Fake Concern

72 20 2
                                    


Aku masih menunggu hingga kehilangan kesadaran soal waktu. Namun, satu dari sekian hal yang kupastikan adalah jiwa Rael telah menghilang, begitu juga dengan jiwa Geral. Kepergian mereka menyisakan kerlip terakhir di gelang yang kupakai sebelum akhirnya padam. Mereka mungkin memasuki raga yang sama dan berdiam di sana karena tubuh itu masih belum bergerak.

Selain kerlip gelang, luka di leherku bertambah panjang sekian sentimeter. Aku mengernyit pelan saat menyentuhnya. Sebenarnya tidak sakit, hanya terasa aneh karena entah bagaimana luka itu hilang lebih cepat daripada goresan paling dangkal sekalipun. Hal ini sebenarnya cukup menguntungkan karena aku tidak perlu repot-repot menjelaskan soal ini pada Alex kalau dia datang nanti.

Namun, bekas luka itu ternyata menggangguku karena menyisakan garis hitam mengerikan layaknya ular yang melilit leher. Kalau mau berburuk sangka bisa saja lilitan itu akhirnya memanjang dan menebas leherku sampai putus suatu saat nanti. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri.

"Tidak, tidak," gumamku sambil menggeleng pelan. "Dunia ini terlalu modern untuk hal-hal semacam itu, bukan?"

Aku mencoba meyakinkan diri sendiri kalau semua ini hanya perasaan buruk yang tidak perlu dipikirkan sampai seperti ini. Untuk saat ini, aku hanya perlu fokus untuk berjalan terus ke depan dan melakukan segala hal yang selama ini kuyakini. Meski masalahnya, aku tidak pernah yakin pada apa pun, bahkan Tuhan sekalipun.

Desahan panjang berembus keluar dari mulutku. Untuk mengalihkan perhatian, mataku beralih pada kepingan puzzle yang ditinggalkan Rael. Benda yang menjadi bukti bahwa aku berhasil melewati malam pertama pergantian jiwa dengan sukses. Merayu satu jiwa dengan cara yang cukup menyusahkan. Aku juga tidak mengerti alasan dia menyerahkan benda ini padaku. Benda ini terlalu lemah untuk bisa dibilang sebagai penjamin perjanjian atau apa pun sebutannya. Lagi pula, rasanya Rael juga tidak akan bisa mengambil paksa raganya kalaupun aku membuang benda ini.

Aku memiringkan kepala dan menatap benda di tanganku itu lagi. Ataukah benda ini mengandung jimat? Semacam jelangkung yang dirasuki roh?

Ah! Itu tidak mungkin. Kalau memang ada roh, kutukan atau jenis apa pun itu maka seharusnya keganjilannya sudah terlihat.

Anehnya, saat melihat kepingan puzzle, wajah sedih Rael kembali terbayang di pelupuk mata. Rasanya pasti menyakitkan saat seseorang tidak bisa memasuki tubuhnya sendiri. Namun, tidak banyak pilihan yang tersisa sekarang. Pilihanku tetap sama, aku akan memakai tubuh itu dan membuat jiwa pacarku bersemayam di sana sampai waktu perjanjian selesai.

Tanganku meremas potongan puzzle lebih erat, aku tahu aku egois. Hanya saja, keegoisan itu yang membuatku bertahan. Ya, bertahan atas nama cinta. Cintaku yang egois, karena Geral tidak boleh mati untuk kedua kalinya. Tidak boleh mati tanpa seizinku.

"Za!"

Aku terkesiap suara panggilan itu disertai tepukan pelan di bahuku. Saat aku mendongak, aku menemukan Alex di sana. Pria itu kini tersenyum padaku. Kakak lelakiku ternyata kembali lebih cepat dari kupikirkan. Untung saja, dia tidak datang ketika pertukaran jiwa terjadi.

"Bajumu ada di tas!" katanya.

"Terima kasih, Kak."

"Aku tadi bertemu dokter yang memeriksa Rael di depan," ucapnya lagi.

"Apa kata dokter?" tanyaku cepat.

Aku benar-benar ingin tahu kondisi pemuda itu. Hanya saja aku tidak berani bertanya kala dokter itu berjalan masuk ke dalam ruangan Rael. Mereka sedang menjalankan tugas jadi tidak pantas rasanya kalau harus mengganggu. Jadi aku hanya bisa menunggu dan saat Alex mengatakan soal dia bertemu dokter di depan, rasanya aku cukup senang.

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now