Bagian 16 Perempuan Beradab

390 55 26
                                    

“Atau bawa makan dari sini dibungkus?” Nyonya Atri tidak menghiraukan kekesalan Syaron mengenai eyangnya.

Syaron menggeleng, “Enggak usah, Bu. Nanti biar Syaron minta Panji belikan saja. Kalau gitu Syaron pergi dulu.” Kemudian lelaki itu benar-benar pergi dari sana. Tidak ada salam atau apa, dia hanya bilang pergi.

Wa ‘alaikumussalam,” gumam Pirat begitu lirih. Namun, tanpa gadis itu sadari, Nyonya Atri dapat mendengarnya. Wanita itu tersenyum kepada Pirat berpura-pura tidak tahu gumaman sang calon menantu.

Setelah kepergian Syaron, Pirat membawa Nyonya Atri ke salah satu meja. “Ibu mau makan apa? Makanan kontinental atau oriental?”

Nyonya Atri terkejut sekaligus kagum, “Semua ada di sini?” tanyanya penasaran. 

Pirat tersenyum mengangguk, “Ada beberapa, Bu … mboten sedoyo.”

“Ibu jadi bingung,” cengirnya, “kamu pilihkan saja, Nak.”

“Ibu endak ada alergi?”

“Aman.” Nyonya Atri tersenyum.

Pirat mengangguk, lalu izin undur diri untuk segera menyiapkan makanan. Sebelum ke dapur, gadis itu meminta Dewi untuk menemani Nyonya Atri.

“Permisi, Bu. Saya Dewi, tadi Mbak Pirat minta saya temani Njenengan, takut Njenengan bosan,” ucapnya begitu ramah. Nyonya Atri tersenyum senang, perhatian dan pengertian sekali calon menantunya, Syaron memang tidak salah pilih pendamping hidup, batinnya senang.

“Silakan duduk,” Nyonya Atri mempersilakan.

Ngapunten nggeh, Bu,” dengan ragu-ragu Dewi duduk menemani Nyonya Atri.

“Jangan sungkan, mungkin nanti saya bakal jadi pelanggan setia di sini,” ujarnya terkekeh kecil.

Dewi tersenyum canggung, “Semoga nyaman, Bu.” Nyonya Atri mengangguk-angguk sembari menatap sekeliling. Dewi memandang wanita dengan kebaya terusan yang longgar itu dengan bingung, penasaran siapa gerangan orang di depannya ini, sehingga dengan tumben sekali, bosnya meminta dia untuk menemani pelanggan.

“Ibu ini temannya Mbak Pirat, atau kerabat dekatnya, nggeh, kalau boleh tahu?”

“Saya Atri. Kamu jangan canggung begitu, mungkin ke depannya kamu bakal sering menemani saya makan di sini.” Bagaimana Dewi tidak semakin penasaran, wanita di depannya ini sedari tadi bicara misterius begini. Kalau mau datang mah datang saja.

“Jadi, Bu Atri ini …?” Dewi mengernyit.

“Calon mertua bos kamu,” ucapnya dengan senyum bangga. Bangga karena mendapatkan calon menantu yang hebat seperti Pirat. Wanita itu sangat senang.

“Oh, calon mertua …,” Dewi menghentikan perkataannya menyadari sesuatu, “dalem?! Calon mertua?!” begitu terkejut sampai gadis itu tidak sadar suaranya menjadi lebih keras dari sebelumnya.

Nyonya Atri mengangguk, tersenyum maklum mendapati respon gadis di depannya.

Yang Dewi bingungkan …, jika wanita bersanggul di depannya ini calon mertua sang bos, lalu calon suaminya siapa?

“Kamu terkejut sekali,” komentar Nyonya Atri, ikut bingung, “memangnya wajah saya kurang meyakinkan?” tanyanya.

Ngapunten, Bu, bukan begitu … kulo mung bingung mawon, kalau Njenengan calon mertuanya Mbak Pirat, terus calon suaminya berarti putra Bu Atri …, tapi siapa ya, Bu?” cengirnya merasa canggung, bukan cengiran girang, tetapi cengiran miris dan takut. Merasa kurang sopan saja membicarakan bosnya dengan lancang. Meskipun Pirat begitu mengayomi dan juga begitu baik kepada para karyawannya, akan tetapi bos tetaplah bos.

Ketika Kita Bertemu Lagi [End]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt