Sosok Pengganti

170 25 8
                                    


Tepukan Alisia masih bertahan sampai beberapa menit setelahnya. Tindakan Alisia tidak membuatku lebih tenang karena aku sendiri tidak yakin apakah pilihanku memang hal yang tepat. Meski begitu, aku tidak bisa mundur lagi. Menunggu sampai tahun depan atau tahun depannya tanpa jaminan kalau Alisia bersedia membantu itu buruk.

"Lalu, di mana kita akan mencari tubuh yang sesuai untuk Geral?" kataku akhirnya.

Alisia tersenyum lagi. "Aku sudah mengurusnya. Tidak usah berterima kasih, semua itu bagian dari servis."

"Servis-mu menyeluruh?" Aku mengerjap beberapa kali, benar-benar tidak percaya dengan perkataan Alisia barusan.

"Ya. Agar pelanggan puas, hidup di zaman sekarang itu begitu sulit kalau kita tidak pintar." Alisia tersenyum lagi. Sekarang gadis itu bertingkah

"Iya, juga sih." Aku mengangguk membenarkan. Lagi pula, aku tidak punya kepentingan untuk menyanggah pendapatnya.

"Jadi—"

"Apa?" tanyaku ketika Alisia menggantung kalimatnya.

"Bagaimana kalau kita berangkat saja sekarang?"

"Hah, sekarang?" Suaraku menanjak naik, aku benar-benar gagal menutupi kekagetan.

"Mungkin sebulan lagi." Alisia masih tetap konsisten dengan sikap menyebalkannya. Gadis itu lalu menaruh kotak berukir yang masih berisi kalung itu ke tanganku. "Atau sekarang, kamu yang tentukan, Enza!"

"Tapi, kalau sekarang aku enggak punya uang buat bayar kamu."

Alisia mendengkus. "Jangan pikirkan soal itu, aku tidak akan menagih dalam waktu dekat."

"Benarkah?" tanyaku tidak bisa percaya begitu saja.

"Aku tidak semiskin itu, oke!" tegasnya.

Meski itu agak sulit dipercaya mengingat rukonya yang kecil, berbau karat dan berantakan sekarang ini. Alisia yang mendadak mau membantuku saja sudah luar biasa. Gadis ini bahkan memberikan banyak penawaran tanpa menuntut bayaran. Kecuali Alisia menginginkan bayaran yang sangat banyak, rasanya aku tetap harus mencurigai niatnya. Apakah memang benar ada hal lain?

Tepukan Alisia di tanganku membuyarkan semua hal yang sempat terpikirkan. Aku berdeham pelan dan mencoba untuk berpura-pura bersikap biasa saja. "Baiklah. Kalau itu yang kamu mau," kataku mencoba menjawab setenang yang kubisa.

"Ingat, ini yang kamu inginkan. Semua ini bukan tentang aku, Enza."

"Iya, iya, maaf, ini hanya tentang aku dan kamu membantuku. Begitu, kan?" ucapku mengoreksi.

"Tepat. Jadi, jangan buang waktumu lebih banyak lagi, tengah malam akan segera tiba."

Aku mengangguk dan memasukkan kotak itu ke dalam tas. Alisia sendiri sudah berjalan meninggalku hingga membuatku tertatih mengikuti langkahnya sambil menutup risleting tas yang semula menganga. Kami bergerak ke depan dan matahari belum memberikan semburat merahnya di langit.

Aku memutar kunci dan menyalakan mobil saat Alisia duduk di kursi penumpang. Gadis itu memberikan secarik kertas berisi alamat. Seketika aku mengembuskan napas lega. Alamat itu bukan merujuk pada lokasi pemakaman terdekat. Menggali mayat jelas bukan hal yang menyenangkan untuk dilakukan pagi-pagi ini, meski dilakukan sore atau malam pun tetap menyebalkan. Walau mungkin Alisia akan memasukkan jiwa ke dalam mayat, yang terpenting bukan menggali kuburan.

Sejujurnya aku masih penasaran dengan ritual pemanggilan jiwa yang harus dilakukan di tanggal tertentu dan cara Alisia melakukannya. Mengingat aku belum pernah dengar ada orang mati yang bisa kembali ke dunia, jadi aku sama sekali tidak paham. Mungkin Alisia melakukan pemanggilan jiwa ini dengan ilmu alkimia yang legendaris atau malah dengan sihir sepenuhnya atau praktek perdukunan mengingat negeri ini masih sarat aroma klenik. Entahlah, aku tidak paham.

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now