Tanda

104 21 2
                                    


Saat Geral tidur, aku keluar dari rumah. Tujuanku adalah menemui Alisia. Ada hal yang ingin kutanyakan kepadanya. Aku sudah mengunci rumah dan berharap Geral akan tidur selama aku pergi. Lagi pula, aku berharap kalau kunjunganku tidak akan berlangsung lama.

Aku menarik napas pelan. Ruko tempat Alisia bekerja sebagai peramal masih ada di sana. Ruko itu tetap usang seperti biasanya. Aku yakin bahkan papan nama Madam Alisia itu mulai miring dan mungkin sebentar lagi akan jatuh. Di atas keusangannya yang mengagumkan, tempat ini tetap membangkitkan bulu kuduk. Meski begitu, aku mencoba mengabaikan semua itu dengan mendorong pintu dan berjalan masuk. Toh, aku yang memang berniat datang ke tempat ini.

"Permisi! Alisia?!"

"Langsung masuk saja!" Suara Alisia terdengar dari dalam. "Langsung duduk saja, aku akan buatkan teh dulu!"

"Oke."

Aku berjalan masuk semakin dalam, ke lokasi di belakang ruko. Benar-benar mencoba untuk tidak menabrak apa pun karena pencahayaan yang terbatas di tempat ini. Aku mendesah lega akhirmya sampai di dalam ruangan. Setelah menemukan ruangan yang dimaksud, aku duduk di salah kursi yang mengitari meja makan. Meja itu bulat dan mungil. Ruangan ini biasa saja. Tidak ada yang istimewa hanya tumpukan barang-barang dan beberapa perabotan untuk makan. Alisia tidak punya banyak barang. Meski tidak berjejal barang-barang di dalamnya, ruangan ini pengap dan sesak. Mungkin karena sangat tertutup dan tidak tersentuh cahaya matahari.

Aku menarik napas berat kemudian menatap sekeliling. Tatapanku tertuju pada potret besar di pojok ruangan. Entah mengapa potret itu menarik perhatianku. Tanganku terulur untuk menarik tirainya. Namun, suara deheman pelan membuatku tersentak. Aku buru-buru melepaskan tanganku dari tirai yang menutupi potret itu dan mengurungkan niatku untuk mengintip. Padahal sebenarnya aku benar-benar penasaran. Kalau sampai ditutupi maka pasti sesuatu yang sangat penting.

Alisia memang tidak menegur ulahku barusan. Perempuan itu bahkan tidak mengatakan apa pun sampai ku kembali duduk di posisi semula. Alisia langsung duduk di hadapanku setelah menaruh nampan di atas meja. Gadis itu kemudian menyodorkan satu cangkir ke arahku. Aku menarik cangkir itu lebih dekat dan mengetukkan jari-jariku di permukaannya yang licin.

"Jadi—" Alisia memiringkan kepala dan menatapku lekat-lekat. "Ada apa sampai kamu repot-repot datang ke sini."

Jari-jariku masih bermain di permukaan cangkir sementara kepalaku menunduk. Aku sama sekali tidak menatap Alisia. "Ini soal Geral."

"Kutebak dia sudah bangun makanya kamu datang," katanya sambil menautkan jemarinya.

"Kamu benar."

"Lalu?"

Aku meneguk ludah sebelum mulai bicara lagi. Setelah merasa sedikit lebih tenang, aku menceritakan semua yang terjadi. Aku melakukannya karena kurasa Alisia memang sudah seharusnya mengetahui hal ini.

"Apa kamu tahu cara untuk membuat Geral berhenti mengamuk dan bisa lebih tenang?" tanyaku setelah mengakhiri cerita.

"Bukankah dia sudah berhenti mengamuk?" tanya Alisia tenang. Nada suaranya masih sedingin biasanya.

"Iya sih."

"Kalau begitu tidak akan ada masalah. Dia hanya kaget, kamu hanya harus memahaminya. Berada di tubuh orang lain itu pasti rasanya aneh, Za. Kamu sendiri bakalan sefrutasi pacarmu itu kalau mengalaminya sendiri."

"Iya, aku paham juga soal itu."

"Nah, jadi kamu tidak perlu pikirkan soal itu. Mulai besok dia akan kembali jadi Geral yang selama ini kamu kenal."

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now