Coma

143 23 0
                                    

Setelah Alisia pergi, aku sama sekali tidak bisa melakukan apa pun dengan benar karena pikiranku masih tertuju pada pemuda yang ada di kamar kakakku. Ternyata rasanya tidak tenang ketika ada bersama orang asing di satu rumah yang sama. Aku bukannya takut, hanya tidak nyaman. Benar, ini semua perasaan baru yang belum pernah kurasakan karena selama ini aku sendirian.

Akhirnya setelah beberapa jam menunggu, aku mengendap-endap ke dalam kamar—tempat aku membaringkan pemuda. Alasanku hanya untuk memastikan dia tidak bergerak. Ya, alasan yang dibuat-buat untuk memenuhi tuntutan rasa penasaran. Kini aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Aku mengamati wajah pemuda itu dari ambang pintu dan mengembuskan napas. Rasanya lega kala mendengar suara napasnya yang teratur meski kelopak matanya masih saling bertaut dan dia tampak benar-benar terlelap. Setidaknya jasad ini bukanlah mayat karena dia tidak bisa membayangkan untuk ada di satu rumah yang sama dengan bangkai manusia.

Aku memiringkan kepala, mataku masih menatapnya lekat-lekat. Aku tahu kalau dia tidak mati, hanya saja kondisinya itu terlalu nyenyak untuk disebut sedang tertidur hingga membuatku sedikit takut dan tidak yakin dia akan bangun. Walaupun aku tahu kalau seseorang dalam fase vegetatif seperti pemuda itu tidak akan terganggu dengan rangsangan dari luar dan akan tetap di fase yang sama sampai tubuhnya bangun sendiri. Aku sempat baca sedikit tadi kalau nyaris tidak ada aktivitas apa pun di dalam otaknya makanya mereka tidak bisa memberikan respon terhadap suara, sentuhan maupun rasa sakit. Mungkin karena hal ini pasien semacam ini tidak bisa dipaksa untuk bangun. Kurasa mereka akan sadar sendiri meski tanpa rangsangan dari luar. Lagi pula, katanya waktu sadarnya juga berbeda-beda, ada yang hanya membutuhkan waktu beberapa minggu, beberapa bulan atau bertahun-tahun tergantung pada kerusakan yang dialami area otak dan seberapa luas area otak ini dapat berfungsi. Mungkin semakin parah kerusakannya maka pasien membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bangun. Nah, aku sendiri tidak tahu soal jasad ini. Dia akan bangun dalam waktu dekat atau tidak. Meski Alisia bilang kalau jasad ini akan bangun dalam waktu dekat, tetapi rasanya aku masih sulit percaya. Variabel itu selalu ada di segala situasi. Jadi, bagaimana kalau jasad ini tidak terbangun setelah bertahun-tahun terbaring di tempat ini?

Ah, tidak, tidak, tidak boleh terjadi. Pemuda itu harus bangun secepatnya. Aku bergerak mendekat dan memandanginya tanpa berkedip. Tanganku mengepal di kedua sisi tubuh. "Kamu harus membawa Geralku kembali. Aku bersumpah akan menghancurkanmu kalau kamu sampai tidak melakukannya!"

Aku tidak yakin apakah dia mendengarnya atau tidak tapi aku ingin mengatakannya saja. Napasku tersengal, jemariku menyentuh dada, rasa sesak dan sakit mulai menyiksaku lagi. Rasa sakit yang sering sekali menyiksa ketika aku mengingat pemuda itu. Senyuman, tawa, perlakuan manisnya hingga tanda lahir mungil sisi kiri keningnya. Semua itu membuatku sangat merindukannya. Jujur, aku masih belum rela melepaskannya pergi secepat ini. Mataku mulai basah lagi. Aku mengembuskan napas, mencoba untuk kembali tenang.

"Aku enggak akan nangis, karena kamu akan kembali. Benar, kamu akan kembali, Geral," gumamku ketika rasa sakit yang kurasakan perlahan-lahan mereda.

"Enza—"

Sebuah suara yang asing yang berat tiba-tiba saja memanggil namaku. Suara yang membuatku langsung membeku di tempat. Bulu kuduk di tengkuk tiba-tiba berdiri sementara jantungku berdebar kencang di dalam dada. Debaran itu semakin cepat ketika lamat-lamat suara langkah kaki terdengar mendekat.

"Siapa?" tanyaku sambil menoleh.

Sepi. Tidak ada sahutan. Aku tetap tidak menemukan siapa pun meski telah bergerak keluar. Aku menggigit bibir sementara tanganku terkepal. "Geral?"

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Kalau tidak ada siapa pun, maka tadi suara siapa? Langkah kaki siapa yang sejak tadi bergerak mendekat?

Aku meneguk ludah dan menyentuh tengkuk berusaha meredakan ketakutan yang tiba-tiba saja merayap mendekat. Setelahnya aku buru-buru menutup pintu dan berlari keluar. Membuka semua jendela dan pintu agar sinar matahari menyeruak masuk ke dalam rumah. Hantu takut matahari bukan, makanya mereka selalu keluar di malam hari. Aku masih berdiri di depan jendela sembari menyentuh gelang di tangan sembari menarik napas berat. Semoga saja semua yang kulakukan ini adalah hal yang benar.

Aku kembali melirik ruangan milik kakak lelaki itu dan bergerak mendekat untuk menutup pintunya. Sebenarnya masih ingin tahu apa yang terjadi di dalam sana, tetapi aku mengurungkan niat. Mungkin nanti malam atau besok. Ada banyak waktu tersisa hanya untuk sekedar menatap pemuda itu. Lagi pula sekarang aku harus membuka toko dan mencari uang untuk menyambung hidup. Seperti kata Alisia, aku masih miskin dan tidak mungkin menghidup laki-laki asing. Jadi aku memang harus mulai bekerja.

Aku membuka toko sejak keluar tadi pagi, mengantar pesanan bunga dari pelanggan di marketplace dan memesan makanan online di sela-selanya. Menjelang sore hari beberapa pelanggan datang ke toko. Sekarang aku melayani pelanggan terakhir hari ini karena sebentar lagi aku mau tutup. Seorang pria yang datang sendirian dan memesan mawar untuk istrinya—katanya. Jemariku memotong gagang bunga mawar kuning sebelum mengemas karangan bunga itu. Sesekali mencuri pandang pada pria yang kini masih menunggu dengan tidak sabar. Pria itu selalu memesan bunga setiap beberapa hari sekali. Jenis bunga yang berbeda-beda, tetapi warnanya selalu kuning.

Katanya kuning itu cerah, jawaban yang kudapatkan ketika aku menanyakan alasannya memilih bunga yang sewarna matahari. Aku tersenyum saat itu karena baik aku atau Geral sama-sama menyukai bunga matahari. Kami sering sekali pergi ke kebun bunga matahari di pinggiran kota. Geral mengajakku ke sana berkali-kali dan rela meluangkan waktu di jam-jam sibuknya.

"Aku pikir kamu belum mulai buka, Mbak," katanya.

"Sudah kok, Pak."

"Ikut berbela sungkawa, ya. Semoga Mas Geral tenang di sana."

"Terima kasih, Pak," kataku dengan napas tercekat.

Aku menunduk dan mencoba mengabaikan mataku yang mulai berair dengan sibuk mengatur karangan bunga. Ketika akhirnya rangkaian bunga itu selesai, aku langsung mengulurkannya. "Ini sudah, Pak."

"Terima kasih." Pria itu tersenyum ramah membayar sejumlah uang.

Setelah pria itu pergi, aku mengambil empat tangkai bunga matahari dan aku menutup toko setelahnya. Geral mungkin tidak akan melihatnya, tetapi mungkin pemuda itu akan menyukainya kalau aku menaruhnya di kamar nanti. Aku hanya berharap dia sudah bangun ketika aku pulang. Jantungku berdebar kencang dan bibirku terus-terusan memilin senyuman ketika membayangkannya.Namun, harapanku tidak mewujud jadi nyata. Pemuda itu masih belum bangun.

Kini aku mendekat dan membanting pantat di permukaan ranjang. Memposisikan diriku di tepiannya sembari menatap pemuda berambut hitam dengan tahi lalat di dagu itu. Tanganku terulur ingin sekali menyentuh wajahnya. Eh, untuk apa aku menyentuh wajahnya. Wajah itu bukan milik Geral. Meski aku memandanginya sampai mataku terjatuh sekalipun, pemuda ini sama sekali tidak mirip Geral.

Hanya saja, rasa-rasanya aku pernah melihatnya di suatu tempat. Tahi lalat di dagu dan beka luka di kening itu tidak asing. Ah, bisa jadi pemuda ini salah pelanggan di tokoku makanya aku seperti pernah melihatnya. Benar, pasti seperti itu. Masalahnya, kalau beberapa kali datang, aku pasti ingat seperti pria pembeli bunga kuning itu, aku mengingatnya. Tetapi, aku sama sekali tidak ingat pemuda ini. Bekas luka itu, apa ya?

Aku mengulurkan tangan untuk menyibak rambut dan menyentuhnya. Namun, tanganku baru bergerak setengah jalan ketika daun jendela di kamar itu bergerak menutup. Terbanting keras seolah angin menabraknya secara paksa. Aku buru-buru menarik tanganku lagi. Seluruh bulu di tubuhku mulai berdiri tegak. Lalu suara langkah kaki itu kembali terdengar.

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now