Bagian 18 Lingkaran di Jari Manis Pirat

Start from the beginning
                                    

Pirat mengernyit, dari mana Syaron tahu hal itu?

“Kamu enggak usah tanya aku tahu dari mana.” Syaron bangkit dengan mengambil kotak cincin di meja, lalu berjalan mendekati Pirat yang kini menatapnya penuh tanda tanya, “Jatuh cinta padamu itu sangat mudah, Pirat. Yang susah adalah move on dari kamu, aku contohnya. Dan aku yakin, Sahil benar-benar telah jatuh cinta sama kamu. Semua orang yang melihatnya juga bisa tahu kalau laki-laki itu menaruh rasa ke kamu. Kamu jangan terlalu tak peduli dan terlalu bodoh, Cantik.” Syaron hendak menjawil dagu Pirat, namun gadis itu buru-buru memundurkan kepalanya.

“Jangan berani-berani menyentuhku jika tak ada kata halal,” kata Pirat dengan tatapan menusuk, gadis itu marah sebab Syaron berlaku seenaknya.

Syaron mudur, “Oke, maaf. Aku lupa kalau kamu adalah gadis agamis.” Laki-laki itu meletakkan kotak cincinnya di hadapan Pirat, “Dari ucapanmu tadi, berarti setelah halal aku bebas menyentuhmu, kan?” tanya Syaron disertai seringaian tipisnya, alisnya naik satu.

“Tentu saja kamu boleh menyentuhku … tapi seperti yang sudah pernah kubilang, kamu boleh menyentuhku ketika kamu telah mempercayai Allah sebagai Tuhanmu.” Pirat telah menemukan alasan dia menikah dengan Syaron selain karena masalah restoran. Setidaknya, dari obrolannya dengan Nyonya Atri tadi siang, Pirat menemukan alasan, yaitu menarik Syaron dari lubang nista yang penuh dosa besar. Meskipun Pirat harus mengorbankan dirinya. Pirat hanya mengharap ridho-Nya. Semoga saja, jalan yang dipilihnya tidak membuatnya semakin salah. Karena menikah dengan alasan dunia saja, Pirat merasa itu sudah sangat salah.

Syaron menggeleng, “Walaupun hanya menggenggam tangan kamu di depan semua orang? Tidak ada izin?” Pirat terdiam mendengar pertanyaan Syaron. Benar juga, bisa curiga orang-orang ketika seorang suami bahkan tidak pernah menggenggam tangan istrinya. Pirat jadi kepikiran.

“Sepertinya kita harus membuat banyak kesepakatan,” celetuk Pirat.

Syaron tidak setuju. “Ayolah Pirat, kita menikah secara normal. Tidak ada kesepakatan selain masalah restoran ....” Pirat menggeleng. “Karena setelah satu kesepakatan soal restoran, itu sudah mencakup semuanya. Kita menikah secara normal, tidak ada pisah ranjang, tetap ada sentuhan fisik, okelah kalau soal aku menggaulimu, aku tidak keberatan kalau kamu belum memberi izin. Tapi untuk hal lain, tidak ada larangan apapun. Kamu tahu ayah bundamu, kan? Aku ingin kita seperti mereka. Bersikaplah seperti pasangan suami istri yang bahagia dan saling mengerti. Oke?” Syaron menganggukkan kepalanya melihat Pirat yang terdiam, “Harus oke, lah!”

Pirat mendengkus. Untuk sekarang, Pirat mengalah, dia tak mau berdebat lagi. Gadis itu sudah terlalu lelah melewati hari ini.

“Omong-omong aku lapar. Bisa kamu yang buatkan pesananku?”

Pirat kembali menatap Syaron dengan tatapan tajamnya, “Masih banyak koki di dapur,” ujarnya datar.

“Kalau begitu temani aku makan.”

“Aku sibuk.”

“Ayolah Pirat, hanya menemani. Biar semua orang makin yakin dengan sandiwara kamu.” Pirat melotot tak terima. Dia bersandiwara juga karena Syaron. “Aku tunggu di depan. Kalau kamu tidak datang, aku obrak-abrik restoran kamu,” ancamnya dengan gurauan, “jangan lupa cincinnya dipakai,” katanya sebelum benar-benar keluar.

***

“Terima kasih,” ujar Syaron. Pirat berdeham.

“Besok sore aku ke sini. Kita akan cari cincin kawin. Hari pernikahan kita tinggal satu minggu lagi.” Pirat mengangguk lagi. Syaron melirik jari Pirat, “Cincinnya pas, cantik di jarimu. Jangan dilepas!” gadis itu tak menjawab segala ocehan Syaron.

Ketika Kita Bertemu Lagi [End]Where stories live. Discover now