Birai Jendela dan Janji yang Tertinggal

123 24 0
                                    

Mungkin selama ini aku tidak pernah menyadarinya, tetapi suasana rumah ini mendadak lebih hening dan mencekam. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan lalu menatap ke segala arah. Bulu kudukku meremang hingga jemariku harus mengusapnya berulang kali. Namun, aku tidak menemukan apa pun. Suara langkah kaki itu yang tadi kudengar juga menghilang sesaat setelahnya. Aku menarik napas lega, memang tidak ada apa-apa di rumah ini.

Setelah merasa lebih tenang, aku kembali menekuni wajah pemuda itu. Kali ini aku benar-benar yakin kalau wajah ini benar-benar tidak asing seolah-olah aku pernah melihatnya di suatu tempat. Bukan pelanggan atau semacamnya, tetapi seseorang yang pernah kukenal. Hanya saja, aku tidak pernah ingat pernah melihatnya di mana. Mungkin teman semasa sekolah atau kuliah, aku sendiri tidak tahu. Atau mungkin karena aku memikirkan Geral makanya membuat pemuda ini terasa lebih dekat. Kata Alisia kan jiwa Geral ada di dalam tubuh pemuda ini. Mungkin teori ini tidak masuk akal, tetapi ada yang bilang kalau seseorang yang hubungannya dekat akan mirip satu sama lain. Makanya banyak teori yang menyebutkan kalau jodoh meski awalnya berbeda, pada akhirnya akan mirip juga.

Aku memilih percaya teori ini, mungkin karena Geral ada di dalam tubuh pemuda ini maka aku jadi merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Terasa dekat, familier dan tidak asing. Ya, Geralku memang seharusnya tidak akan pernah jadi sosok asing. Aku menatap tubuh asing itu lalu menarik napas berat.

"Kapan sih kamu bangunnya?" gumamku. "Tidur terlalu lama akan membuatmu lelah."

Tubuh itu tetap membeku dan pasti tidak akan menjawabku. Jadi, aku memilih untuk menarik selimut hingga menutupi lehernya. "Kuharap kamu bangun saat aku kembali."

Aku berjalan keluar setelah menoleh sekali lagi ke arah pemuda itu sebelum menutup pintu. Sekarang aku bergerak ke dapur untuk mengisi perut. Aku mendesah kecewa saat mengambil membuka penghangat nasi. Nasi putih itu bahkan belum berkurang separuhnya. Memang sepenuhnya salahku karena aku selalu memasak lebih banyak, berjaga-jaga kalau Geral bangun sewaktu-waktu. Hanya saja, pemuda itu tidak kunjung membuka mata.

Kondisi ini membuatku lelah, sebal dan kesal. Aku bahkan sampai berburuk sangka kala Alisia telah berdusta dan menipuku. Ya, aku tahu kalau hal ini tidak mungkin terjadi. Aku tidak menemukan ada keuntungan untuk menipu manusia tanpa uang sepertiku. Lagi pula, menipuku juga beresiko karena aku bisa saja melaporkan semua ini pada polisi dan menuduhnya menculik pemuda itu.

Ngomong-ngomong soal menculik ini, aku jadi kepikiran soal asal jasad itu. Aku belum sempat menanyakannya pada Alisia perihal tubuh pemuda yang kini ada di rumahku. Ya, aku belum memiliki kesempatan untuk menanyakannya karena aku masih masih ragu dan takut. Mungkin nanti aku akan menanyakan soal ini pada perempuan itu kalau sudah bertemu dengannya. Lebih baik aku fokus makan dulu.

Setelah menggeleng beberapa kali untuk menghapuskan semua gagasan aneh yang ada di dalam kepalaku, aku mengambil nasi dan lauknya. Selanjutnya aku beranjak duduk di birai jendela dengan mangkok di tangan. Dibanding di meja makan, aku senang makan di tempat ini sambil mengamati jalanan. Makan di meja makan sendirian itu rasanya tidak nyaman. Ya, meski aku sudah lama sendirian di rumah ini. Pada akhirnya aku hanya salah satu manusia yang tidak terbiasa dengan rasa sepi. Padahal kesepian sudah ada di sini sejak aku ditinggalkan oleh Ayah dan kakak lelakiku.

Desahan berat berembus keluar dari mulutku. Alasan lain aku memiih duduk di sini adalah aku ingin melihat jalanan di bawah sana. Mungkin saja Ayah akan menjemput atau Alex akan datang. Sayangnya, harapan itu tidak pernah terkabul. Tidak ada yang datang hingga bertahun-tahun berikutnya. Kebiasaan itu tetap melekat meskipun sekarang aku hanya memandangi jalanan bukan berharap ada seseorang yang akan datang.

Alex hanya sesekali menemuiku di sekolah, selebihnya dia jarang sekali datang. Dia baru mulai sering datang setelah kami sama-sama dewasa dan dia bisa menentukan kegiatannya sendiri tanpa campur tangan Ayah. Mungkin dia sudah terlepas dari pengawasan Ayah setelah dewasa. Kegiatan menunggu menjadi menyenangkan saat orang yang kutunggu itu datang. Geral selalu muncul di sana, di jalanan itu nyaris setiap hari. Dia bahkan memintaku untuk tidak menunggu di birai ini lagi karena dia takut aku terjatuh, padahal aku bukan anak kecil lagi. Namun, aku tidak akan pernah melewatkan pemandangan ketika mobilnya terparkir di dekat pagar dan pemuda itu melangkah turun. Aku tidak ingin melewatkan senyumannya ketika dia mendongak. Aku tidak mau absen melambaikan tangan saat dia datang. Aku mencintainya makanya aku rela melakukan semua hal itu meski aku tahu kalau Geral tidak membiarkanku menunggu. Cinta bukan perkara menunggu tanpa kepastian karena Geral membawa kepastian itu makanya aku yakin dia juga mencintaiku sama besarnya. Tidak, ralat, cintaku lebih besar.

"Aku pasti datang," katanya saat itu. "Jadi kamu tidak perlu menunggu suatu hal yang sudah pasti."

"Janji."

"Aku janji, Enza."

Lalu, janji itu ternyata diingkari. Geral tidak datang lagi. Pemuda itu tidak akan pernah datang lagi. Jemariku meremas gagang sendok sebelum meraup makanan. Kunyahanku semakin cepat saat merasakan mataku mulai memanas. Aku mulai makan karena aku harus tetap melakukan itu untuk hidup. Meski sampai saat ini aku masih tidak paham kenapa aku harus bertahan hidup padahal mati—karena kelaparan misalnya—jauh lebih mudah dilakukan. Atau mungkin pilihan mati itu tidak sepenuhnya mudah. Itu benar, aku masih tidak menemukan alasanku tetap keras kepala untuk hidup, padahal alasanku untuk bertahan sudah tidak ada lagi.

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now