Fake Concern

Mulai dari awal
                                    

"Katanya kita harus menunggu. Jangan terlalu khawatir, ya!" ujarnya sambil mengulaskan senyuman di bibirnya.

"Iya sih," kataku menimpali. "Menurut Kakak, apa dia akan baik-baik saja?"

"Tentu saja. Kurasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Syukurlah."

"Jangan sedih lagi, Za. Ini hanya kecelakaan, sama sekali bukan salahmu!" katanya lagi.

Aku mengangguk setuju sambil memaksakan bibirku untuk kembali mengulas senyuman. "Makasih, Kak."

"Ngomong-ngomong sejak kapan kalian kenal?"

"Huh?"

"Kamu dan Rael?" Alex mengedipkan mata. "Kapan kalian mulai kenal?"

Melihat Alex sampai mengulang pertanyaannya dua kali untuk menegaskan pertanyaanya sudah cukup memberikan bukti kalau pria ini tidak tahu apa-apa dan sedang penasaran. Alex tidak bisa tahan kalau ada sesuatu yang tidak dia ketahui atau di luar kendalinya.

Fakta soal Alex yang tidak tahu soal Rael ini melegakan sekaligus mengesalkan. Melegakan karena itu artinya dia tidak tahu apa pun. Namun, di sisi lain Alex akan menuntut penjelasan yang akurat dan terperinci. Aku mengenal sifatnya yang lumayan mengesalkan ini.

Ingatanku melayang. Pertanyaannya memang terkesan ringan, tetapi aku tidak mampu menemukan jawabannya meski mengais ke dasar pikiran sekalipun. Sejujurnya, aku memang tidak mengenal Rael sama sekali. Bahkan sebelum perkara perpindahan jiwa ini, aku tidak pernah tahu kalau ada pemuda bernama Rael di dunia ini. Bahkan sekarang pun aku tidak bisa dibilang mengenalnya, hanya beberapa kali percakapan aneh—yang aku sendiri tidak yakin apakah itu mimpi atau kenyataan. Dan selama ini aku hanya berpura-pura saja untuk memanfaatkan tubuhnya.

Napasku sesak kala memikirkan kalau aku berpura-pura mengenalnya karena asas kepentingan saja. Aku yang egois memaksanya memenuhi keinginanku. Aku bahkan baru mengetahui namanya setelah dia mengancamku. Gigil mulai menyerang tubuhku saat mengingat kejadian itu.

"Enza?"

"Eh-oh, apa?"

"Kamu sakit?"

Aku menggeleng. "Tidak."

"Tapi, kok diam saja?" kejar Alex lagi.

"Soal Rael—"

"Ya?"

"Dia datang ke rumah mencari pekerjaan," kilahku berbohong. Aku tidak ingin menjelaskan apa pun yang ada di pikiranku juga soal perjanjian yang kuikat bersama Alisia dan Rael.

"Rael mencari pekerjaan ke rumah kita?"

"Ya."

"Bukankah itu aneh?"

Sudut bibirku berkedut pelan saat Alex mulai membahas soal keanehan Rael. Aku mengangkat tangan untuk mengusap tengkuk. "Apanya yang aneh?"

"Aneh karena tiba-tiba ada seorang pria muda datang untuk mencari pekerjaan ke rumah kita. Khusus menemuimu, padahal di luar ada begitu banyak pekerjaan dan rumah itu bukan yang berada di dekat pertokoan atau sejenisnya."

Aku mengigit bibir, ini Alex. Bukan hal aneh juga kalau dia sampai mengamati poin-poin itu. Entah bagaimana caranya otaknya bekerja, akan tetapi dia selalu bisa menemukan celah keanehan dalam argumen orang lain. Kesannya dia memang jadi lebih intimidatif dan harus ditanggapi atau mendadak merasa jadi tersangka. Sayangnya, setelah bertahun-tahun menghadapinya, aku cenderung malas menanggapi rasa ingin tahunya yang terlalu besar itu.

"Wajar, dia butuh pekerjaan."

"Tapi, kamu enggak memasang iklan online, kan?"

Aku menggeleng. "Tapi, aku sempat bilang di sosial media kalau aku butuh pegawai."

"Kapan?"

"Kapannya lupa," kilahnya berbohong.

"Tapi, Kakak tidak ingat kalau kamu menggunggah soal lowongan pekerjaan di sosial media."

Aku mengusap tengkuk lagi lalu melepaskan tawa pelan. "Di snapgram kan hilang setelah dua puluh empat jam, jadi wajar Kakak tidak ingat."

"Ah, iya, sih. Soalnya biasanya aku enggak pernah melewatkan apa pun kalau itu soal kamu."

Sialan, aku benar-benar setengah mati menahan bibirku yang gemetar setelahnya. Berbohong ini tidak mudah meski dilakukan beberapa kali dalam satu waktu. Aku meneguk ludah dan mencoba tersenyum lagi. Alex yang memeriksa semua hal tentangku bukan hal yang aneh. Pria ini memang lebih mirip stalker ketimbang kakak laki-laki. Sikap buruknya yang lain, menuntut penjelasan tanpa satu hal pun disembunyikan dan tidak membiarkan orang lain hanya menanggapi sekenanya.

"Tidak semua orang seburuk yang kamu pikir, Kak," kataku mencoba mencairkan suasana.

"Tapi, dia pria, Enza."

Penekanan kata pria dalam suara Alex sungguh menyebalkan. "Memangnya kenapa kalau pria?

"Dia berbahaya."

"Buktinya aku baik-baik saja."

"Enza!"

"Bukankah Kak Alex juga pria, dengan analogi itu maka Kakak juga berbahaya. Lalu apa Kakak lakukan di sini? Membuatku masuk ke dalam bahaya?"

"Aku kakakmu, Enza. Masa kamu samakan aku dengan orang asing tidak jelas itu!"

"Kak, bukankah kita sudah bahas masalah ini saat terakhir kali kita bertemu," ucapku mencoba setengah mati menahan kesal. Sungguh aku tak ingin berbicara soal masalah ini lagi.

"Aku tidak akan membahasnya kalau dia tidak tinggal di rumah kita."

Aku menatap Alex lekat-lekat. "Kalau Kakak tak suka soal Rael ada di rumah, aku bisa pergi."

Alex menarik bahuku, membuatku menatapnya. Ekspresi wajahnya mulai melunak.

"Bukan itu maksud Kakak, Enza." Dia tampak berusaha menjelaskan. Suaranya juga melembut dan anehnya terdengar penuh bujuk rayu.

"Kalau begitu apa? Coba jelaskan!"

"Kakak hanya khawatir padamu, pada keselamatanmu. Bukan menginginkan kamu pergi, kamu tahu Kakak gak bisa hidup tanpamu." Matanya menyorot tajam, seakan-akan ingin mempertegas kesungguhan dalam kalimat yang baru saja diucapkannya.

Aku terdiam. Mengepalkan tanganku lebih keras. Mataku menatapnya. "Kalau ada laki-laki di rumah, maka ada yang mereparasi listrik atau mengganti lampu."

"Kakak juga bisa."

"Kakak yakin? Bukannya selama ini Kakak juga jarang datang dan Geral sudah meninggal. Aku sendirian, jadi apa sih salahnya kalau ada karyawan laki-laki?"

Napasku tersengal saat melontarkan kemarahan yang tertahan sejak tadi. Tanganku menggenggam potongan puzzle di tanganku lebih erat dari sebelumnya. Sudut-sudutnya yang runcing terasa menusuk hingga perih mulai menjalari telapak tangan.

"Enza, Kakak—" Alex menarik napas kasar. "Minta maaf."

One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang