DUA PULUH LIMA : Bukan Homo

428 101 0
                                    

Yang waktu kecil suka mancing kelilingkampung apa kabarnya sekarang?—Andira

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Yang waktu kecil suka mancing keliling
kampung apa kabarnya sekarang?
—Andira

⋇⋆✦⋆⋇

"Lu nebeng siapa?"

"Nebeng gue."

"Gue nanya Andira."

"Iya gue yang jawabkan."

Sebagai orang yang berjalan di paling ujung, mungkin aku tidak tahu ekspresi Jo ketika bicara dan juga menyolot sama jawaban Anan. Tapi aku sangat tahu kalau Anan tidak mau kebersamaanku lebih kental ketimbang dengan dirinya meski tanpa susah payah kulihat eskpresi yang dibuat. 

Jadi aku menyengap tanpa ikut masuk ke dalam perdebatan mereka. Sampai langkah kami sama-sama dinyatakan tiba di parkiran, baru aku bisa melihat wajah Jo begitu datar mirip Itachi Uchiha. Bedanya, dia begitu seakan melampiaskan sesuatu yang menggangu hati dan juga pikiran. Tebakku saja sih, soalnya ketika kami berpandangan dia masih mengangkat kepalan tangan kepadaku.

"Nanti sore ke rumah," kata Jo.

"Siapa?" Anan tanya.

"Lu berdua," jawabnya sambil memasang helm.

"Ngapain?" Sekarang aku yang tanya.

Jo menyalakan kendaraannya dulu sebelum menjawab, "Nangkap burung gereja di genteng rumah gue."

"Orang serius juga."

"Lah gue kira lu mau nangkap burung di atas genteng rumah Anan kemarin."

"Ah, gila lu ... JOOO!" Sang empunya lagi-lagi melancing tanpa mau mendengar ocehanku. Ini tak sama ketika pagi tadi membuatku termenung menatap kepergiaannya, dia nyata sangat sengaja dengan senang hati dan juga tertawa. 

"Kejar?" Anan sudah naik ke motornya sambil menarik bahu untuk lebih dekat. "Kejar enggak?" tanyanya lagi sambil memasangkan helm di kepalaku.

Sekali lagi : MEMASANGKAN HELM.

"Enggak usah." Apa itu salah tingkah? Maju sini, akan kuhadapi dengan peralihanku yang jago akting. 

Meski ketahuan Anan juga karena bahwa wajahku tak sejago Prilly Latuconsina ketika mode serius, dia mencubit pipiku dengan keras, lalu kubalas dengan membogem bahunya kencang-kencang. Kami sama-sama kesakitan dan tertawa, sampai aku menerima kode untuk naik di belekangnya.

Jika biasanya supir akan mengendalikan kemudi ketika sang penumpang sudah siap, di sini justru aku yang dibuat seperti penunggu untuk menentukan pemberangkatan kami. Hanya saja, untuk menegur Anan pun aku masih perlu waktu menenangkan diri, ada sesuatu yang masih berantakan dalam hatiku sana. Kelakuan Anan barusan benar-benar membuatku tak karuan untuk menjadi sosok Andira yang normal.

"Lu bakal datang ke rumah Jondara?" Ternyata ada sesuatu yang juga Anan pikirkan sejak tadi, dan kutebak dia baru berani mengungkapkannya.

"Emang kenapa?" tanyaku.

MAMPU✓ Where stories live. Discover now