Purnama Pertama

75 18 0
                                    

Warning: violent scenes.

.

.

Setelah aku merenggut kalungnya, pemuda itu sempat oleng. Posisinya yang tidak stabil memberiku celah untuk meloloskan diri. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan langsung berdiri. Namun, aku tidak bisa bergerak lebih jauh karena Geral kini juga sudah kembali tegak. Pemuda itu memiringkan kepala dan menatapku seolah sedang memindai situasi. Sementara itu, aku mencoba tetap tenang. Tanganku kini meremas luka menganga di bagian atas lengan dengan harapan darah yang mengalir segera berhenti.

Bau anyir dan keringat mengambang di udara. Bau yang membuat hidungku sesak dan menimbulkan pening di kepala. Pemuda itu masih menatapku tanpa berkedip. Ekspresi wajahnya tidak terbaca hingga membuatku bergidik. Apalagi ditambah dengan gunting berlumuran darah yang masih ada di tangannya.

Sekarang gantian aku yang memandangi benda tajam itu, aku benar-benar berharap dia akan menjatuhkannya. Namun, sepertinya harapanku tidak akan menjadi kenyataan. Jantungku berdebar lebih cepat ketika menyadari kalau manik matanya kini menyorot penuh selidik. Warna hitam yang masih tetap tajam tanpa ekspresi. Bukan rasa dingin, bukan kekejaman, bukan pula cinta. Sejenis rasa ingin tahu atau penasaran terpancar di sana. Mungkin hanya perasaanku, entahlah.

Aku menarik napas pelan sembari berusaha mencari cara untuk meloloskan diri. Memikirkan soal senjata tajam itu masih di dalam genggamannya itu membuatku tidak tenang. Dia bisa menghujamkan benda itu ke tubuhku kapan saja. Untuk saat ini aku sama sekali belum aman dari bahaya. Ya, sebenarnya aku juga tidak pernah sepenuhnya terlindungi.

"Enza?" panggilnya lagi. Suaranya terdengar serak.

Bukan Geral. Cara dia menyebutkan namaku. Dering suaranya asing dan berbeda. Lagi pula, nada bicaranya lebih menyiratkan soal pertanyaan, bukan sejenis panggilan. Masalahnya adalah bagaimana bisa pemuda ini tahu namaku?

"Si—siapa kamu?"

Pemuda itu tidak menjawab. Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman tipis. Senyuman yang malah membuatku bergidik ngeri. Gara-gara itu, aku terus bergerak mundur saat pemuda itu mendekat. Satu hal yang bisa kupastikan, dia bukan Geral. Pemuda ini adalah orang asing yang tidak kukenal.

"A—aku ta—nya, si—siapa kamu?"

Mataku memindai bergantian antara leher dan tangannya yang masih mengenggam gunting berdarah itu. Kalung hitam itu masih menggantung lemah di leher pemuda itu dan belum terlepas sepenuhnya. Aku melirik cahaya bulan yang bersinar dari balik jendela. Bulan purnama. Hari ini bahkan belum sampai purnama ketiga, seharusnya jiwa pemilik raga itu kembali. Kalau bukan pemilik tubuh itu sendiri maka siapa yang ada di dalam sana?

"Kamu terluka," katanya lagi mengoyak semua hal yang kupikirkan.

"Enggak." Aku berbohong sembari meremas luka yang masih menganga di lenganku. "Jawab dulu, siapa kamu?"

Aku tidak ingin terlihat lemah dengan mengakui kalau sekarang tanganku terluka. Jadi sebisa mungkin menutupinya. Tangannya terjulur saat tubuhku ini merapat ke tembok. Napas menderu keluar dari kedua lubang hidungku. Rasa perih masih mengigit sementara tanganku yang meremas luka mulai terasa lengket. Mungkin aku akan berakhir pingsan karena kehabisan darah. Kalau itu terjadi maka aksi pura-pura kuat ini akan segera berakhir.

"Lenganmu berdarah!" ucapnya lagi sambil terus bergerak mendekat.

"Jangan sentuh aku!" hardikku galak.

"Aku hanya ingin nolongin kamu," katanya lagi.

Aneh sekali, ekspresi wajah pemuda itu terkesan prihatin. Mungkinkah pemuda ini tidak seburuk yang aku pikirkan? Aku masih berusaha mencari kepura-puraan di wajahnya yang mungkin lolos dari pengamatan. Nihil. Tidak ada apa pun yang kudapatkan. Namun, kalau dia tidak jahat, kenapa dia menyerangku?

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now