Life Crisis

187 26 0
                                    


Aku mengalihkan pandangan dari kalender lalu mengusap peluh yang membasahi kening. Setelah itu, menekuk kaki hingga kepalaku bisa jatuh di atasnya. Malam sudah turun sejak tadi hanya saja aku tidak bisa berhenti memikirkan setiap kejadian baru-baru ini. Selain itu, soal mimpi yang terjadi beberapa saat lalu entah mengapa tetap terasa aneh. Mimpi yang itu bahkan cukup ganjil dan janggal meski hanya dianggap sekedar bunga tidur sekalipun.

Meski aku tidak pintar, tetapi kurasa aku tidak cukup bodoh untuk bisa paham kalau menghidupkan orang yang sudah mati itu mustahil. Memanggil hantunya saja sepertinya perlu usaha. Lalu kejanggalan adalah soal timing mimpi itu sendiri. Rasanya seperti ada yang sengaja mengatur agar aku bermimpi seperti itu. Seolah-olah aku adalah aktor yang mengikuti alur cerita di dalam mimpiku sendiri. Mendadak aku teringat Alisia, gadis yang kutemui di dekat apotek.

Mungkinkah dia mampu mengatur mimpi seseorang? Eh, mana mungkin. Bagaimana bisa seseorang yang bisa mengatur mimpi orang lain?

Katakanlah fenomena yang kualami adalah lucid dream maka sepertinya mustahil dia sampai bisa masuk ke mimpi orang. Akan sangat mungkin kalau aku yang mengalami lucid dream dan seharusnya aku bisa mengatur semuanya. Namun, kenyataannya aku tidak bisa melakukan apa pun di sana. Kalau pun mimpi yang kualami adalah perwujudan keinginan terdalam dalam benak manusia, tetapi aku tidak mungkin mengharapkan hal buruk terjadi pada Geral.

Opsi lain adalah hantu. Hal ini cukup masuk akal karena aku sering sekali diganggu oleh penampakan makhluk menyeramkan. Namun, rasanya aku belum pernah dengar soal hantu yang bisa mengatur mimpi manusia. Kenapa teori yang muncul semakin ngaco saja. Ah, tidak, tidak, mungkin mimpi-mimpi itu hanya kebetulan dan bunga tidur saja seperti kata orang-orang, hanya saja mimpi itu terus melayang di depan mata seolah mereka sengaja ingin mengangguku. Suara Geral yang menabuh gendang telingaku hingga sentuhan jemarinya di puncak kepala, semua terasa nyata seakan aku bisa merengkuhnya sekarang, saat ini juga. Aku tersentak kala suara benda pecah bergema memenuhi ruangan.

Tikuskah atau kucing?

Perkiraanku sepertinya benar-benar meleset saat suara langkah kaki mulai terdengar dari luar. Seingatku semalam pintu depan sudah dikunci. Jangan-jangan ada maling yang masuk ke rumah seperti yang dikatakan Alex dan Tante samping rumah. Tidak, tidak, itu konyol. Lagi pula, tidak ada yang bisa mereka curi dariku. Aku tidak memiliki apa pun.

Aku belum sempat turun dari tempat tidur saat kenop pintu kamarku berputar. Mataku membola saat pintu menjeblak terbuka. Sosok tinggi dengan penutup yang melapisi wajahnya hingga hanya tampak bagian mata kini menodongkan sepucuk pistol rakitan ke arahku.

"Jangan bergerak!" katanya dengan suara sengau di balik penutup kain yang menutupi mulutnya.

Malam ini, aku benar-benar didatangi maling. Kalau tadi aku berharap terbangun dari mimpi, kalau sekarang aku memilih kembali ke alam mimpi dibanding terjaga. Gigilan hebat merambati tubuhku kala melihat mereka mulai masuk ke dalam kamarku. Jangankan untuk berlari atau mengambil apa pun untuk melawan, pikiranku sekarang benar-benar kosong. Tubuhku pun sama, tetap membeku di tempat. Mendadak aku tidak yakin apakah aku punya kaki atau tidak. Ludah besar-besar menuruni tenggorokan sementara keringat dingin mulai merambati tengkukku. Namun, bibirku tetap mengatup rapat dan aku benar-benar gagal untuk sekedar berteriak.

Tuhan, aku sudah lama tidak percaya padamu, aku juga jarang berdoa, tapi untuk kali ini saja kumohon buat mereka pergi dari tempat ini.

"Di mana uangmu?" katanya sambil bergerak mendekat dengan senjata di tangan.

Aku terdiam. Sial, bukan Tuhan yang menjawab doaku, tetapi malah maling. Mereka juga bertanya soal uang. Tapi, uang apa yang mereka cari. Aku sama sekali tidak memiliki uang.

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now