Aroma Kematian

1.1K 92 27
                                    

Aku menarik napas berat berusaha menekan air mata yang mulai mengancam untuk tumpah. Dadaku terasa sesak saat mataku masih menetap di wajah pemuda itu. Wajahnya pucat dengan bibir yang sudah membiru. Kelopak matanya tertutup rapat seolah seseorang memaksanya untuk tertidur kala dia tidak ingin. Pemuda murah senyum yang kini tampak sedih.

Sejujurnya, aku masih tidak percaya kalau kelopak mata itu tidak akan pernah terbuka lagi. Manik matanya yang berbinar tidak akan pernah kulihat lagi serta senyuman manis yang merambati bibirnya sudah lenyap selamanya. Jemariku menyentuh pinggiran peti mati dan meremasnya. Aku tahu, Geral pasti tidak ingin meninggalkanku seorang diri. Tapi, takdir berkata lain. Geralku telah tertidur dan tidak akan pernah bangun lagi. Tidak, tidak, aku tak percaya semua ini terjadi. Masih menolak untuk menerima kalau Tuhan memintanya kembali secepat ini. Dia bahkan masih tersenyum kemarin, karena itu bisa jadi Geral akan memelukku nanti malam.

"Enza!" Samar-samar ucapan Geral kembali terngiang.

Desau angin sore kota Jogja yang kelabu hanya membisikkan kalau aku akan melihatnya lagi malam ini. Mungkin dia akan muncul di alun-alun utara sambil membawa dua mangkok wedang ronde. Atau aku akan melihat lagi senyuman manisnya di depan pintu rumah dengan pot arachnis merah atau mungkin dendrobium ungu yang telah berbunga. Pernah suatu kali dia membawakanku Coelogyne pandurata saat pulang dari kalimatan timur.

Aku menarik napas berat. Memikirkannya lagi, rasanya aku masih mendengar suaranya yang mendendangkan lagu-lagu cinta diiringi petikan gitar sumbang. Geralku bukan seorang seniman. Aku ingat dengan pasti dia akan mengatakan kalau kami adalah soulmate yang ditakdirkan untuk bersama saat aku mulai mencibir permainan gitarnya. Aku yakin kalau Geral masih ada di sini. Lihat, betapa damainya dia sekarang. Tangannya mungkin masih hangat dan aku hanya perlu meyakinkan semua orang kalau soal ini. Aku mengusap punggung tangannya, mencoba merasakan sisa-sisa kehangatan genggaman Geral di sana. Pemuda itu masih ada di sini, aku yakin. Namun, ketika jemari yang kini ada di dalam genggamanku sudah dingin dan kaku, tidak perlu menunggu waktu lama sampai ratapanku berubah menjadi raungan.

Air mataku masih mengalir ketika peti mati itu harus ditutup. Mereka bahkan tidak mau menunggu lebih lama lagi meski aku terus memohon. Mereka bahkan memaku peti itu tanpa ampun meski aku terus mengatakan kalau Geral masih hidup.

Aku terus menangis dan menangis. Sialnya, mereka juga tidak memedulikan tangisanku. Mereka juga membiarkan peti mati itu turun ke liang lahat. Padahal aku belum puas melihat wajahnya. Aku belum ingin berpisah darinya. Aku ingin memeluknya lebih erat dari sebelumnya. Padahal ada banyak hal yang kuceritakan. Ada banyak kata cinta yang belum sempat terucap.

Air mata yang kutahan kini mengalir deras kala aku memegang gundukan tanah yang digumpalkan membentuk bola untuk dilempar oleh keluarga terdekat almarhum. Sebuah simbolisasi adat bahwa kita telah menguburkan yang tersayang dan mengantarnya kembali ke pangkuan Tuhan. Aku melemparkan bola-bola itu ke dalam lubang kubur. Bola-bola itu jatuh di permukaan atas peti mati.

Lemparanku terhenti kala aku mendengar suara ketukan. Aku memiringkan kepala, mencoba untuk mendengarnya lebih jelas. Suara ketukan itu terdengar lagi. Benar. Aku tidak salah dengar. Suara ketukan itu berasal dari dalam peti mati Geral. Aku menarik napas lega. Mereka pasti bisa mendengar suara ketukan itu. Mereka juga pasti sadar kalau Geral masih hidup. Pasti mereka merasa bodoh karena melemparkan bola tanah ini pada seseorang yang masih hidup.

"Hentikan!" Suaraku memekik keras. "Geral masih hidup. Aku mohon hentikan semua ini!"

Namun, lemparan itu masih terjadi. Mereka tidak mendengarkanku. Mereka mengabaikan suara ketukan dari dalam peti mati itu. Aku tidak bisa menahan lagi semua kekonyolan ini. Bola tanah itu tergenggam erat di tanganku kulepas begitu saja. Aku hanya perlu terjun ke bawah dan membuka peti mati itu. Kalau ada bukti maka orang-orang itu akan berhenti melakukan hal bodoh seperti ini. Namun, seseorang menarik tanganku saat aku hampir melompat ke dalam lubang.

"Apa yang kamu lakukan? Lepasin!"

Aku menoleh, ada Alex di sana. Pria itu menautkan alis dan menatapku. "Enza, Kakak mohon."

"Geral masih hidup. Kita harus menyelamatkannya, Kak," kataku di sela-sela tangisan. Kekasihku ada di dalam sana, hidup dan bernapas. Geral harus diselamatkan atau semua akan terlambat. "Kakak juga dengar suara ketukan, kan?"

"Ketukan?"

"Iya, dari dalam peti. Geral minta tolong, Kak!" Aku tidak bisa menahan suaraku yang menanjak naik karena terlalu lega. Kini tanganku meremas lengan pria itu dan menggoyangkannya. "Ayolah, kita harus menolongnya!"

Namun, harapanku langsung sirna ketika Alex menatapku dengan sorot mata yang tidak terbaca. Antara dingin serta kasihan atau putus asa. Pria itu kini mencengkeram lenganku dengan erat.

"Lanjutkan saja prosesinya, aku akan pegangi dia!" ujar Alex sambil memelukku erat-erat.

"Kak Alex!" Kali ini aku berusaha meronta. Akan tetapi, lengan Alex memelukku lebih erat dari sebelum. Tentu saja, aku tidak ingin menyerah dan tidak bisa menyerah. Aku harus meyakinkannya untuk menolong Geral. Aku yakin Alex bisa melakukan sesuatu.

Aku mendongak untuk menatapknya. "Kakak harus percaya padaku, Geral mengetuk dari dalam dalam peti."

"Tidak, Enza. Geral sudah meninggal."

"Kak, aku mohon!"

"Enggak, Enza. Maaf."

Tangisanku kembali pecah, meski begitu Alex sama sekali tidak bergeming bahkan saat aku melolong. Pria itu bahkan tetap ada di posisinya kala tanah-tanah basah mulai menutupi peti mati. Napasku tercekat. Terlambat sudah. Tidak akan ada manusia yang bertahan kalau dikubur hidup-hidup seperti itu.

"Aku mencintaimu, Enza. Sekarang, besok dan selamanya." Suara Geral kembali terdengar.

Dia bahkan bicara sekarang. Itu jelas kalau dia meminta tolong untuk diselamatkan. Aku tidak ingin dia pergi, tetapi aku tidak melakukan apa pun untuk menolongnya. Manusia macam apa aku ini?

Tidak, tidak, aku bisa menolongnya. Sekarang masih belum terlambat. Ada orang yang mati suri bahkan koma selama bertahun-tahun. Dia hanya terkubur beberapa menit saja, dia pasti masih hidup. Saat Alex melepaskanku, aku langsung memelesat ke gundukan tanah basah yang sekarang mulai ditaburi bunga itu. Dengan cepat, aku menghujamkan tanganku ke dalam permukaan tanah. Aku bisa melakukannya, aku bisa menyelamatkannya.

"Apa yang kamu lakukan, Enza?"

Aku tidak tidak peduli dengan pertanyaan apa pun saat ini. Nyawa tetap prioritas utama dibanding menjawab pertanyaan apa pun.

"Enza, ayo kita pulang!" ucap Alex sambil menarikku lagi.

"Jangan sentuh aku!" pekikku sambil mengibaskan pegangannya.

"Kita pulang sekarang!"

"Enggak mau!"

Sialnya tenaga Alex lebih besar, dia bahkan dibantu orang lain. Meski aku melolong dan meronta, aku gagal melawan mereka semua. Beberapa orang berbisik di telingaku. Langit mulai berdengung dan semua warna seakan memudar berganti dengan merah dan kuning, setelah itu semua berubah menjadi gelap dan aku tidak mengingat apa pun.


cuap-cuap, spik-spik

Hai, salam kenal. Bukan proyek nulis baru ya. Buku lama malahan, cuma entah kenapa kagak kelar-kelar, padahal udah rewrite entah keberapa kalinya (dari Oktober 2016 coba, awal nulis banget).  Cuma ini sambil rewrite untuk kesekian kali, sambil dikerjain, sambil mungkin yang butuh bacaan di lapak ini boleh mampir karena emang bukunya dikit banget.

Targetnya sih selesai rewrite tahun ini, doakeun ya manteman...oh ya, ninggal komen boleh banget ya, biar aku kenal kamu...atau mau gabung ke Jaspiner, link ada di bio ^^


selamat membaca, semoga suka, bilang ya kalau menunggu lanjutannya ehehhehe...

One Thousand DaysDär berättelser lever. Upptäck nu