Kebimbangan

95 21 4
                                    


"Apa kamu ingat namaku, Za?" katanya.

Leherku rasanya kaku saat jemari Geral menyentuhnya. Nasi goreng yang lengket masih melekat di tenggorokan. Aku semakin sulit bernapas. Aku mendesah lega kala cengkeramannya mengendur. Aku terbatuk hebat ketika rasa pedas menjalari mulutku.

"Tentu saja kamu ingat. Masa iya lupa nama pacar sendiri. Iya, kan?" katanya.

Aku mengangguk karena batuk yang tiba-tiba datang tidak kunjung menghilang.

"Minum dulu, Za!" Geral meraih gelas air putih dan mengangsurkannya padaku.

Sejujurnya, aku ragu untuk menerima gelas itu, tapi rasa pedas di tenggorokan jauh lebih penting daripada keraguanku. Geral tersenyum lalu memposisikan dirinya di depanku. Aku tidak berani menatapnya meski aku berulang kali meyakinkan diri sendiri kalau semua ini hanya kesalahpahamanku sendiri.

"Terima kasih," kataku sambil menaruh gelas kembali ke meja.

"Sama-sama."

"Soal nama tadi," kataku dengan suara parau yang masih belum hilang.

"Ya?"

Aku menahan napas. Bibirku bergetar terlalu kaku untuk memilih jawaban. Semoga aku menjawab dengan benar. "Geral Wicaksono."

"Nah, iya. Geral siapa lagi?!" Geral tertawa sekarang—benar-benar terlihat geli. "Kenapa kamu terlihat bingung sih, Za?"

Aku terpaku. Masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Sebenarnya aku tidak yakin soal jawabanku tadi. Entah karena masih terbawa mimpi buruk atau penampakan pemuda asing itu membuatku jadi ragu-ragu. Namun, satu hal kecil yang kusadari sekarang. Geralku tidak pernah tertawa selepas ini hanya untuk hal-hal kecil. Matanya bahkan tertutup saat tertawa hingga lekuk di pipinya melesak cukup dalam. Suara tawanya yang renyah benar-benar asing.

Secara teori, aku tahu kalau pemuda itu adalah Geral. Setidaknya jiwa yang menggerakkan tubuh itu adalah kekasihkku. Lagi pula, raga tanpa jiwa juga tidak akan bisa hidup. Masalahnya, tindakannya memberikan gambaran lain yang membuatku bimbang. Perubahan drastis ini padahal kemarin dia benar-benar membenci tubuhnya dan terlihat akan melukai dirinya sendiri kapan saja. Apakah Alisia melakukan sesuatu? Tapi, gimana caranya?

"Za!"

"Hmm."

"Kamu dengar aku, kan?"

"Dengar kok."

"Enza!" Pemuda itu kini memiringkan kepala dan menatapnya lekat-lekat.

"Ya, Geral." Kali ini aku juga memandanginya.

"Enza Kamajaya!"

"Iya, Geral. Kenapa?"

Geral mengulurkan tangan dan menarik ujung rambutku. Pemuda itu kemudian menyarangkan satu ciuman singkat di helaian surai warna hitam itiu. Setelahnya senyuman samar mengembang di bibirnya. "Aku hanya ingin memastikan kalau ini benar-benar kamu, Za."

"Ini beneran aku kok. Jadi, kamu bisa panggil namaku sesukamu."

"Oke, lakukan hal yang sama padaku. Panggil namaku agar aku ingat kalau aku Geralnya Enza."

"Pasti. Jangan khawatir!"

"Aku sayang kamu, Za."

Setelah mengatakan semua itu, Geral menyarangkan satu kecupan ringan di pipiku. Kecupan itu berlanjut menjadi ciuman. Ah, ciuman ini aku benar-benar mengenalnya—dan merindukannya.

"Kita keluar, yuk!" kataku ketika akhirnya adegan panas itu berakhir.

Geral mengerutkan kening. "Ke mana?"

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now