DUA PULUH EMPAT : Berat Seperti Babi

455 108 1
                                    

Apa yang bisa bikin ketawapadahal nyatanya enggak lucu?—Andira

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Apa yang bisa bikin ketawa
padahal nyatanya enggak lucu?
—Andira

⋇⋆✦⋆⋇

Bukan berarti aku tak bilang kalau sepatu ini tidak cocok di kakiku. Anan juga tahu sejak dia memasangkannya, dan minta bertahan setidaknya untuk upacara saja.

Tapi hal terbodohnya adalah, KENAPA SEPATUKU YANG PUTIH DITINGGAL DI RUMAH ANAN? Alhasil aku kebingungan ketika jam olahraga, mana teorinya futsal lagi. Ketar-ketir aku di sebelah Jo sebelum menunggu giliran, sedangkan pelaku yang membuatku jadi begini hanya senyam-senyum tanpa dosa sebagai penjaga gawangnya.

"Lu gila," bisikku.

"Apa kata lu?" Jo sentimen karena mengira aku mengatainya.

"Maksud gue Anan." Perbaikan dariku selanjutnya, Jo pun mengangguk. "Kenapa lu pergi gitu aja pagi tadi?" Sebab masih merasa seperti anak kucing yang dibuang ibunya, aku menagih tanggung jawab orang tua kepada Jo.

Sang empunya terlihat menghembuskan napas saja, sambil melipat tangan tanpa perduli.

"Kenapa lu menghindar dari kemarin-kemarin? Gue udah pusing gara-gara Anan, dan ketika dia udah baikan, eh lu lagi yang mulai. Pada kenapa sih?" tanyaku lagi.

Jo menganggukkan kepala. "PMS kayak gue."

"Anjir lu!" Kugaplok lengannya.

"Ya  ... enggak aja sih, lu ngeselin akhir-akhir ini. Kalo deketan, rasanya gue mau membenturkan muka lu ke bokongnya Pak Sapto."

"Eh, gila!"

"Anan 'kan yang gila."

"Elu! Sekarang elu!" Aku mencubit lengannya sampai Jo terjingkat.

"UWAAATASS NAMA ANDIRAAAA!" Sepertinya obrolanku dan Jo membuat sentimen Pak Sapto naik sungguhan. Seluruh mata tertuju pada kami, di mana Jo sadar kalau bola yang terposisi di tempatnya sesuai arahan sedang menunggu kedatanganku.

"Giliran lu!" Jo mendorongku tanpa aba-aba, dan meski dengan aba-aba pun, mungkin tetap saja aku mau tersungkur.

Kini peralihan fokusku ada pada si penjaga gawang, yaitu Anandra. Dia memasang posisi bersedia dengan tubuh dibungkukkan sedikit, sambil merentangkan tangan. Sementara aku sok-sok profesional menentukan target, tanpa mengingat sesuatu di kakiku ikut melayang dengan begitu kencang saking besarnya mengharapkan kegolan di gawang tersebut.

"Bwahahaha!" Semua orang seketika tertawa ketika sepatunya tersangkut di atas pohon mangga. Jangan salahkan lapangan olahraga kami yang kelewat elit dan cinta alam begini, soalnya praktik di laksanakan secara outdoor. Di lapangan yang berbahan semen dengan pohon-pohon besar berjajar mengelilingi lapangan hingga membentuk persegi.

Aku hanya mampu menggigit bibir bawah saat membuat masalah yang mungkin akan menyulitkan Anan, ditambah Pak Sapto bilang untuk mengurusnya sampai jam olahraga selesai dulu. Maka dari itu kakiku hanya mengenakan sebelah sepatu dengan alas kaus kaki yang tidak putih lagi.

MAMPU✓ Where stories live. Discover now