keluar dari mulut siapa pun. Saat guru menjelaskan saja aku durhaka, bahkan ketika Anan tadi juga rada begitu. Bedanya di penghujung kalimat, dia membuatku terbungkam dalam kesenyapan yang terlanjur meminta acuh dan terdobrak bersamaan dari hasil omongan itu.

Sudah seperti telur tambuk.

"Hehe." Anan menyengir dan mendorong bahuku. "Tepuk tangan kek lu kayak enggak pernah digombalin orang aja," katanya mengalihkan pembicaraan.

MAMPU✓ Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon