"dua puluh sembilan"

415 58 71
                                    

   "Lima Belas Tahun Lalu"

  Suasana rumah besar itu lengang. Dinding tinggi membentang menyentuh langit-langit atap sewarna gading. Seorang lelaki kecil dengan langkah tergesa berjalan menuruni tangga besar dibagian tengah rumah. Ia berlari menuju dapur dengan kaki mungilnya, membuka pintu besar kulkas dan meraih sebotol air putih.

  Jimin kecil melepaskan dahaganya, ia terbangun dari tidurnya karena begitu haus. Kemudian melap sudut bibirnya yang basah setelah meminum air dan berjalan santai melewati ruangan tengah rumah yang remang dengan cahaya minim.

  "Mati kau! Mati! Mati!"

  "Hahahaha!!"

  Jimin menghentikan langkahnya, tiba-tiba bulu kuduknya meremang saat ia mendengar suara itu. Suara yang amat familiar baginya. Ia berjalan dengan wajah tegang dan waspada. Tubuh mungilnya menghampiri sebuah kamar di ujung lorong lantai bawah, pintunya yang setengah terbuka.

  Jimin kecil melebarkan matanya saat mengintip ke dalam kamar utama itu.

  Melihat ibunya tengah menduduki tubuh tak berdaya seorang pria diatas ranjang. Matanya seolah memerah dengan tatapan gila saat tangannya menusuk-nusukkan sebuah pisau diantara leher pria dibawahnya.

  "Hihihi!"

  "Mati kau!"

  Suara terkikik yang menyeramkan itu terdengar begitu jelas diantara telinga Jimin. Ranjang yang dipenuhi aliran darah dan wajah ibunya yang terkena cipratan cairan amis itu. Tubuh pria dibawahnya telanjang tanpa sehelai benang. Ia bisa melihatnya, sebelah lengan pria itu sudah hilang entah dimana.

  Ibunya seolah sedang asik memainkan bonekanya, menusukkan pisau ditangannya berkali-kali pada dada sang lelaki dan semburan darah yang terlihat jelas diantara matanya.

  Jimin mundur sesaat. Ia menutup mulut dengan tangan mungilnya agar tak menimbulkan suara sama sekali. Kakinya berjalan mundur dengan cara yang paling pelan kemudian dengan nafas yang terengah-engah ia berjalan meninggalkan kamar ibunya.

  Kakinya berjalan menuju ruangan kerja ayahnya, Jimin bahkan hampir muntah kembali saat mengingat apa yang baru dilihatnya. Tangan kecilnya mencapai kenop pintu dan membukanya dengan pelan.

  "Ayah.."

  Ia melangkah memasuki ruangan kerja gelap itu. Dilihatnya sosok seorang pria yang tengah tertidur di meja kerjanya. Mendengkur dengan wajah yang amat lelah, disampingnya tergeletak beberapa botol alkohol yang baunya menyengat.

  "Ayah?"

  Jimin menutup hidungnya dengan susah payah. Ia kemudian melangkah pergi dari ruangan itu seolah tak punya harapan untuk melakukan apapun disana. Kaki mungilnya kembali berjalan menaiki anak tangga, melewati lorong lain yang sama luasnya. Ia membuka pintu kamar itu dengan tegang dan ketakutan.

  "Taehyung!"

  Dilihatnya seorang anak kecil lain yang tengah mendudukkan dirinya di meja belajar. Menatap bukunya dengan wajah yang kaku.

  "Taehyung!"

  Lelaki kecil lain menengok saat melihat kedatangan saudaranya dikamarnya itu dengan alis berkerut. Tangan kakaknya itu bergetar dan wajahnya yang tegang.

  "Ibu!" Jimin menelan ludahnya ketakutan "Ibu melakukannya lagi!"

  Taehyung kecil menaikkan alisnya. Tetapi responnya jauh lebih tenang dari yang dimiliki Jimin. Ia turun dari bangku belajarnya dan menghampiri saudaranya itu.

Butterfly EffectWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu