I Don't Want This Face

125 21 2
                                    


Aku menguap lagi. Rasanya masih mengantuk. Hangatnya cahaya mentari pagi malah membuatku semakin malas untuk membuka mata. Apalagi seseorang kini tengah mendekap erat tubuhku hingga embusan napasnya membelai puncak kepalaku. Aku kembali bergelung saat tubuh hangat itu memberikan lebih kenyamanan.

Tunggu! Seseorang memelukku.

Memikirkan kenyataan yang mengagetkan ini, aku buru-buru membuka mata. Pupil mataku melebar ketika benar-benar menekukan sosok yang kini ada di dekatku. Pemuda itu juga masih terpejam. Aku beringsut untuk melepaskan tubuhku dari dekapannya. Aku mendengkus pelan ketika semua usahaku sia-sia. Lengan itu masih memeluk tubuhku dengan erat. Di tengah usaha untuk melepaskan diri, aku mendongak dan menatap rahang pemuda. Netraku bergerak dari rahangnya yang tegas hingga tulang pipinya yang tinggi.

"Geral!" bisikku pelan sembari berusaha menarik lenganku yang masih terjepit.

Ketika aku berhasil menarik lengan, jemariku langsung menjangkau wajah pemuda itu dan menelusuri wajahnya. Ini benar-benar Geral, kan?

Wajah ini sama sekali berbeda dari wajah Geral yang kukenal. Rasanya aku masih belum percaya kalau sosok asing ini adalah kekasihku. Rupa yang asing, tetapi anehnya aku seperti pernah melihatnya sebelumnya. Aku buru-buru membuang jauh-jauh pikiran itu. Tidak mungkin, aku sama sekali tidak mengenalnya.

Selain aku, Geral sepertinya belum menyadari tubuh barunya. Satu pertanyaan melintas di benakku sekarang, apa yang akan dipikirkan olehnya ketika mengetahui wajah dan tubuh barunya?

Saat aku masih sibuk menelusuri wajah asing yang kini ada di hadapanku, Geral mendesah berlahan lalu pelan-pelan matanya terbuka.

"Enza," gumamnya.

"Geral?"

"Ya, Enza. Ini aku," katanya masih dengan suara asing yang sama seperti sebelumnya.

"Cium aku!"

"Baiklah."

Geral tersenyum samar kemudian mengecup keningku dengan lembut. Satu detik setelahnya, Geral langsung menarikku dalam pelukan. Aku juga membalas pelukannya hingga aku bisa merasakan detak jantungnya yang kini berpacu cepat. Ini jelas bukan mimpi. Geralku hidup. Dia sekarang ada di dunia dengan jantung dan tubuh yang bergerak.

"Kenapa wajah ini?" Suaranya terdengar serak dan pecah.

"Ada apa?" Aku buru-buru menarik tubuhku dari pelukannya.

Dia tidak menjawab pertanyaanku atau menatapku. Matanya masih memandang ke depan. Wajahnya kaku dan ekspresinya tidak terbaca. Aku beringsut, lengannya sudah melonggar. Aku menoleh mengikuti arah matanya untuk melihat yang tengah ditatap pemuda itu.

Dari posisinya, Geral memang bisa melihat langsung ke cermin besar yang ada di samping tempat tidur. Kini Geral sedang menatap cermin itu tanpa berkedip sementara pantulan wajahnya terbentuk di cermin besar itu. Sementara itu, wajahku ada di sebelahnya dengan kening berkerut. Kami sama-sama masih berbaring di kasur, tetapi mata Geral membelalak. Ekspresi wajahnya terrlihat ketakutan.

"Wajah ini—" Suara serak itu terputus oleh tarikan napas kasar dan berat. Dia buru-buru bangun. Aku pun ikut bangun dan memposisikan diri di depannya. "Bagaimana bisa?"

"Ge—Ge—eral, aku bisa jelaskan," kataku sambil mengusapkan jemari di pipinya.

"Ini tidak mungkin. Tidak boleh wajah ini." Geral menggeleng, bola matanya bergetar sementara suaranya benar-benar terdengar ketakutan.

"Apa maksudmu dengan enggak boleh wajah ini?" tanyaku. Aku sama sekali tidak paham dengan reaksinya kali ini.

"Aku tidak mau wajah ini," katanya.

"Ya, tapi kenapa? Apa alasannya? Tolong jelasin sama aku!"

Namun, Geral tidak memberikan jawaban. Mata hitamnya menyorot tajam. Tubuhnya bergetar hebat. Pemuda itu kini menggigit bibirnya. Mungkin dia merasa tidak nyaman denan wajah barunya.

"Geral!"

Geral lagi-lagi tidak menjawab hingga aku menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Aku juga mengirimkan kecupan singkat untuk menenangkan pemuda itu. "Geral, kamu dengar aku. Wajah ini adalah wajah penolongmu. Penolong kita."

"Tapi—"

"Kita bisa cari solusi nanti, operasi plastik atau apa. Yang penting kamu tenang dulu!" ucapku mencoba menenangkannya.

"Ah, iya, maaf."

"Enggak apa-apa. Aku bisa paham kalau kamu masih kaget dan sulit memahami situasi. Tapi, aku bisa jelaskan semuanya. Kamu mau, kan?"

"Iya," sahutnya sembari mengangguk.

Geral memang lebih tenang dibanding sebelumnya, tetapi dia masih terduduk diam di atas ranjang dengan kaki menekuk. Dia melakukannya tanpa bergerak. Bahkan sampai beberapa menit terlewat, dia masih belum mau beranjak. Entah apa yang salah dari wajahnya. Aku sendiri tak tahu.

"Tolong tinggalin aku!"

"Apa maksud kamu?"

"Tinggalkan aku sendiri!" pintanya. Wajahnya terlihat memohon hingga membuatku tidak tega.

"Kamu enggak apa-apa kutinggal sendirian?"

"Iya, tolong. Aku mau sendirian dulu."

"Baiklah. Aku akan keluar."

Aku langsung berdiri. Aku bisa paham ketakutannya sekarang ini. Dia pasti kebingungan karena terbangun dalam tubuh orang lain. Mungkin aku harus memberinya sedikit waktu. Meski begitu, aku benar-benar khawatir melihat reaksinya. Aku menoleh sekali padanya sebelum beranjak keluar, pemuda itu masih duduk di atas ranjang. Tidak lama setelahnya aku mendengar suara benda pecah kala pintu kamar itu tertutup.

"Geral!" pekiku sambil berlari kembali masuk ke kamar itu.

Napasku tercekat saat menemukan cermin besar itu sekarang tidak utuh lagi. Geral ternyata meraih vas bungayang semula ada di pojok nakas dan melemparkannya ke permukaan cermin itu. Tidak lama setelahnya dia memekik keras sambil meremas pipinya dengan kedua tangan.

Melihatnya seperti itu, aku langsung memelesat mendekatinya. Semua ini akan berakhir buruk kalau dia tidak bisa ditenangkan. Aku sama sekali tidak menduga kalau Geral akan membenci wajah dan tubuh barunya.

"Geral, aku mohon tenanglah!"

Namun, Geral benar-benar mengabaikanku. Pemuda itu sekarang membenamkan kukunya ke dalam permukaan pipinya.

"Jangan lakukan itu! Aku mohon."

"Lepas! Aku benci wajah ini, aku akan mencabiknya."

"Jangan, aku mohon."

Aku memegangi tangannya, tetapi Geral malah menepis peganganku dan mendorongku menjauh. Namun, aku tidak menyerah. Sekarang aku memeluk tubuh pemuda itu dengan sekuat tenaga. Meski pemuda itu berontak, aku masih tetap berusaha bertahan. Napasnya menderu sementara bahunya bergerak naik turun.

"Maafkan aku, Geral. Maaf!" pintaku sambil memeluk tubuhnya yang masih genetar. "Aku akan buang cerminnya, oke!"

"Tapi, wajah ini tetap akan ada."

"Aku akan buang semua cermin di rumah ini, jadi kamu enggak perlu lihat," kataku mencoba meyakinkannya. "Setelah itu, kita bisa ke dokter."

"Ke dokter?" tanya Geral membeo.

"Iya, ke dokter. Kita bisa ganti wajah kamu. Jadi, kamu enggak akan lihat wajah ini lagi."

Itu hanya omong kosong. Aku tidak punya uang untuk membayar biaya operasi untuk mengubah wajahnya. Tetapi, sepertinya cara itu cukup berhasil karena Geral jadi lebih tenang.

"Baiklah."

"Oke, jadi jangan marah lagi, ya!"

"Aku enggak marah."

"Iya, jadi kamu tenangkan diri dulu, oke!"

Geral kembali mengangguk. Aku menarik napas berat, tidak benar-benar merasa lega meski Geral sudah lebih tenang. Mungkin pemuda itu benar-benar kaget melihat penampakannya sekarang. Aku hanya harus lebih sabar dan tenang menghadapinya. Toh, semua itu tidak sebanding dengan kehilangan pemuda itu dan tidak pernah melihatnya lagi.

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now