Manik Hitam

57 17 0
                                    


Kalau tidak ada masalah pekerjaan, kurasa Alex akan menolak untuk pergi. Kakak laki-lakiku itu pada akhirnya harus pergi juga. Meski setelah ini, Alex mungkin akan mencari segala cara agar Geral pergi dari rumah, tapi setidaknya aku bisa selamat kali ini.

Alex menepuk kepalaku dengan pelan, setelah itu dia juga mengecup ringan keningku. Aku diam saja dan memilih untuk menerima, toh semua itu tidak berarti apa-apa. Hanya kebiasaan lama yang sulit dilepaskan.

"Hati-hati di rumah ya, Za!" katanya sambil melepaskan pelukan.

"Kakak juga, hati-hati di jalan!"

"Kamu enggak lagi ngusir Kakak, kan?" tanyanya sambil mengangkat satu alis.

"Kak Alex mau bekerja, aku juga sama," kataku mencoba menjelaskan.

"Iya, iya, aku pergi," katanya sambil terkekeh pelan. "Enggak usah antar aku keluar!"

Aku hanya mengangguk. Aku memang tidak mengantarkannya keluar, katanya Alex tidak suka kalau diperlakukan seperti tamu begitu Alex kembali menepuk puncak kepalaku sebelum akhirnya berbalik untuk pergi. Pemuda itu menoleh sekilas pada Geral yang kini masih berdiri di dekat pintu. Geral sendiri mengangguk dan tersenyum.

"Aku pergi ya, Za!" katanya sebelum akhirnya tubuhnya menghilang ke balik pintu.

Tidak lama setelahnya, suara mesin mobil menderu cukup kencang. Suara yang membuat kepalaku kembali berdenyut sakit. Aku kembali duduk di sofa dan menutupi telinga kala mesin mobil Alex terdengar lebih keras. Jemariku meremas kepala, bayangan demi bayangan muncul di pelupuk mataku tanpa diundang.

Aku melihatnya malam itu. Matanya tidak berkedip menatapku. Darah mengalir deras menuruni matanya. Anak itu laki-laki yang semula berdiri di trotoar kini sudah terbaring dengan tubuh berlumuran darah. Kepalaku sendiri ada di bawah, aku tidak terjatuh karena ada sabuk pengaman yang membuatku tetap melayang. Tapi, ketika aku menoleh, kepala Ibu terkulai lemah.

Aku kembali menatap anak lelaki itu, dia masih memandangku dengan tatapannya yang kosong. Manik hitamnya terlihat seperti lorong gelap yang bisa menelanku kapan saja. Bibir anak lelaki itu bergerak perlahan.

"Pembunuh!" katanya.

"Enggak, aku bukan pembunuh!"

"Pembunuh apa? Enza, kamu dengar aku, kan?"

Anak lelaki itu masih menatapku, bibirnya bergerak pelan. "Pembunuh!"

"Enggak! Bukan aku, itu kecelakaan," kataku sambil menggeleng.

"Enza, dengarkan aku!"

Napas kasar berembus keluar dari mulutku saat seseorang menepuk pipiku. Tindakan yang membuatku menatapnya. Kini aku memandangi manik hitam pekat di rongga matanya. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Manik hitam itu, kenapa bisa persis sama?

"Si—siapa kamu?"

"Enza ini aku! Ini aku! Geral!" katanya terdengar panik.

"Lepasin! Kamu juga mau bilang kalau aku pembunuh!"

"Enggak, kamu harus tenang. Ini aku, Enza. Geral, kamu dengar aku, kan? Aku enggak ngomong apa-apa dari tadi, Za."

Aku masih memberontak kala kusadari aroma tubuhnya tidak asing. Aku ingat aroma tubuhnya kadang hilang, kadang muncul, akan tetapi aku menyukainya.

"Tenanglah!" katanya lagi sambil menaikkan tubuhku di atas pangkuannya. "Aku ada di sini. Kamu enggak sendirian."

Dia juga menangkup wajahku ke dadanya, seolah-olah dia melindungi dari hal apa pun yang mengusikku. Dia juga meraih helaian rambutku. Jemarinya meremas kepalaku. Pemuda mengusapkan bibirnya perlahan di atas permukaan keningku. Aku terdiam dan tidak ingin merespon. Wajah anak lelaki berdarah itu masih membayang di mata, aku masih takut.

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now